“Kenapa kamu menolak lamaran, Mas Dehan? Sok cantik banget kamu jadi orang,” ucap Mario pada Luphi.
“Maaf sebelumnya. Saya bukannya sok cantik. Tapi saya sadar diri siapa saya, saya hanya seorang pembantu, jadi sangat tidak pantas bersanding dengan salah satu putra dari majikan saya. Jadi sebab–“ ucapan Luphi terhenti.
“Halah! Itu hanya trikmu saja kan? Sebenarnya kamu suka kan sama Mas Dehan? Kamu sengaja menolaknya agar dia mengejarmu dan memohon-mohon untuk mendapatkan cintamu, lalu setelah itu kamu akan memanfaatkan kami! Trik murahan!” bentak Mario.
“Jika itu yang Anda pikirkan, maka anda salah. Dan maaf saya tidak sedikitpun punya pikiran untuk memanfaatkan kalian dalam bentuk apa pun,” ucap Luphi.
“Iya untuk saat ini kamu bilang seperti itu, tapi kita lihat saja nanti, aku yakin–“
“Mario! Apa yang kamu katakan pada Luphi?” tanya Dehan yang tiba-tiba saja sudah berada disana.
“Aku hanya menanyakan, kenapa dia menolakmu,” ucap Mario.
“Apa itu benar Phi?” tanya Dehan.
“Iya,” jawab Luphi singkat.
“Jangan terus membelanya Mas. Bisa-bisa besar kepala nanti,” ucap Mario sebelum pergi meninggalkan Dehan dan Luphi.
“Kamu tidak apa-apa Phi?” tanya Dehan.
“Saya tidak apa-apa, Tuan. Saya permisi dulu,” ucap Luphi.
Dehan hanya menghela napasnya, sejak ia melamar Luphi, sikap gadis itu semakin formal padanya. Jika sebelumnya Luphi memanggilnya ‘Mas’ maka kini Luphi memanggilnya ‘Tuan’. Hal itu juga diketahui oleh kedua orang tua Dehan. Kedua orang tuanya pun memaklumi hal itu, dan meminta Dehan agar tidak terlalu memaksa Luphi untuk menerima lamarannya. Dehan setuju akan hal itu, tapi ia di buat kelimpungan dengan perubahan sikap Luphi yang semakin formal dan semakin menjauh darinya. Seolah membangun tembok tak kasat mata diantara keduanya. Semakin Dehan meruntuhkan tembok itu, semakin tinggi pula Luphi membangun tembok tersebut.
Hari berganti hari, dan kini Dehan pergi keluar kota untuk memeriksa perusahaannya disana. Dehan juga semakin jarang pulang kerumah orang tuanya. Ia berniat memberi ruang pada Luphi.
Sementara itu kini Luphi tengah pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan dapur. Ya kini Luphi sudah pulang dengan belanjaannya yang ia taruh dikeranjang depan sepedanya. Dengan bersenandung kecil Luphi mengayuh sepedanya dengan riang, seolah melupakan segala macam pikirannya dan juga kesusahan hidupnya. Tanpa ia sadari ada dua orang yang mengikutinya.
“Dia kan gadis yang dulu lolos dari kita, Bos?”
“Kamu benar.”
“Ternyata sekarang dia tinggal dirumah besar, Bos.”
“Tahu darimana kamu?”
“Kemarin aku mengikutinya.”
“Baiklah. Sekarang kita sikat dia!”
Kedua orang yang mengikuti Luphi pun menginjak pedal gas mobil mereka. Setelah sampai di tempat yang agak sepi. Mereka memepet sepeda Luphi.
“Kalian siapa? Mau apa kalian?” tanya Luphi.
“Gak usah banyak omong. Gara-gara kamu, kami kehilangan mangsa. Dan sebagai gantinya kamu akan kami bawa!” ucap salah satu orang itu.
Luphi baru ingat jika kedua orang yang kini mencoba membawanya adalah preman yang sering memalaknya dulu sewaktu ia masih berjualan di pasar.
“Lalu mau kalian apa? Lepaskan aku!” Luphi terus berontak, namun tenaganya kalah kuat dengan kedua preman itu. Dan Luphi berhasil di bawa masuk kedalam mobil dan membawanya entah kemana. Luphi ketakutan ia menangis, takut jika preman itu akan berbuat yang tidak-tidak padanya.
“Diam! Jika kamu terus menangis. Kami akan menghabisimu sekarang juga!” Luphi menggigit bibirnya mencoba meredam suara tangisannya. Ancaman preman itu membuat Luphi takut. Hingga akhirnya mereka sampai disebuah gedung kosong.
“Apa yang kalian mau dariku? Lepaskan aku! Apa salahku?” ucap Luphi seraya terisak dan mencoba berontak.
“Kamu tanya apa mau kami? Kami ingin mengajakmu bersenang-senang, Sayang. Sepertinya tubuhmu ini sangat siap untuk kami ajak bersenang-senang,” ucap salah satu preman itu seraya tersenyum licik.
Tubuh Luphi bergetar hebat mendengar ucapan preman itu. Ia benar-benar merasa ini adalah akhir dari hidupnya.
“Tolong jangan lakukan itu padaku, aku mohon,” ucap Luphi.
“Mohon? Mohon katamu? Kamu pikir aku ini Tuhan tempatmu memohon? Enak saja.”
Luphi mencoba berontak saat salah satu preman itu mencoba merobek bajunya. Dengan sekuat tenaga Luphi ingin menyelamatkan dirinya.
“Dasar gadis sialan!” ucap salah satu pria itu seraya menampar pipi Luphi.
Rasa nyeri di pipinya tak dirasakan oleh Luphi. Ia lebih memilih terus berontak. Hingga salah satu dari mereka memasukkan sebutir obat kemulut Luphi.
“Tolong jangan,” suara Luphi semakin lirih. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Namun sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Ia sempat mendengar seseorang datang dan berkelahi dengan kedua preman itu.
"Tolong selamatkan aku," batin Luphi sebelum kesadarannya benar-benar hilang.
**
Kali Dehan pulang lebih awal, rencananya ia akan pulang lusa, tapi karena pekerjaannya sudah selesai, akhirnya ia memilih pulang. Bukan karena apa, ia sudah merindukan sosok gadis yang ia cintai yaitu Luphi. Ya, meskipun Luphi tidak mencintai dirinya, lebih tepatnya belum mencintainya, tapi cinta Dehan pada Luphi sangatlah tulus dan besar. Ia akan berusaha membuat Luphi menerima cintanya.
“Mas De, mau mampir kemana dulu ini? Langsung pulang apa bagaimana?” tanya sopir Dehan.
“Langsung pulang kerumah Mama saja, Pak,” jawab Dehan.
“Baik Mas. Tapi maaf sebelumnya, Mas. Kalau saya mau mampir ke minimarket depan perumahan sebentar tidak apa-apa kah?”
“Kenapa masih bertanya Pak? Tentu saja tidak apa-apa. Lagipula kan satu arah. Memang Bapak mau beli apa?”
“Cucu saya kemarin telpon. Dia minta coklat.”
“Oh. Ya sudah kalau begitu terserah Bapak. Nah ini buat beli coklatnya Pak. Jangan banyak-banyak kasihan giginya nanti sakit,” ucap Dehan seraya menyerahkan uang seratus ribuan pada sang sopir.
“Tidak usah, Mas. Ini saya ada kok. Lagian ini cucu saya jarang-jarang meminta oleh-oleh. Jadi biarkan saya beli pakai uang saya sendiri,” tolak Pak Marto.
“Kalau begitu, uang Pak Marto buat beli coklat. Nah ini tolong belikan minyak sama gula dan sabun mandi dan sabun cuci. Berikan pada Ibu dirumah Pak,” ucap Dehan.
“Terima kasih Mas.”
Dehan hanya tersenyum saja. Baginya Pak Marto adalah keluarnya. Tak pernah ia menganggap Pak Marto sebagai kacung atau sekedar sopir. Bagi keluarga Dehan, semua para pekerja mereka adalah keluarga, jika tidak ada para pekerja, maka keluarganya tidak akan bisa sampai sejauh ini.
“Luphi?” gumam Dehan saat ia melihat sosok Luphi tengah di paksa masuk kedalam sebuah mobil.
Ia bergegas keluar berlari dan mencoba menghampiri pria yang membawa Luphi. Namun usahanya sia-sia. Mobil tersebut sudah berjalan.
“Mak Marto bisa keluar sebentar, sekarang!” ucap Dehan saat menelepon Pak Marto.
“Ada apa Mas?” tanya Pak Marto bingung.
“Kunci mobil.”
Setelah Pak Marto Dehan segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi berharap bisa menyusul mobil yang membawa Luphi. Cukup sulit menyusul mobil itu, jalan yang sedikit padat membuat Dehan hampir kehilangan jejak. Namun keberuntungan memihak Dehan ia berhasil menyusul mobil yang membawa Luphi. Terlihat mobil itu menuju sebuah perkebunan dan berhenti disebuah rumah kosong. Dengan hati-hati Dehan berjalan masuk ke rumah itu. Betapa kagetnya Dehan saat melihat Luphi sudah tak sadarkan diri dan hampir dilecehkan.
“Apa yang kalian lakukan pada calon istriku?” ucap Dehan.
“An-anda!”