"Kami menyimpulkan bahwa itu adalah tumor jinak yang sebenarnya tidak berbahaya. Perkembangannya pun terbilang cukup lama. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sedangkan rasa sakit yang dirasakan Asmara, itu pengaruh dari jaringan yang tertekan dengan ukuran benjolan yang ada."
Asmara, Rafi, dan Emma mendengarkan penjelasan dokter dengan saksama.
"Tapi meski pun tumor itu tidak berbahaya, tetap harus kita angkat sesegera mungkin. Karena untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkan jika saja tumor itu ternyata bisa bermetastasis. Tapi kita berdoa yang terbaik, mengusahakan yang terbaik. Semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan."
"Jadi kapan tumor itu akan diangkat dok?" Rafi segera bertanya.
"Sesiap Asmara dan keluarga saja. Kami siap melayani kapan pun."
Ketiga orang tua dan anak itu saling berpandangan.
"Bagaimana kalau besok, Sayang?" Rafi bertanya pada Asmara dan juga Emma.
"Kalau Mami, sih, setuju. Karena lebih cepat lebih baik, kan? Tapi semua tetap terserah pada Mara. Karena dia yang mengalami dan akan menjalani pengangkatan tumor itu. Bagaimana sayang?"
Asmara mengangguk dengan mantap. "Aku siap kok. Aku juga mau segera sembuh."
Rafi dan Emma tersenyum bangga. Rafi menepuk pundak anaknya yang begitu gentleman, dan Emma memeluk Asmara sekilas.
"Baik, Dok. Besok operasi bisa dilakukan."
"Baik, kami akan mempersiapkan semuanya. Dan akan melakukan performa terbaik."
"Terima kasih, Dok. Tapi ... saya masih penasaran, Dok. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Maksudnya, anak saya ini laki - laki. Kenapa bisa tumbuh tumor di situ?" Rafi akhirnya mengungkap rasa penasaran yang mengganjal di hati dan pikirannya.
Dokter bernama Nicholas itu tersenyum. "Baik, akan saya jelaskan. Tumor seperti itu memang lebih umum dialami oleh kaum wanita. Tapi tidak menutup kemungkinan laki - laki juga bisa mengalaminya. Kenapa? Karena laki - laki pun juga memiliki kelenjar pyudara, hanya saja kelenjar itu tidak tumbuh membesar seperti pada wanita. Kasus seperti Asmara ini bukan yang pertama kali. Sudah cukup sering terjadi malah. Jadi hal ini sama sekali tidak aneh."
Rafi, Asmara, dan Emma mengangguk mengerti. Jujur mereka benar - benar masih beradaptasi. Rasanya sungguh sulit mempercayai apa yang sedang terjadi.
"Karena besok dipilih sebagai hari operasi untuk Asmara, jadi sekarang Asmara harus tinggal di sini untuk menjalani serangkaian prosedur sebelum operasi. Jam operasi besok akan kami infokan selanjutnya."
"Baik, Dok terima kasih. Biar istri dan anak saya yang mengurus kelanjutannya. Karena saya harus kembali ke kantor." Rafi jujur meski begitu kentara bahwa ia tidak rela meninggalkan anak dan istrinya.
~ ~ ~ ~ ~ Asmara Samara ~ ~ ~ ~ ~
"Gimana perasaan kamu, Sayang?" Emma merapikan anak rambut Asmara yang berantakan karena berganti baju menjadi piyama pasien.
"Agak tegang, Mi. Aku inget yang udah - udah pernah terjadi." Asmara mengenang pengalaman opname di rumah sakit yang sudah tidak terhitung seringnya, akibat ia terlahir dengan penyakit auto imun.
"Mami bisa ngerti sayang. Kalau ada di posisi kamu, Mami pun pasti akan merasakan hal yang sama. Kamu pemuda yang kuat, pemuda yang tangguh. Kamu pasti akan bisa melalui ini semua, lalu kembali sembuh seperti semula. Semangat ya." Emma mengepalkan kedua tangannya.
"Aamiin. Makasih ya, Mi. Entah gimana jadinya aku tanpa Mami." Asmara segera memeluk ibunya itu dengan erat.
Emma pun membalas pelukan Asmara dengan penuh kasih sayang. Ia juga mengecup puncak kepala putranya itu.
Untuk orang biasa, operasi ini mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan. Hanya bermodal sabar menahan sakit pasca operasi, rajin minum obat, perlahan luka kering, lalu sembuh.
Perjuangan Asmara akan sedikit lebih pelik ceritanya. Ya, tentu saja karena diabetes yang diidapnya. Proses kesembuhan lukanya akan sedikit lebih lama dibandingkan orang biasa.
Tapi ia harus tetap kuat menghadapi semuanya. Ia harus bertahan dan berjuang. Ia tidak boleh lelah atau pun menyerah. Karena bahkan Rafi dan Emma tidak menyerah atasnya. Rasanya durhaka jika ia menyerah dengan mudah, hanya karena takut dioperasi.
~ ~ ~ ~ ~ Asmara Samara ~ ~ ~ ~ ~
Sore harinya Asmara sendirian di kamar karena Emma harus pulang untuk mengambil beberapa keperluan yang mereka perlukan. Asmara bosan di kamar, memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Ia menyeret tiang infusnya tanpa kesulitan karena memang kondisinya fit.
Ia duduk di salah satu bangku panjang di lorong. Di sini ia bisa melihat pasien anak - anak bermain dengan riang gembira di antara indahnya bunga dan hamparan rumput nan hijau. Mereka seakan tanpa beban. Padahal mereka mengenakan kupluk, yang Asmara simpulkan, itu adalah upaya untuk menutup rambut botak.
Yang berarti mereka melakukan kemo terapi. Yang berarti, penyakit mereka bukan penyakit main - main.
Mereka yang masih begitu kecil saja bisa mengendalikan kesakitan dengan baik, memutuskan untuk tetap mengahadapi dunia dengan caranya.
Asmara tanpa sadar tersenyum. Benar - benar tidak ada alasan untuk terpuruk dan takut. Mereka saja bisa, lalu kenapa ia tidak?
Ketakutan yang menghantui Asmara seakan langsung hilang ditiup angin bersama dahan - dahan pohon itu. Ia lebih siap menghadapi operasi besok hari.
~ ~ ~ ~ ~ Asmara Samara ~ ~ ~ ~ ~
Sebelum masuk ke ruang operasi, Asmara terlebih dahulu berpamitan dan minta doa dari Rafi dan Emma. Meski tanpa melakukan itu pun, Rafi dan Emma sudah pasti akan mendoakannya.
Mereka berpelukan secara bergantian. Kemudian suster lanjut mendorong Asmara dengan kursi rodanya menuju ruang operasi.
"Mara kamu bisa berdiri dan jalan, kan?" tanya salah satu tenaga medis seraya tersenyum manis.
"Iya, tentu."
"Kalau begitu kamu bisa turun sendiri dari kursi roda dan berbaring di brankar, kan?"
"Ah, iya. Tentu saja."
Asmara pun segera menurut dengan senang hati. Tentu ia bisa melakukan itu semua karena kondisinya benar - benar fit.
Ketika Asmara sudah berbaring, salah satu dari mereka membuka piyama operasi Asmara pada bagian d**a. Kemudian menutupnya kembali dengan selimut berwarna hijau tosca yang memiliki lubang pada bagian yang akan dioperasi.
"Kamu sudah siap, Mara?" tanya dokter Nicholas.
"Siap." Asmara menjawab dengan tegas dan mantap.
"Kami akan segera memulai proses operasi. Kami akan memasang masker. Kemudian kamu akan merasa mengantuk, dan kamu akan tertidur. Kita semua berdoa semoga operasi berjalan lancar, dan kamu bisa segera sembuh."
"Aamiin."
Salah satu dari mereka memasang masker. Masker transparan itu menutupi bagian hidung dan mulut Asmara. Dalam sekejap rasa mengantuk teramat sangat menyerang asmara. Kemudian ia tidak ingat apa - apa lagi.
~ ~ ~ ~ ~ Y S A G ~ ~ ~ ~ ~
- - T B C - -