Hari ini aku harus bisa melupakan dia, harus bisa! Harus bisa!
Aku membaca mantra rutinku sebelum memulai aktivitasku pagi ini. Aku menarik nafas panjang, hari ini aku harus mengurangi kadar kesedihan dan keterpurukanku. Tuhan, ternyata sesakit ini rasanya patah hati.
Kukira hubungan dengan Dion baik-baik saja. Biarpun dia tidak romantis, tidak perhatian, dan beribu tidak lainnya, entah kenapa aku sepertinya sudah terlanjur menyerahkan seluruh perasaanku buat dia. Dan ketika aku dikecewakan, rasanya sakit sekali.
Kenapa dia tidak mencari cara lain kalau memang ingin meninggalkanku? Kenapa harus denga cara selingkuh?
Astaga, sudahlah aku tidak mau mengingat dia lagi. Ini masih pagi, aku tidak mau merusak mood-ku hari ini dengan mengingat dia.
***
"Bisa nggak hari ini berhenti dulu dengarin lagu galau yang buat nangis darah." Vey menghampiriku dan mematikan speaker kecilku.
"Cuma dengarin, apa salahnya," belaku.
"Salah, kalau kamu muterin lagu yang sama tiap hari," sahut Vey. Aku cuma berguman.
"Bukan begini caranya kalau mau move on. Cari pacar baru sana," lanjut Vey sambil berlalu.
"Kalau semudah yang kamu bilang sih, dari kemarin-kemarin aku sudah gonta ganti pacar sampai selusin," jawabku tidak mau kalah.
"Loh, Mas-Mas yang traktir kita sarapan kemarin nggak termasuk?" Aku mengutuk dalam hati, kenapa Vey masih ingat dengan dia.
"Siapa?" tanyaku pura-pura bego. Padahal di kepalaku sudah terpikirkan satu nama. Merasa tidak puas dengan jawabanku, Vey yang sudah duduk di kursinya kemudian bangkit lagi dan menghampiriku.
"Bukan cuma sarapan kemarin, dia juga pernah ngantarin kita ke nikahannya Windi waktu kita bingung nggak ada taksi. Trus masih ada lagi, aku juga sering lihat dia lagi di rumahmu." Vey menjelaskan dengan detail. Aku terdiam beberapa saat berharap Vey tidak menerorku lagi.
"Dia kan teman Mas Beri, wajar sering ke rumahku," belaku.
"Tadi pura-pura lupa." Vey melengos.
"Sama dia aja, lumayan loh," lanjut Vey dengan nada genit.
"Nggak mau, buat kamu aja. Aku nggak minat sama om-om."
"Om-om gimana, masih muda gitu kok."
"Dengar ya Vey, Mas Graha itu umurnya sudah tiga puluh tujuh tahun. Coba kamu bandingkan dengan aku yang umurnya masih dua puluh lima tahun. Bayangin Vey, umur kami bahkan beda lebih dari sepuluh tahun," jelasku.
"Nggak jauh-jauh amat kok. Biasa aja, Mama sama Papaku juga beda sepuluh tahun tahun. Buktinya akur-akur aja sampai sekarang."
"Sudah, jangan bahas lagi. Pokoknya aku nggak berminat sama dia. Titik. Sana, kerja lagi," kataku.
Vey cuma nyengir. Aku tahu di otaknya pasti sudah tersusun rencana lain. Vey selalu bilang, aku gagal move on karena diriku sendiri. Katanya aku terlalu melankolis dan pasrah. Emang apa hubungannya? Memangnya ada batas waktu kapan harus move on setelah patah hati? Aku yang seperti ini buka artinya nggak bisa melupakan Dion. Aku nggak menyedihkan seperti ini sampai masih mengharapkan Dion. Bagiku perselingkuhan bukan hal yang bisa dimaafkan, nggak ada tawar-menawar lagi.
Ponselku berbunyi pelan, tanda ada pesan masuk. Baru saja dibicarakan, orangnya malah sms. Aku menarik napas panjang sebelum mengambil ponselku.
-May sdh makan? Mas lagi di food court nih, mau dibawain apa?-
Mas Graha selalu membahasakan dirinya dengan kata Mas dan menyebut aku dengan nama, tidak pernah dengan kata kamu. Rasanya agak janggal saja menurutku. Entah aku yang tidak terbiasa atau dia yang sok manja.
-Thanks, Mas. Tapi May sdh makan barusan.-
-Syukurlah kalau sdh makan. Take care ya...-
Tanpa perlu dikasi tahu Vey, aku sudah tahu kalau Mas Graha suka denganku. Seperti yang pernah ditebak oleh Didi. Dari dulu malah, sebelum aku dan Dion putus. Tapi frekuensi perhatiannya tidak serutin ini. Mungkin sekarang dia tahu kalau aku sudah tidak punya pacar lagi, makanya dia mencari cara buat mendekatiku.
Aku tidak tahu, kenapa diusianya yang segitu dan kehidupannya yang sudah mapan, dia belum menikah juga. Apa yang ditunggunya sampai umurnya tiga puluh tujuh. Atau dulu mungkin dia pernah disakiti wanita sampai trauma buat memulai hubungan baru lagi, atau jangan-jangan... dia gay. Ups, semoga tebakanku yang terakhir salah.
Aku bukan tidak suka dengan Mas Graha. Dia baik, perhatian, sopan, berwibawa, bisa dibilang dia tipe lelaki yang bakal disukai banyak wanita. Malah sampai sekarang aku masih menggaguminya. Yang menjadi masalah buatku cuma umurnya.
Buat hal perhatian, Mas Graha memang juaranya. Dion nggak ada apa-apanya. Dari pagi matahari terbit sampai terbenam, tidak ada yang luput dari perhatiannya. Aku sampai bosan dibuatnya. Tapi... kenapa juga aku mesti dibandingkan dengan Dion. Buat sakit hati saja.
Aku tidak bisa membayangkan pacaran dengan orang yang usianya sepuluh tahun diatasku. Disaat aku minta ditemanin jalan-jalan ke mall, shopping dan kegiatan senang-senang lainnya, dia malah lebih memilih nonton liputan berita di televisi.
Apalagi membayangkan kalau menikah dengannya. Disaat anak-anak kami baru masuk sekolah, dia sudah jadi kakek- kakek. Ya ampuuun! Apa-apaan yang aku pikirkan ini.
***
Aku menguap beberapa kali menahan kantuk yang dari sore sudah menyerangku. Penyakit lama, selalu begini setiap lembur.
Beberapa minggu terakhir ini, akulah orang yang paling sering ditemui pada saat jam lembur. Sebenarnya tidak terlalu banyak yang harus dikerjakan, aku cuma ingin menghabiskan waktuku.
Pulang ke rumah sudah mengantuk, kemudian langsung tidur. Itu yang aku harapkan. Jadi frekuensi buat memikirkan Dion agak berkurang, rutinitasku seperti menangis dan meratap juga bisa diminimalkan.
Aku merapikan beberapa berkas yang barusan kuselesaikan. sudah waktunya pulang. Vey selalu memarahiku jika tahu aku lembur. Katanya daripada mengurung diri di kantor, mendingan waktu kugunakan buat mencari pacar baru.
Ponselku berbunyi pelan. Bisa kutebak siapa yang suka mengubungiku di jam-jam seperti ini, Mas Graha.
"May sudah pulang?"
"Baru aja mau pulang, Mas." Dikepalaku terbayang Mas Graha yang sudah dari sore menungguku di rumah.
"Ooo...Mas juga sudah di depan kantormu nih." Aku terdiam dan mendadak ingin memperpanjang lemburku lagi. Entah kenapa, setiap berada di dekat Mas Graha aku suka merasa salah tingkah. Tapi terlambat, Mas Graha sudah melihatku yang baru keluar dari kantor.
Dari mobilnya dia tersenyum dan melambai ke arahku. Aku heran, kenapa Mas Graha selalu tahu jadwalku.
"Kok Mas bisa disini?" Aku baru sadar ternyata itu bukan kalimat pembuka yang bagus.
"Tadi Mas ke rumah, tapi May belum pulang. Pasti May lembur lagi, makanya Mas nunggu disini aja," jawabnya sambil tersenyum. Jujur, senyuman Mas Graha selalu bisa menghipnotisku. Kenapa pesonanya masih aja bisa menggangguku.
"Kita makan dulu ya, May belum makan kan?" Aku mengganguk mengiyakan.
"Hari ini nggak kerja ya, Mas?" tanyaku. Mas Graha menoleh padaku sekilas, kemudian berkonsentrasi dengan mobilnya lagi.
"Tadi cuma survey ke luar kota sebentar, sore sudah nggak ada kerjaan," jawabnya.
"Seharusnya Mas istirahat aja, kok malah jemput May," kataku.
"Emang kenapa, May nggak suka Mas jemput ya?" Mas Graha malah balik bertanya.
"Bukan nggak suka, kalau Mas jemput May sama aja ganggu istirahatnya Mas. May tahu kok, Mas pasti capek", jelasku.
"Ternyata May perhatian juga ya," jawabnya dengan senyum menggoda. Aku jadi salah tingkah. Ternyata aku salah bicara.
"Cuma nggak enak ganggu waktu Mas aja." Aku membela diri. Mas Graha cuma tersenyum.
"Suka seafood kan? Atau May punya usul pengen makan yang lain?" Mas Graha memberhentikan mobilnya di sebuah rumah makan tenda yang lumayan ramai.
"May ngikut Mas aja," jawabku. Mas Graha menoleh ke arahku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan.
"Mau ikut kemana aja? Boleh tuh." Lagi-lagi dia menggodaku dengan senyum khasnya. Aku pura-pura tidak mendengar selorohannya.
Sebenarnya aku lagi malas makan. Yang kuinginkan saat ini cuma pulang ke rumah dan tidur.
"Lagi nggak enak badan?" Tiba-tiba saja tangannya sudah menempel di keningku. Refleks aku mengerakkan kepalaku, menjauhkan tangannya dari keningku.
"Ehh...nggak kok, Mas. Cuma agak ngantuk," jawabku.
"Makannya bawa pulang aja ya?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Nggak apa-apa kok, Mas. Makan disini aja. May nggak bakalan ketiduran disini," jawabku sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa kalau ngantuk, tidur aja. May nggak berat-berat amat kok kayaknya," godanya. Wajahku terasa memanas. Semoga dia tidak melihat perubahan wajahku.
Aku mengaduk teh hangatku dengan malas-malasan. Di kepalaku dipenuhi bermacam pikiran. Sesekali pandanganku beralih ke hadapanku, Mas Graha sedang makan dengan lahapnya. Aku tersenyum sendiri.
"Ada yang aneh?" tiba-tiba saja Mas Graha berbicara disela makannya. Aku tersentak kaget, tapi kemudian pura-pura tidakperduli.
"Habisin dulu makannya, baru mandangin Mas," kata Mas Graha.
"Siapa juga yang mandangin," kataku tidak mau kalah. Mas Graha cuma tertawa pelan.
Kenapa orang ini selalu membuat perasaanku bingung. Aku nggak mau mengakui kalau sebenarnya ada yang aneh dengan perasaanku setiap kali di dekat Mas Graha.
Jatuh cinta?! Nggak secepat itu. Banyak yang harus aku pertimbangan sebelum memutuskan jatuh cinta dengan Mas Graha.
Belum satu bulan aku putus dengan Dion, nggak semudah itu aku membuka hatiku untuk lelaki lain. Dan pertimbanganku bertambah jika orang itu adalah Mas Graha. Tidak ada yang salah dengan dia, yang menjadi masalah buatku cuma umurnya.
(*)