Meratap dan Menangis

1107 Kata
Panik, Athar dan Ibu kost segera menelepon rumah sakit terdekat untuk dikirimkan mobil ambulans. Ketakutan Athar menjadi kenyataan. Dan ibu kost benar - benar tidak menyangka h seperti ini akan terjadi pada salah satu anak kost - nya.     Keduanya ikut dengan mobil ambulans di rumah sakit. Salah seorang tenaga medis yang ikut pula dalam ambulans segera memberikan pertolongan pertama sembari bertanya - tanya.     "Kalau boleh tahu apa yang terjadi sebelum pasien tidak sadarkan diri?"     Athar segera menjawab. "Kemarin siang saat kami bertemu dia kelihatan sakit. Tapi dia bilang nggak apa - apa. Beberapa waktu terakhir dia banyak berubah. Makin kurus, makin pucat, dan sering banget pakai kupluk. Hari ini saya lihat dia nggak pakai kupluk, saya kaget karena rambutnya jadi jauh lebih tipis dibandingkan dulu. Uhm, sekadar informasi. Asmara punya penyakit auto imun bawaan sejak lahir."     Ibu kost nampak berdoa dan berdzikir. Sembari sesekali ikut bicara dengan Athar dan petugas medis.     "Nak Athar, untung kamu hari ini Dateng. Kalau seandainya enggak, mungkin saya nggak akan tahu kalau Asmara sakit, dan bahkan sampai nggak sadarkan diri seperti ini." Entah sudah yang ke berapa kali ibu kost bicara seperti itu. Saking paniknya.     Asmara masih belum menunjukkan tanda akan sadar. Kedua matanya masih terpejam erat. Dan ia nampak begitu lemah di balik masker oksigennya.     Sampai di rumah sakit, Asmara segera ditangani dan dibawa ke UGD. Athar dan Ibu kost menunggu di luar.     "Nak Athar, kamu punya kontak orang tuanya Asmara, kah?" tanya ibu kost.     Astaga, Athar baru ingat. Ia tadi sebenarnya sudah berniat untuk menghubungi Rafi dan Emma. Tapi ia benar - benar lupa.     "Iya, Bu. Biar saya hubungi mereka sekarang. Astaga, saya sampai nggak inget mau hubungin mereka."     Athar merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Ia segera mendial nomor Rafi. Nada tunggu terdengar cukup lama. Namun akhirnya penantian penuh ketakutan Athar setimpal ketika teleponnya akhirnya diangkat oleh Rafi.     "Halo, Assalamualaikum."     "Waalaikumsalam. Oom, Rafi. Ini Athar."     "Iya, Thar. Oom tahu. Oom simpan nomor kamu kok. Ada apa? Apa terjadi sesuatu dengan Asmara?" Rafi segera berpikir ini ada hubungannya dengan Asmara. Karena tentu saja Rafi tahu Athar satu kampus dan satu kelas dengan putranya. Athar tidak mungkin menghubunginya jika tidak ada kaitannya dengan Asmara.     "Iya, Oom."     "Apa yang terjadi, Thar? Apa Asmara baik - baik aja?"     "Belum tahu, Oom. Sekarang Mata masih ditangani di UGD. Tadi kami menemukan dia nggak sadarkan diri di kamar kost."     "Astaghfirullah. Ya Allah, Mara. Kenapa lagi sih, Nak." Nada suara Rafi benar - benar menyiratkan ketakutan dan kekhawatiran. "Ya udah Athar, terima kasih atas informasinya ya nak. Terima kasih juga karena sudah menolong Mara lagi - lagi. Oom banyak hutang Budi sama kamu. Oom mau kabarin maminya Mara dulu. Setelah itu kami langsung ke Malang."     "Iya, Oom."     ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     Rafi dan Emma sampai di rumah sakit sekitar 3 jam kemudian. Mereka datang dengan berlarian, mimik mereka benar - benar panik dan ketakutan. Wajah Emma nampak begitu sembab. Ia pasti menangis di sepanjang perjalanan.     Asmara saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat. Hanya saja ia masih belum sadarkan diri. Dan kondisinya masih kritis.    Setelah bertukar sama sejenak, juga mengucap terima kasih pada Athar dan Ibu Kost, seorang dokter datang untuk memanggil Rafi dan Emma. Ia ingin membicarakan perihal kondisi Asmara dengan kedua orang tuanya.     Mereka bertiga duduk berhadapan dibatasi oleh sebuah meja kaca.     "Jadi apa yang terjadi pada putra kami, Dok?" Rafi segera bertanya.     Emma ... bahkan sebelum dokter menjawab, ia sudah menangis lagi. Sebenarnya akhir - akhir ini perasaan Emma sering tak enak. Ia sudah beberapa kali bilang ke Rafi ingin menjenguk Asmara. Namun Rafi sangat sibuk sehingga belum bisa meluangkan waktu. Ternyata ini adalah jawaban dari perasaan tak enak Emma sama ini.     "Sebelumnya saya ingin bertanya, apa bapak dan ibu suda tahu tentang penyakit Asmara?" Dokter bernama Sandi itu bertanya.     Emma dan Rafi saling berpandangan. Mereka bingung penyakit yang mana yang dibicarakan oleh dokter Sandi.     "Penyakit mana yang dokter maksud? Putra kami memang sakit auto imun sejak lahir. Beberapa tahun lalu ia juga terkena tumor payudra. Tapi sudah sembuh setelah dilakukan prosedur Mastektomi."     "Berarti Asmara belum bercerita pada kalian."     "Bercerita tentang apa, Dok?"     Dokter itu memandang Rafi dan Emma lekat. "Dengan sangat menyesal saya harus menyampaikan berita ini. Jadi tumor yang dialami oleh Asmara telah kembali."     "Apa? Tapi bagaimana bisa? Dia sudah melakukan Mastektomi. Tidak ada bagian dari payudaraanya yang tersisa, Dok." Rafi segera tersulut emosinya.     "Biarkan saya menjelaskan sampai tuntas dulu, Pak. Ya, memang Asmara sudah melakukan prosedur Mastektomi. Dan tumor itu tidak kembali di bagian yang sama. Tapi tumornya bermetastasis ke organ paru - paru. Asmara sakit kanker paru - paru saat ini. Dan kondisinya sudah cukup parah."     Rafi terdiam, tercengang, tak percaya bahwa apa yang baru saja ia dengar adalah sebuah kenyataan.    Emma sudah menangis keras. Wanita itu tak kuasa mendengar berita semacam ini lagi. Ia tidak sampai hati melihat putra yang begitu ia cintai lagi - lagi harus kesakitan, harus meregang nyawa karena penyakit berat.     Apalagi Asmara tidak mengatakan tentang penyakitnya. Jadi selama ini putranya kesakitan sendirian. Dan ia tidak melakukan apa - apa untuk menolongnya. Asmara pasti sangat kesakitan sampai ia ditemukan tidak sadarkan diri seperti itu.     "Sudah seberapa parah kondisinya saat ini, Dok?" Rafi memberanikan diri bertanya. Meski ia sama sekali tak siap mendengar jawabannya. Tentu ia tak siap. Tak akan pernah siap. Tapi ini demi mencari jalan terbaik untuk mengobati Asmara.     "Tumor sudah hampir memenuhi paru - paru bagian kanannya."     "Astaga ...." Rafi benar - benar tidak habis pikir. Ia tidak menyangka jawaban dokter itu. Ia pikir Asmara masih belum separah itu. Rafi benar - benar menyesali keputusan Asmara yang tidak memberi tahu orang tuanya. Asmara pasti takut menyakiti dan merepotkan mereka lagi. Tapi tidak seperti ini caranya.     "Jadi putra kami selama ini melakukan pengobatan rutin sendirian, Dok?" Kali ini Emma yang bertanya.     "Benar, Bu. Dia selalu datang sendirian."     "Dok, apa prosedur pengobatan nya?"     "Dia memilih untuk melakukan kemo terapi. Karena saat pertama terdeteksi, tumornya masih belum separah Sekarang. Tumornya menjadi parah dalam waktu singkat."     Jawaban demi jawaban yang dilontarkan oleh dokter sandi begitu menyayat hati Rafi dan Emma.    "Kenapa dokter membiarkan dia memilih kemo terapi? Apa Asmara tidak bilang tentang auto imunnya?"     Dokter Sandi mengangguk. "Tentu ia bilang. Waktu itu saya memberi opsi, kemo terapi, da pembedahan. Saya juga menyarankan yang terbaik untuk dipilih. Saya juga memberi tahu segala risiko untuk kedua pilihan yang saya berikan. Dan ia tetap memilih kemo terapi. Dengan alasan kemo terapi dicover asuransi. Sedangkan pembedahan tidak. Ia sepertinya benar - benar takut jika sampai kalian tahu tentang penyakitnya."     "Astaga Mara ...." Rafi ingin sekali emosi, tapi ia sadar tidak ada gunanya ia emosi. Ia hanya bisa meratap.     Dan Emma hanya bisa menangis.     ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     -- T B C --       
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN