BAB 1

952 Kata
Reinhard Bagaskara membuka pintu hunian megah berlantai 2 yang sudah tak lagi ia tinggali. Hatinya sesak setiap kali memori tentang kebersamaannya dengan sang mantan istri berputar di ingatannya. Ia melangkah ke sebuah kamar yang menjadi saksi bisu kemesraan sekaligus perpisahan mereka. "Maaf Dhafi, maaf." Lagi, hanya kata itu yang selalu terucap dari bibirnya semenjak dirinya tau kebenaran yang dimaksud Dhafi-nya. Dan ya, kini ia menyesal. Bahkan penyesalan itu kini semakin menggerogoti hatinya ketika tau sebuah fakta lain yang kembali menamparnya telak. Rei kembali meraung dalam tangisnya, memeluk figura berisi foto pernikahannya dengan Dhafina seperti yang biasa ia lakukan semenjak enam bulan perpisahannya sampai sekarang, hampir dua tahun berlalu. Ya, Rei baru mengetahui kebenaran itu enam bulan setelah kepergian Dhafina. Yang awalnya ia masih menyimpan benci dan dendam berubah menjadi penyesalan yang mendalam. Kakinya melangkah menuju lemari kecil di sudut kamar, membukanya dan mengambil sebotol minuman lalu menenggaknya rakus. Itu yang selalu Rei lakukan setiap kali sesak itu merundung hatinya. Berharap ketika mabuk, ia akan sejenak melupakan sesak itu. "Maafin mas Dhafi." "Mas mohon maaf, mas nyesel." "Bilang Dhafi, mas harus apa. Disini sakit, sakit sekali." "Mas harus cari kamu kemana lagi Dhafi, mas rindu." Racau Rei terus menerus sesekali menepuk dadanya yang sesak, air mata tak berhenti mengalir dari netra hitam kelamnya. Pyarr Entah dorongan darimana, tangannya memukulkan botol minuman itu kelantai, hingga menyisakan sebagiannya yang berujung lancip. Ia mulai menggerakkan ujung lancip itu menuju pergelangan tangannya. 'Maafin mas Dhafi, mas menyerah,' batinnya. Brakk Pintu terbuka dengan kasar tepat saat Rei menggores pergelangan tangannya, muncul seorang pria dan wanita dengan nafas yang memburu. Mereka sontak membelalakkan mata melihat apa yang dilakukan Rei. "Astaga Rei, lo gila!!" teriak Reagan Bagaskara, kakaknya. Reagan berlari menuju sang adik yang duduk dilantai, kepalanya menyandar pada pinggiran ranjang dengan tangan yang mulai mengeluarkan darah. "Kania ambil kain, cepet!" teriak Reagan pada istrinya, Kania Adeline. Kania mengangguk, mengedarkan pandangannya hingga matanya melihat dasi milik Rei yang tergeletak di atas nakas. Kania lantas mengambilnya, melilitkan dasi itu pada pergelangan tangan Rei sementara Reagan menepuk pipi Rei yang mulai kehilangan kesadaran. "Hey, Rei jangan tidur," titahnya pada Rei, lalu mengangkat adiknya berlari menuju mobil diikuti Kania dibelakangnya. *** Derap langkah kaki terdengar nyaring di lorong Rumah Sakit, sepasang paruh baya datang dengan wajah cemasnya. Mereka menghampiri Reagan dan Kania yang duduk di kursi depan ruang gawat darurat. "Rea, gimana keadaan adik kamu?" tanya sang wanita paru baya, Santi Bagaskara. Suara wanita itu gemetar, begitu khawatir dengan keadaan putra bungsunya di dalam sana. Reagan mendongak menatap mamanya, ia lantas berdiri memeluk dan menenangkan wanita itu. "Rea nggak tau Ma, Rei masih di tangani dokter. Mama tenang dulu," ucapnya sembari mengelus punggung sang ibu. "Sebenernya apa yang terjadi Rea?" tanya Bramasta Bagaskara pada putra sulungnya. "Rea nggak tau pa, tadi Rea masih dirumah sama Kania. Lalu tiba-tiba Ares telfon buat nyusulin Rei yang mungkin ada dirumahnya. Pas kita dateng Rei sudah kayak gitu," jelasnya. Reagan tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, ia hanya mengikuti perintah Ares, sahabatnya untuk menyusul Rei. Ia terlanjur khawatir sehingga tidak sempat bertanya pada Ares apa yg sebenarnya terjadi. Papa Bram mengusap wajahnya kasar, ia tidak menyangka putra bungsunya akan berbuat seperti itu. Ia tau putra bungsunya itu tidak baik-baik saja saat mengetahui kebenaran tentang mantan istrinya. Namun tidak sampai seperti ini. Semenjak bercerai, Rei kembali tinggal dirumah orangtuanya. Ia tidak lagi mau menempati rumah pribadinya karena itu hanya akan membuatnya selalu mengingat sang mantan istri. Setiap harinya akan dihabiskan untuk bekerja, dan bekerja. Namun setelah kebenaran itu terungkap, Rei menjadi berantakan. Ia semakin keras bekerja untuk mengalihkan rasa sesak dihatinya, ia juga gencar mencari di mana keberadaan sang mantan istri, namun nihil. Ia mulai sering mabuk-mabukan, bahkan sempat berobat pada pskiater karena mentalnya yang terguncang. Namun apa ini? apa yang terjadi sehingga putra bungsunya itu berbuat nekat. Sebesar apa rasa sakit yang dirasakan putranya sehingga berniat mengakhiri hidupnya sendiri. Papa Bram tersadar dari lamunannya kala ruangan itu terbuka menampilkan dokter yang menangani putranya. Papa Bram lantas mendekat, "Bagaimana keadaan putra saya dokter?" tanyanya cemas. "Putra bapak tidak apa-apa, untung saja lukanya tidak terlalu dalam dan cepat dibawa kesini. Bapak bisa menjenguknya setelah kami pindahkan ke ruang rawat, permisi." Dokter tersebut berlalu, kemudian suster keluar mendorong brankar yang membawa putranya. *** Pagi menjelang, sepasang mata yang terpejam sejak semalam itu mulai terbuka perlahan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian mendengus. 'Masih hidup ternyata,' batinnya miris. Mama Santi yang merasakan pergerakan di bed sang anak lantas membuka matanya, ia tersenyum saat melihat putra bungsunya sudah sadar. "Kamu udah sadar nak? Apa yang sakit, bilang sama mama," ucapnya mengelus kepala Rei sayang. Mendengar ucapan mama Santi, papa Bram yang tidur di sofa lantas terbangun dan mendekat. Kemudian pintu terbuka menampilkan Reagan dan Kania yang baru sampai, semalam mereka pulang lalu kembali lagi pagi ini membawa perlengkapan Rei dan makanan. Rei hendak duduk, namun papa Bram langsung menahannya kemudian mengatur bed agar posisi putranya lebih nyaman. "Kenapa Rei masih hidup ma? Kenapa Rei nggak mati aja? Rei jahat, Rei nggak pantes hidup," lirihnya dengan mata berkaca kaca. Mamanya langsung terisak, ia menggenggam tangan sang putra bungsu yang kini tengah rapuh. "Mama puas kan?" ucap Rei lagi, ia menatap manik mamanya dalam. "Apa maksud kamu Rei? Papa tau mama salah, tapi bukannya kamu sudah memaafkan mama?" tanya papa Bram heran. Rei berdecih, "Rei punya pilihan apa selain memaafkan? Walau bagaimanapun mama tetap mama Rei yang sangat Rei sayang. Tapi ma, apa Rei masih bisa maafin mama ketika sekarang Rei tau kalau hasil dari perbuatan mama itu bukan hanya memisahkan Rei dari Dhafina, tapi juga anak Rei ma, darah daging Rei. APA MAMA PUAS, HAH?" teriak Rei frustasi, semua yang ada di ruang rawat itu sontak terkejut dengan ucapan Rei. Anak?.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN