"Mami ... aku boleh nggak masuk ya hari ini?" Cowok 17 tahun itu akhirnya memberanikan diri untuk bicara pada sang ibu.
Kedua mata Emma membulat. "Kenapa sayang? Katanya kamu ada ujian hari ini." Wanita itu mengeringkan kedua tangannya menggunakan serbet. Kemudian menghampiri putranya yang duduk di kursi makan, masih mengenakan piyama.
Emma kembali terkejut ketika melihat Asmara begitu pucat. "Kamu sakit, sayang? Apa yang terjadi? Kamu kemarin nggak berlebihan, kan, makan buahnya?"
Emma langsung panik. Ia tahu persis bagaimana kondisi putranya. Sejak dulu Asmara tidak bisa makan gula. Bahkan bahan - bahan alami yang mengandung gula pun ia tak boleh makan berlebihan. Karena Asmara punya penyakit auto imun -- diabetes -- bawaan sejak lahir. Gen keturunan dari Rafi. Asmara harus selalu suntik insulin sejak dulu.
Asmara menggeleng. " Aku nggak berlebihan makan buah. Aku nggak enak badan. Dadaku sakit."
"Sebelah mana yang sakit?"
Asmara menepuk bagian d**a kanannya.
"Sakitnya kayak gimana sayang? Kamu sesak napas atau gimana?"
Asmara lagi - lagi menggeleng. "Sakit banget, Mam. Kayak diikat kuat banget dari dalam."
Emma menjadi semakin bingung. Sebelumnya Asmara belum pernah mengalami hal seperti ini. Atau ada perkembangan dari penyakitnya? Atau justru terjadi sesuatu yang paling dihindari selama ini -- komplikasi.
Tapi Emma tak ingin berspekulasi dulu. Ia mencoba berpikir positif, supaya bisa menyalurkan ketenangan dan juga afirmasi positif pada putra satu - satunya.
"Mending kamu balik ke kamar dulu yuk, Sayang. Pasti lebih nyaman berbaring, kan? Yuk Mami anterin. Nanti makanan Mami Anyer juga ke kamar. Kamu nggak udah ke mana - mana dulu. Istirahat, minum obat. Nanti kalau sakitnya nggak mereda juga, kita ke rumah sakit."
Asmara mengangguk. Emma kemudian membantunya berdiri. Memapahnya menuju ke kamar meski ia sebenarnya juga masih bisa jalan sendiri dengan baik.
Emma bahkan membantunya berbaring dengan telaten. Lalu ia menyelimuti Asmara sampai sebatas d**a. Asmara menatap ibunya yang cantik jelita. Ibu yang begitu tulis menyayanginya.
Dulu Emma adalah seorang model ternama. Namun setelah menikah dengan Rafi, ia meninggalkan karir modelnya. Ingin fokus menjadi istri yang baik. Dan juga ibu yang selalu ada untuk anak - anaknya.
Namun ternyata Asmara terlahir kurang sehat. Itu lah yang membuat Rafi dan Emma belum ingin menambah momongan sampai sekarang. Kadang Asmara merasa bersalah pada kedua orang tuanya.
"Mam, aku boleh jujur?"
"Jujur kenapa, sayang?" Emma duduk di atas karpet di samping ranjang putranya, supaya ia bisa bicara dengan leluasa dengan masih bisa melihat kedua mata putranya. Emma memang membiasakan Asmara selalu melakukan kontak mata ketika bicara dengan orang lain. Supaya kesan dan pesan bisa tersampaikan secara mendalam, serta intim.
"Sebenarnya udah cukup lama, ada benjolan di d**a kanan aku." Asmara akhirnya mengungkapkan fakta itu. Fakta yang sudah beberapa bulan ini ia tutupi.
"Benjolan? Benjolan seperti apa? Di d**a sebelah mana?" Emma berusaha untuk tidak panik. Berusaha tetap tenang.
"Di sini, Mam." Asmara meletakkan kedua tangan Emma di lokasi yang ia maksud.
Emma tercenung. Ingin bicara namun takut salah. Maka ia memutuskan untuk mendengarkan penjelasan putranya terlebih dahulu.
"Aku sebenarnya bukannya nggak mau bilang, Mam. Hanya saja aku pikir itu bukan apa - apa. Dan nggak sakit pada awalnya. Tapi belakangan ini sering banget tiba - tiba merasa sakit. Terus ilang. Saat aku coba raba, ternyata ukurannya lebih besar dibanding dulu. Dan ...."
"Dan apa sayang?"
"Ketika aku coba raba d**a bagian kiri. Ternyata muncul benjolan juga. Padahal sebelumnya nggak ada. Aku jadi takut, Mam. Jangan - jangan ada sesuatu yang salah. Makanya aku beranikan diri bilang ke Mami."
Emma berusaha tersenyum meski sebenarnya sangat sulit. "Sayang, Mami nggak menyalahkan kamu karena baru bilang sekarang. Tapi Mami mohon, jangan diulangi lagi ya. Kalau Marah merasakan apa pun, kalau terjadi apa pun pada tubuh Mara, Mara harus bilang sama Mami atau Papi. Karena apa? Karena tubuh Mara ini berbeda dengan anak lain, Sayang. Kondisinya harus selalu dipantau supaya Mara tetap sehat. Mara ngerti, kan?"
Asmara seketika semakin merasa bersalah. "Maafin aku ya, Mam."
"Nggak perlu minta maaf, Sayang. Mami yang salah karena kurang peka sama kondisi kamu. Oke, kalau begitu kita siap - siap ke rumah sakit sekarang. Eits, Mara siap - siapnya cukup tunggu Mami dengan berbaring di sini aja ya. Jangan ke mana - mana, sebelum Mami balik ke sini buat jemput Mara. Oke?"
"Oke." Asmara hanya mengangguk pasrah, bersiap menerima berita apa pun yang akan diucapkan dokter di rumah sakit nanti.
~~~~ Asmara Samara ~~~~~
Serangkaian pemeriksaan yang panjang telah dijalani oleh Samara, ditemani oleh Emma. Keduanya kini menunggu di ruang tunggu yang tersedia. Menunggu panggilan dari dokter, dan juga menunggu Rafi yang sebentar lagi akan datang.
Rafi belum pulang kantor. Tapi ia menyempatkan diri untuk datang sebentar di sela kesibukannya untuk mendampingi anak dan istrinya di rumah sakit. Mendengar apa pun yang akan disampaikan dokter nanti.
Rafi sudah mendengar cerita dari Emma. Ia pun takut akan mendengar berita buruk. Tapi semua belum pasti jika hasil pemeriksaan belum keluar. Bisa jadi, benjolan itu bukan apa - apa. Dan rasa sakit yang dialami Asmara bisa segera diatasi.
"Pasien Kinarian Asmara Damarez."
Nama Asmara akhirnya dipanggil. Sebuah momen yang mereka tunggu. Tapi juga momen yang begitu menegangkan.
"Papi belum Dateng, Mam."
"Nggak apa - apa sayang. Kita masuk dulu. Nanti kita kabari Papi hasilnya."
Baru saja Emma dan Asmara hendak beranjak, seseorang memanggil mereka.
"Emma, Mata ...."
Keduanya menoleh. Ternyata itu adalah Rafi. Syukurlah, Rafi datang di saat yang tepat.
"Mara sudah dipanggil, Pa. Ayo kita masuk dan dengarkan penjelasan dokter."
"Gimana tadi perkiraannya?"
"Perkiraannya antara tumor biasa atau yang ganas. Kepastiannya mending kita segera masuk. Semoga aja itu cuman tumor biasa yang bisa segera diangkat."
Rafi mengangguk setuju meskipun ia benar - benar cemas.
Mereka melenggang bersama menuju pintu masuk ruangan dokter.
"Kamu baik - baik aja, Mata?" Rafi bertanya pada putranya yang kini lebih tinggi darinya itu. Putranya yang berjalan beriringan dengannya.
Asmara mengangguk. "Maaf lagi - lagi bikin Papi khawatir ya."
Rafi menggeleng. "Harusnya Papi dan Mami yang minta maaf. Karena kamu lagi - lagi sakit. Harusnya sebagai orang tua, kami menjaga kamu dengan lebih baik."
Rafi menepuk - nepuk pundak Asmara pelan. Pintu ruangan dokter sudah ada di depan mereka. Dibukakan oleh seorang perawat yang menyambut mereka dengan hangat. Mereka pun semakin mempersiapkan diri untuk mendengar apa pun hasil pemeriksaan nanti.
~~~~~ Asmara Samara ~~~~~
-- T B C --