Raka banting pintu dan langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur begitu mendengar benda pecah belah yang ada di lantai bawah sengaja dihancurkan, disusul dengan suara teriakan sang mama yang bersahutan dengan makian papanya. Kondisi seperti ini normal mereka dengar selama beberapa bulan terakhir karena kedua orang tuanya menginginkan berpisah. Raka tidak mengerti mengapa orang tuanya begitu egois menginginkan berpisah tanpa memikirkan perasaan Raka, Rayyan, juga Ibel—kakaknya.
Melihat wajah murung sang kakak, Rayyan berusaha menghibur. Ia memang cenderung tak mau ambil pusing dengan permasalahan apa pun, lain dengan Raka. "A, mending barangnya kita jual, ya, daripada dibanting-banting gitu."
"Iya, lebih bermanfaat kalau duit hasil penjualannya kita kasih sama anak yatim piatu." Raka menimpali.
"Kita dong? Kita punya mereka, tapi hidup kayak anak yatim piatu. Enggak diurus, apalagi disayang."
Lelaki itu melirik sang adik yang kini ikut berbaring di sampingnya. Sebenarnya mereka bukan tipe kakak adik yang selalu akur, tetapi setiap terjepit dalam situasi seperti ini pasti mereka saling menghibur satu sama lain. Raka sering kali khawatir pada si bungsu, pasalnya Rayyan bukan tipe orang yang suka mengumbar suasana hatinya. Rayyan cerdas memilih mana yang harus disuarakan dan mana yang seharusnya disimpan. Itu jauh lebih mengerikan bukan?
"A, Teteh kapan pulang, ya?"
"Enggak tahu. Waktu itu sih bilangnya dekat-dekat ini."
Rayyan mengangguk mengerti. Ibel Kanaya Arvinza—kakak tertua mereka—saat ini berada di luar kota sedang menjalani program insternsip atau magang. Rayyan merindukan kakaknya. Hampir setiap hari ia menghubungi Ibel, entah untuk bercerita masalah di rumah, sekolah, atau lainnya. Namun, sudah hampir satu minggu sang kakak belum juga menghubunginya, atau mengangkat telepon darinya. "Aa kangen Teteh gak? Gue kangen banget masa, A."
"Hm."
"A, kalau misal Papa sama Mama benar-benar cerai, Aa mau ikut siapa?"
"Enggak tahu. Lo?"
"Gue enggak akan ikut dua-duanya, A. Buat apa? Mereka pisah juga karena udah gak saling sayang, apalagi sayang sama kita. Jadi, buat apa ikut salah satu di antara mereka?"
Raka mengangguk setuju. Patut dicoba. Benar kata Rayyan, jika mereka dicintai tentu perceraian itu tidak akan terjadi. "Kalau itu kita jadiin senjata buat menggertak kira-kira Papa sama Mama bakal batal cerai enggak, ya?" tanya Raka. Lelaki itu bangkit dari tidurnya kemudian bergerak turun menuju lantai bawah tempat mama papanya perang. Rayyan mengikuti dari belakang.
"Sudah aku bilang ceraikan aku dulu!"
"Bodoh! Aku bahkan kerja keras untuk kalian. Malah dituduh selingkuh."
"Mana ada kerja, tapi diam-diam ketemuan sama perempuan gatal?"
"Papa, Mama, stop!" teriak Raka.
"Masuk Raka, Rayyan!" titah Radit.
"Enggak mau, orang kita mau di sini kok nonton drama Korea gratis." Si bungsu menimpali.
Raka menoleh pada Rayyan, kemudian melempar tatapan tajam. Sempat-sempatnya Rayyan bercanda dalam situasi seperti ini. "Papa sama Mama mau sampai kapan berantem terus? Enggak sayang sama kita? Kalian egois tahu enggak?."
"Diam kamu Raka. Sudah berani rupanya kamu bernada tinggi di hadapan orang tua kamu!"
Raka tersenyum sinis mendengar penuturan sang mama. "Bukannya Papa sama Mama yang ngajarin? Setiap ketemu, kalian selalu bernada tinggi, 'kan? Yang namanya anak cuma mengikuti apa yang dicontohkan orang tua!" balas Raka sengit yang langsung mendapat sebuah tamparan dari sang papa.
Rayyan terbelalak melihat Raka baru saja ditampar oleh lelaki dewasa itu. Emosinya tersulut melihat saudaranya disakiti. Meski tak lebih besar dsri Raka, Rayyan langsung pasang badan, berdiri gagah seolah tengah menantang papanya. "Jangan sakiti Aa! Aku enggak suka sama kalian. Papa sekarang jahat, Mama juga. Aku benci sama kalian berdua."
"Papa kalian memang sudah gila!" Amanda menyahuti.
"Kamu yang gila. Lihat hasil didikan kamu, 'kan? Kamu mendidik mereka menjadi anak-anak pembangkang."
"Pokoknya kita harus cerai!"
"Oke siapa takut. Aku tidak takut kehilangan wanita seperti kamu. Aku akan membawa anak-anak biar mereka bisa aku didik lebih benar."
"Anak anak ikut aku!"
"Kalau Mama sama Papa cerai, aku gak akan ikut siapa pun!" kata Raka setengah berteriak dengan napas yang tersenggal menahan emosi.
"Idem!" Rayyan ikut-ikutan.
Amanda melunak. Perempuan itu menghampiri kedua putranya lantas berjongkok di hadapan mereka. "Raka, Ray, maaf. Mama udah enggak bisa sama Papa kalian. Mama minta pengertian kalian. Kalian ikut Mama, ya, Nak?"
"Enggak" jawab keduanya serempak.
Mereka tidak pernah ingin perpisahan ini terjadi. Setahu mereka, keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Lalu bagaimana ketika salah satunya tiada? Pincang.
***
Ibel Kanaya Arvinza, gadis cantik itu meluruskan kaki jenjangnya yang terasa pegal setelah bekerja seharian. Sudah seminggu ini pasien membludak sampai-sampai ia tidak punya waktu untuk menghubungi adik-adiknya. Bagaimana keadaan rumah saat ini? Mungkinkah semakin buruk saja setiap harinya? Ibel merindukan keluarganya yang dulu. Rumah yang semula hangat berubah jadi menyedihkan. Papanya yang biasa menjadi pelindung, berubah kasar dan suka main tangan. Mamanya yang tadinya lembut, penyayang, selalu punya waktu untuk mereka, berubah menjadi sosok tak acuh, sibuk dengan dunianya sendiri. Mengapa waktu bergerak begitu cepat dan mengubah segala.
Sedang asik melamun tiba-tiba saja ponselnya berdering. Suara khas aplikasi line menjadi penanda adanya satu pesan masuk.
Raka
Teteh kapan pulang? Kita udah enggak tahan sama Mama Papa.
Baru beberapa bulan terakhir kedua adiknya selalu mengeluh tentang kondisi di dalam rumah. Ibel tahu sepertinya pertengkaran hebat papa mamanya tidak bisa disembunyikan lagi. Raka yang paling sering menghubunginya untuk sekedar bercerita, tetapi tidak dengan Rayyan. Meskipun cerewet, tetapi Rayyan tipe pemendam yang baik.
Me
Minggu depan selesai, Ray. Tunggu Teteh pulang, ya.
Raka
Kata Ray Teteh Dokter, 'kan? Nanti kalau pulang sembuhin hati Papa sama Mama, ya, biar saling sayang lagi.
Me
Nanti Teteh suntik mati kuman-kuman jahat di hati Papa sama Mama biar mereka gak marahan lagi.
Raka
Sip oke, Teh. Cepat pulang, ya, Teh.
Ibel menaruh kembali ponselnya. Semua pasti mengejutkan untuk adik-adiknya. Ibel, Raka, Rayyan, hanya memiliki satu harapan kecil. Mereka ingin keluarganya kembali. "The Arvinza's" utuh lagi. Ibel ingat bagaimana kebahagiaan begitu kentara saat Rayyan tiba-tiba hadir di antara mereka. Ya, Rayyan memang hadir karena 'tidak sengaja' pasalnya waktu itu Raka baru saja menginjak usia satu tahun. Meskipun kerap bertengkar bila berdekatan, Raka Narendra Arvinza dan Rayyan Dhinakara Arvinza, dua orang yang sangat dia sayangi. Ibel berjanji akan menjaga adik-adiknya