Rayyan berlari sembari menenteng sepatunya, tak beda jauh dengan Raka. Keduanya bangun terlambat karena semalaman bermain playstation sebagai pelarian dari rasa kesal mereka. Rayyan bahkan baru tidur menjelang subuh, membuat Raka harus ekstra keras ketika membangunkan adiknya itu.
"Lo sih, A, ngajak main Ps terus. Jadinya telat!"
"Nyalahin gue lagi. Yang kasih ide juga lo."
"Berisik lo, A. Udah salah, enggak mau ngaku lagi. Sebal gue sama lo."
Raka mendelik sebal, padahal semalam Rayyan yang memaksanya bermain playstation. Sebagai kakak yang baik, tentu saja Raka menerima ajakan sang adik. Namun, lihat, lagi ini karena bangun terlambat, semua kesalahan dilimpahkan padanya. Benar-benar adik kurang ajar. Mereka memang masih sangat muda, jadi wajar kalau ego masing-masing masih sama tinggi. Raka Narendra Arvinza baru saja naik ke kelas XII, sementara si bungsu baru saja menginjak kelas sebelas. Raka dan Rayyan sekolah di SMA Tunas Harapan yang termasuk sekolah favorite di Jakarta.
Setelah siap, Raka langsung menyambar kunci motornya dan segera mengajak sang adik berangkat. Perjalanan dari rumah ke sekolah cukup memakan waktu, kalau tidak cepat bisa-bisa mereka di hukum.
***
Rio Alfiansyah. Sejak beberapa menit yang lalu lelaki itu terus mengamati gadis yang kini sedang memberikan edukasi pada pasien. Betapa cantik dokter muda itu, terlebih sikapnya yang sopan, serta tutur katanya yang lembut, turut memberi nilai plus. Hanya satu, Ibel sulit sekali didekati oleh laki-laki. Rio bisa saja beburuk sangka, menganggap Ibel penyuka sesama jenis misalnya, tetapi sepertinya bukan itu alasannya. Ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu sampai benteng yang menjulang tinggi dibangunnya, membuatnya tak tersentuh.
"Dilihatin aja, Yo. Kapan ditembaknya?"
Rio terhenyak mendengar pertanyaan yang terlalu mendadak itu. Ia menoleh dan mendapati seniornya tengah mengawasi. Rio pikir aksi mengintipnya ketahuan. "Eh, Dok, ngagetin aja."
Laki-laki bernama Aldo itu terpingkal. "Habisnya kamu itu kayak bukan laki-laki, Yo. Masa cuma berani ngintipin aja enggak mau negur atau basa-basi gitu."
"Bukan masalah laki enggak lakinya, Dok, takut gondok. Tahu sendiri Ibel itu anaknya cuek banget, apalagi sama laki-laki. Ibel juga bukan tipe gadis yang suka basa-basi. Dia ngobrol cuma yang penting-penting aja."
Aldo manggut-manggut. Benar juga, pikirnya. Ibel memang gadis pendiam yang sulit ditebak. "Tahu sejauh itu, ya, Yo? Kamu kan laki-laki, harusnya bisa gerak cepat. Kalau cuma diam sambil nunggu dia berubah, nanti tahu-tahu dia dinikahin orang, kan, sakit jadinya. Kamu harus cari tahu tentang dia, kenapa dia bisa bersikap seperti itu. Ada alasannya, apa memang sudah bawaan lahir."
Rio mengangguk paham. Ibel sangat cantik, meskipun cuek. Jadi, bisa dipastikan kalau banyak lelaki yang mengincarnya. Untuk sifatnya yang seperti itu Rio rasa memang ada alasan tertentu, bukan bawaan lahir seperti yang dituturkan Aldo barusan. Tiba-tiba Rio melihat Ibel yang sudah selesai dengan tugasnya tengah berjalan ke arahnya. Jantungnya berdebar cepat melebihi ritme normal. Ia benar-benar gugup. Ingin menyapa, tetapi takut kalau Ibel akan mengabaikannya.
"Doktel."
Ibel kontan menghentikan langkahnya, kemudian berbalik. "Iya?"
Seorang anak berlari kecil menghampirinya—anak dari pasien barusan. "Ini buat Doktel cantik kalena Doktel udah mau baik sama Mama. Makasih Doktel," tutur anak itu seraya memberikan beberapa permen untuk Ibel.
Ibel tersenyum. "Terimakasih, Sayang. Jangan terlalu banyak makan permen, ya? Nanti giginya hilang semua."
Anak itu tampak bingung, tetapi tertawa lebar setelahnya. Ia sadar kalau deretan gigi depannya sudah ompong.
Cup!
Bocah itu mengecup pipi Ibel membuat Ibel terkesiap. "Doktel cantik, gemas."
Ibel kembali tersenyum. "Kamu juga ganteng, biarpun ompong. Dokter pergi dulu, ya? Masih banyak pasien."
Anak itu mengangguk dan membiarkan Ibel pergi.
Adegan itu mampu membuat Rio terdiam cukup lama. Betapa cantiknya Ibel ketika sedang bersikap lembut seperti itu. Jika boleh, Rio sangat ingin berada diposisi bocah tadi yang bisa leluasa mengobrol dengan Ibel, bahkan berkesempatan mengecup pipi mulus Ibel.
"Hai ...." Kata itu meluncur begitu saja ketika Ibel melintas di hadapannya. Bodoh. Rio pasti terlihat sangat konyol sekarang. Bagaimana pula ia bisa tiba-tiba bertingkah seperti itu. Ibel tak menyahuti sapaannya, hanya tersenyum tipis. Tunggu, Ibel tersenyum padanya? Ini merupakan kemajuan.
***
Aradella Queenny membawa dua botol air mineral untuk dua orang lelaki yang kini terkapar di pinggir lapangan setelah menyelesaikan hukumannya. Karena terlambat, kakak beradik itu jadi harus menerima hukuman. "Hallo Tuan Narendra, Tuan Dhinakara. Ini diminum dulu, pasti capek. Makanya tidur tuh jangan kayak orang mati. Heran bisa sampai terlambat lima belas menit," kata Ara sembari menyerahkan botol air mineral di tangannya.
"Hallo Nona Anabel, makasih minumnya dan berhenti ngoceh. Kalau bukan karena Aa gue tersayang ini ngajak main Ps semalaman, kita enggak bakal terlambat."
"Masih nyolot aja lo, ya! Harus gue bilang berapa kali kalau itu ide lo. Dasarnya gue lagi kacau, jadi mau aja kena bujuk setan," sahut Raka tak terima.
"Lo Aa-nya setan dong? Wow, luar biasa si Nona Anabel berteman sama dua anak setan."
"Berisik lo cabe!" semprot Raka.
"Terong, woo ...."
"Cabe!"
"Terong!"
"Heh, kalian apaan sih malah ribut enggak jelas. Udah kelar, 'kan hukumannya? Ray, masuk kelas sana. Abang lo ini kayaknya butuh kulkas biar adem." Ara menengahi. Ia benar-benar sudah kebal dengan kondisi seperti ini. Dua orang itu memang seperti anjing dan kucing ketika bersama, tetapi saling merindukan ketika dipisahkan. Ironis memang.
"Dadah Aa terong."
Raka hampir memaki jika saja Ara tidak buru-buru menyela. "Udah, Raka. Sekali aja ngalah sama adiknya. Kalau jauh bilang kangen, giliran dekat berantem terus."
"Dia tuh ngeselin banget anaknya. Jelas-jelas dia yang semalam ngajak gue main. Eh, sekarang nyalahin gue. Gue, kan, jadi ...."
"Sstt ... itu momen berharga yang bakal kalian rindukan suatu saat nanti, setelah kalian dewasa dan gak punya banyak waktu buat sama-sama. Nikmatin aja." Ara lagi-lagi memotong ucapan Raka.
Raka diam-diam membenarkan apa yang dikatakan sahabatnya. Pertengkaran mereka hari ini pasti akan sangat mereka rindukan. Sebenarnya Raka sangat menyayangi Rayyan, meskipun tidak pernah mengutarakannya secara langsung. Baginya, Ibel dan Rayyan adalah harta satu-satunya yang ia miliki. Cukup orang tuanya saja yang mulai bergerak pergi, jangan kakak juga adiknya itu.
"Masuk kelas, yuk. Pak Beni sebentar lagi masuk, nanti hukuman lo ditambah."
"Makasih banyak, Ra. Ingatkan gue terus, jangan sampai gue buat adik gue yang udah enggak jelas bentuk hatinya, tambah sakit, apalagi cuma karena masalah sepele kayak barusan. Mood gue lagi gak bagus, jadi sedikit sensitif."
"Dengan senang hati. Lo boleh cerita nanti istirahat kalau mau," sahut Ara. Ia tahu sahabatnya itu tidak sedang baik-baik saja. Pasti masalah keluarga lagi karena itu yang sering dikeluhkan Raka akhir-akhir ini.
***
Rayyan menatap mie instan campur telur hasil karya seninya dengan kesal. Mie terlalu matang dan telurnya hancur karena sewaktu dimasak terus menerus diaduk. Apa yang bisa dimakan? Sedangkan Raka begitu menikmati masakannya, bahkan kakaknya itu membubuhkan sayuran pada mienya. Terlihat menggiurkan seperti mie rebus ala rumah makan bintang lima. Sepulang sekolah mereka memang kelaparan berat karena pagi tadi tidak sempat sarapan, dan istrirahat di sekolah digunakan untuk diam saja saking malasnya.
Di rumah ini memang sudah tidak ada pembantu semenjak orang tua mereka sering bertengkar. Yang terakhir mengundurkan diri karena tidak tahan mendengar majikannya bertengkar hampir setiap hari. Jadi, mau tidak mau Raka dan Rayyan mengurus keperluan mereka sendiri, mulai dari mencuci pakaian, menyetrika, cuci piring, berers-beres rumah, dan memasak. Tak tahu berapa banyak stock mie instan yang mereka punya, yang jelas hanya itulah yang bisa mereka masak tanpa repot. "A punya gue lembek."
Raka menaikan sebelah alisnya. "Terus?"
Rayyan mengumpat dalam hati. Betapa tidak peka lelaki yang satu tahun lebih tua darinya itu. Padahal di dalam kalimat pengaduannya tadi tersirat kalimat A, punya gue lembek. Masakin dong. Atau bagi dikit punya lo. Boro-boro peka, Raka terus menyantap makanannya tanpa menghiraukan Rayyan. "Bagi dikit kali, A."
"Gak."
"Pelit lo."
"Biarin."
"Kakak durhaka"
"Bodo."
"Aa ish, lapar."
"Makanlah itu, kan udah masak sendiri."
"Lembek, A. Gak enak. Kayak cacing."
"Iya lembek kayak lo."
Rayyan mendengus sebal. Benar-benar kakak tidak bertanggung jawab. Kalau Rayyan mati kelaparan bagaimana? Kan nama baik Raka juga yang akan tercemar karena membiarkan adiknya yang super tampan kelaparan. "Ih! Gue aduin sama Teteh biar lo diomelin."
Tak mendapat tanggapan, Rayyan menghentakkan kakinya kemudian masuk ke dalam kamar. Pokoknya dia mogok bicara dengan Raka. Punya kakak super tega begitu memang sesekali harus diberi pelajaran. Paling nanti Raka merengek minta maaf dan membujuknya makan. Rayyan hanya tinggal bersabar menunggu waktu itu tiba.
Raka bukannya tega. Ia hanya ingin adiknya lebih mandiri, bagaimanapun suasana rumah sudah berbeda. Selama ini Raka selalu membuatkan adiknya itu makanan‒‒sebisanya, tapi Rayyan malah keenakan dan tetap tidak bisa apa-apa. Raka hanya takut kalau ia tidak ada Rayyan benar-benar tidak bisa makan. Jatah uang jajan mereka berkurang karena orang tuanya tidak jelas. Jadi, harus berhemat.
Rayyan memang manja, rewel, dan ngambekan. Mungkin pembawaan anak bontot memang begitu, tapi sifat seperti itu harusnya bisa diubah bukan terus menerus minta dimaklumi. Biarlah Rayyan sekarang ngambek juga mengurung diri, toh kalau lapar juga nanti keluar. Raka tidak takut jika Rayyan mengadukannya pada sang kakak ketika Ibel pulang dari tugasnya suatu hari nanti. Mengingat sifat Ibel yang mandiri, Raka yakin kalau kakaknya malah akan memihak apa yang ia lakukan.