BAB 2

891 Kata
Penyesalan, memang selalu datang di akhir. Dan ketika penyesalan itu datang, rasa sakit pun tidak dapat dipungkiri. Rei sudah bertahan sejauh ini dalam kubangan penyesalan itu, berusaha bangkit dan bertahan dengan harapan kesempatan kedua akan dia dapatkan. Ia bangkit dengan harapan akan membawa Dhafina kembali ke dalam dekapan hangatnya, memberikan wanita itu kebahagiaan. Dengan harapan itu, ia mulai bersemangat berkonsultasi pada pskiater untuk memulihkan mentalnya yang terguncang. Walau ia masih harus terus menyibukkan diri dalam pekerjaan agar pikirannya sedikit teralihkan. Lagi pula ia masih harus tetap bekerja untuk mengumpulkan pundi pundinya, dia tidak mau mengajak Dhafina-nya hidup susah kalau nanti mereka kembali bersama. Terkadang Rei kalut, lalu melampiaskannya dengan mabuk namun sudah tidak separah di awal penyesalannya. Rei dengan kekayaan dan kekuasaan yang ia miliki, berusaha keras menemukan Dhafina yang entah kini berada di belahan bumi mana. Namun, siang kemarin ia kembali terguncang. Penyesalannya yang besar bertambah berkali lipat saat ia tau fakta bahwa Dhafina pergi, membawa janin yang merupakan darah dagingnya tanpa seorangpun tau. Seketika Rei merasa menjadi manusia paling keji, yang dengan tega membiarkan wanita baik itu menanggung beban sendirian. Membiarkan anak yang tidak ia tau laki laki atau perempuan, hidup tanpa sosok seorang ayah. Rei benci pada dirinya sendiri, sangat. *** Papa Bram mengguncang bahu Rei yang gemetar setelah berteriak pada mamanya, "Nak, Rei tenang. Kendalikan dirimu," ucapnya lirih, lalu mendekap sang putra bungsu yang terisak, mengusap punggungnya untuk memberi ketenangan. Papa Bram melepas pelukannya, menangkup pipi Rei dengan kedua tangannya. Ibu jarinya mengusap air mata Rei, membuat semua yang ada disana meneteskan air mata, terlebih mama Santi yang kini dipeluk oleh putra sulungnya. "Rei denger papa. Tenang, hm? Ceritakan semuanya, nanti kita cari jalan keluar sama sama. Ya nak?" ucap papa Bram yang kini beralih mengelus kepala putranya. Setelah dirasa sedikit tenang Rei mulai menceritakan pertemuannya dengan Ares kemarin. *** (Flashback on) "Woy Rei," teriak Ares saat berpapasan dengan Rei di sebuah Mall. Rei memang sedang berada di Mall saat jam makan siang ini untuk mencari hadiah yang akan diberikan pada Raffaska, putra Reagan yang akan berulang tahun beberapa hari lagi. Rei menghampiri Ares yang sedang bersama seorang wanita yang kelihatan lebih dewasa. Lalu mereka memutuskan untuk mampir di cafe agar lebih leluasa mengobrol. "Masih inget pulang lo Res?" cibir Rei pada Ares yang dibalas dengan kekehan sahabatnya itu. Ares seorang arsitek yang sering keluar kota bahkan ke luar negeri saat bekerja, makanya mereka sangat jarang bertemu. "Ya gimana, nyari cuan gue. Oh iya kenalin ini Mbak Naina sepupu gue, tadi gue habis jemput dia di bandara," ucap Ares. Lalu Rei dan Naina saling berjabat tangan. Memang Ares menjemput Naina yang selama hampir 2 tahun ini di pindah tugaskan di Lombok untuk sementara. Namun kini Naina dapat bertugas kembali di Jakarta. "Kamu suaminya Dhafina kan? Dia kok nggak ikut, padahal mbak kangen pengen ketemu anak kalian juga. Pasti lucu deh," ucap Naina tersenyum ramah, membuat Rei dan Ares kebingungan. "Mbak kenal Dhafi?" tanya Ares penasaran. "Iya kenal, pertama kali ketemu waktu di cafe mbak nggak sengaja nabrak dia. Eh habis itu kita dekat, dia juga nunjukin foto suaminya. Mbak langsung tau kalo itu temenmu karena mbak pernah liat fotomu sama Rei walaupun nggak pernah ketemu langsung sih," jawab Naina santai. Melihat Rei yang nampak shock, Ares kembali bertanya, "L-lalu soal anak itu mbak?" "Oh itu,waktu itu dia periksa kandungannya sama mbak, kita nggak janjian sih karena kita cuman beberapa kali ketemu sama sering chat. Mbak nggak tau kalo pasien mbak ternyata dia, saat itu kandungannya berusia 8 minggu," lanjutnya dengan senyuman. "Mbak yakin?" tanya Ares lagi, Rei kini menatap Naina dengan mata yang sudah berkaca kaca. Naina mendengus, "Yakinlah Res, kamu pikir mbak udah berapa lama jadi dokter kandungan?. Saat itu Dhafina dateng sendirian, pas mbak tanya dia bilang suaminya lagi sibuk jadi nggak bisa nemenin. Mbak juga minta dia buat minta jemput suaminya karena mukanya pucet banget, tapi dia bilang nggak mau suaminya tau dulu. Dia mau kasih kejutan sama Rei," jawab Naina yang tidak menyadari Rei sudah menangis. Hari itu ya, hari dimana seharusnya Dhafina mengatakan kabar bahagia itu. Ia justru mengucap kata cerai pada istrinya dan mengusir wanita itu pergi. Astaga, apa yang sudah Rei lakukan. Ia merasa dunianya runtuh saat itu juga. Tanpa sepatah kata, Rei bangkit dari duduknya. Ia melangkah pergi dengan perasaan yang hancur dan rasa bersalah yang kian membumbung tinggi, meninggalkan Naina yang kebingungan. Kemudian Ares menjelaskan padanya apa yang terjadi pada rumah tangga Rei dan Dhafina. Ares merogoh ponselnya, menghubungi Reagan untuk menyusul Rei yang ia yakini sedang hancur setelah tau fakta ini. (Flashback Off) *** Reinhard kembali meraung dalam tangisnya, memukul dadanya yang kembali sesak tanpa peduli selang infusnya yang sudah hampir lepas hingga punggung tangannya mengeluarkan darah. "Rei tenang, Rei!!" ucap papa Bram yang menahan pergerakan tangan Rei, Reagan dengan sigap memencet tombol di atas bed adiknya lalu membantu menahan Rei yang semakin berontak. Tak lama kemudian dokter datang diikuti beberapa perawat dibelakangnya, lantas mengambil jarum suntik yang berisi obat penenang, menyuntikkannya pada Rei yang masih memberontak. Perlahan pergerakan Rei melemah, papa Bram melepas pelukannya lalu membaringkan Rei yang hampir memejamkan matanya efek dari suntikan itu. "Rei mau Dhafina pa. Rei mau anak Rei," lirih Rei, lalu memejamkan mata. "Kenapa kamu jadi seperti ini nak. Padahal papa kemarin mau bilang kalau papa udah menemukan titik terang keberadaan Dhafina," ucap papa Bram mengusap rambut lepek putranya yang terlelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN