Jam yang menempel di dinding sudah menunjukan pukul 15.23 WIB. Raka yang semula sibuk memainkan ponselnya sontak teringat pada sang adik. Buru-buru ia bagkit untuk melihat Rayyan yang sedari tadi tak terlihat turun. Dengan langkah tergesa lelaki itu meniti satu per stu anak tangga beniat mencaritahu apa yang sedang dilakukan adiknya.
Begitu sampai, Raka melihat si bungsu tengah tidur. Posisi tidur Rayyan yang sama sekali jauh dari kata nyaman membuat Raka takut kalau adiknya akan terbangun dengan badan pegal. Tangannya terangkat hendak membangunkan sang adik, namun segera diurungkannya niat itu karena tak tega. Raka melirik sebuah pigura berisi foto mereka berdua. Foto masa kecil. Pada awalnya Raka heran mengapa Rayyan memilih memajang foto itu, padahal masih banyak foto mereka yang sudah tumbuh dewasa. Setelah mendengar penjelasan adiknya, perlahan Raka paham kalau apa yang dilakukan Rayyan ini merupakan satu pengharapan. Raka masih ingat betul apa yang dikatakan Rayyan waktu itu. 'Kenapa gue milih pajang foto kita waktu kecil karena waktu kecil kita masih bisa bahagia sama Mama Papa. Gak kayak sekarang, setelah dewasa kita malah dibuang.'
Sebenarnya kata dibuang di sini bukan dalam artian sebenarnya. Orang tua mereka tentu saja tidak membuang keduanya, tapi perpisahan itulah yang membuat mereka merasa terbuang. Sakit rasanya jika melihat bagaimana kondisi keluarganya dulu dan sekarang. Ketika pulang ke rumah yang mereka temui bukan mama papanya, tapi dua orang egois yang tak memikirkan anak-anaknya.
Asik melamun tiba-tiba saja ia melihat adiknya menggeliat kemudian melengguh kecil. Rayyan memang sering kesulitan tidur, tidak tidur satu hari penuh saja dia kuat. Namun jika sudah tidur, anak itu bak raga yang sudah ditinggal penghuninya, dengan kata lain seperti orang mati. Sulit sekali dibangunkan. "Bangun dulu, terus mandi. Lo bau kayak kandang sapi," kata Raka saat melihat adiknya mulai membuka mata.
Rayyan tak mengindahkan kata-kata sang kakak. Ia malah menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
"Heh, bangun!"
"Apaan sih, A? Lo berisik banget sumpah. Gue tampol juga nih."
"Udah sore. Lo juga belum makan. Gue gak mau, ya, direpotin kalau seandainya lo sakit!"
Meskipun sedikit menusuk, tapi Rayyan tahu kalau dibalik kata-kata tajam Raka barusan terselip kekhawatiran. "Bilang aja khawatir."
"Ogah amat khawatir sama lo. Cuci motor dong, Ray. Gue malas main air udah mandi. Lo kan belum mandi, jadi sekalian aja."
Rayyan bangkit dari posisinya kemudian duduk bersila. Hari ini ia benar-benar malas melakukan apa pun. Lagi pula Rayyan belum makan, jadi wajar kalau tidak bertenaga bukan? Ini malah diminta mencuci motor. "Gue lapar tahu, A. Jahat banget malah disuruh nyuci motor."
"Imbalannya nanti gue masakin deh."
"Benar, ya?"
Raka mengangguk mantap.
Rayyan langsung melompat dari tempat tidur. Tidak apa-apa ia disuruh-suruh yang terpenting hari ini dirinya bisa makan. Segera saja lelaki itu keluar rumah untuk memandikan motor kesayangan sang kakak. Kalau saja Ibel ada, Rayyan pasti tidak akan teraniaya seperti sekarang.
***
Seorang gadis berparas cantik tengah asik bermain di pinggir kolam ikan milik tantenya. Gwen Alyssa. Setengah jam yang lalu ia baru saja tiba di rumah saudaranya itu karena mulai besok Gwen resmi bersekolah disalah satu SMA favorite di Jakarta. Tentu saja itu bukan keinginan Gwen, melainkan permintaan orang tuanya.
Gwen nyaman di sekolah lamanya. Namun karena kedua orang tuanya pindah tugas ke luar kota dan Gwen tidak mungkin ditinggal sendiri, sedangkan Gwen tidak ingin ikut pindah. Jadi, anak perempuan itu terpaksa diitipkan pada saudara dari sang mama. "Hallo ikan. Kok ganteng banget sih? Jadi pacar gue mau gak?" racaunya tak jelas. Dalam hati Gwen merutuki kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya, betapa menandakan kalau dia sudah terlalu lama menjomblo sampai ikan pun diajak berpacaran. Tiba-tiba Gwen melihat seekor kucing berbulu hitam corak putih di beberapa bagiannya tengah menatap kolam ikan yang sama. "Mupeng, lo pasti mau makan gebetan gue, ya? Awas aja kalau lo berani dekat-dekat!" kata Gwen memberi peringatan.
Bukan kucing namanya jika bisa memahami apa yang Gwen katakan. Hewan berkumis itu melompat pada salah satu batu berukuran besar yang berada di tepi kolam kemudian mulai, melemparkan tatapan mengintai sebelum akhirnya menerkam mangsa yang diincarnya.
"Heh!" Gwen murka. Melihat ucing itu berlari, dan tanpa pikir panjang ia langsung melempar sandal jepit bergambar hello kitty miliknya ke arah sang kucing. Namun naas sasarannya meleset jauh. Bukan kucing hitam putih incarannya yang kena, justru seorang lelaki di rumah sebelah yang menjadi sasaran empuk tempat mendarat sandal jepitnya. "Mati."
"Woy!"
Gwen mengurungkan niat untuk segera kabur setelah mendengar suara korban lemparan mautnya tadi. "The end ini mah."
"Maksud lo lempar sandal jepit sok manis ini apaan? Kalau gue geger otak, muka gue rusak, gue gak ganteng lagi, lo mau tanggung jawab hah?"
Gwen menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum mengejek. "Lebay banget. Belum aja gue lempar pake golok. Sandal doang gak berasa kali."
Rayyan mulai terpancing. Bagaimana pula gadis aneh ini tiba-tiba mengejeknya seperti itu. Jika seseorang bersalah harusnya meminta maaf bukan? Tapi apa yang dilakukan si pelaku pelemparan itu? Dia malah dengan tanpa dosa meloloskan satu ejekan dari bibirnya. "Perasaan semalam gue mimpi nikah sama Selena Gomez deh, kenapa hari ini gue malah sial bertubi-tubi? Udah sekolah telat, gak dikasih makan, kena lempar sandal jepit juga."
"Lah lo curhat? Curhat sana sama Mama Dedeh jangan sama gue. Selena Gomez kepala lo botak, mimpi tuh jangan terlalu tinggi, nanti jatuhnya sakit."
"Suka-suka gue. Yang ngomong gue, yang mimpi gue. Kenapa lo jadi ngerecokin mimpi gue juga? Gak punya mimpi, ya, lo? Kasihan amat. Turut berduka cita."
"Aih si Mas ini minta gue tendang."
"Pokoknya lo harus tanggung jawab. Kalau enggak, kasus ini bakal gue bawa ke meja hijau."
Karena tidak ingin terlalu lama berurusan dengan pemuda itu, Gwen akhirnya mengangguk toh dia juga yang salah sejak awal. "Ya udah karena gue baik dan bertanggung jawab, jadi gue harus apa?"
"Gampang. Lo cuma harus gantiin tugas gue cuci motor ini."
"Halah kecil. Di sana dulu kopaja aja gue mandiin. Sini alat-alatnya," kata Gwen sembari berjalan memasuki area rumah Rayyan karena sedari tadi mereka berdebat terhalang benteng pembatas yang tak begitu tinggi.
Rayyan tersenyum puas karena tugasnya diambil alih oleh gadis menyebalkan itu. Setidaknya ia bisa makan tanpa harus bersusah-susah dahulu. Lelaki itu duduk di teras memperhatikan orang yang kini tengah mencuci motor sang kakak. Gadis yang cukup cantik sebenarnya, tapi mulutnya benar-benar seperti petasan banting. Bawel sekali. "Lo baru, ya, di sini? Gue kayaknya baru lihat."
"Iya, emang kenapa? Hati-hati naksir sama gue karena gue gak terima cowok nyebelin kayak lo."
Rayyan mendelik sebal. "Mamam tuh naksir!"
Gwen terkikik. Lumayan, ia mendapat tetangga baru yang sepertinya akan membuat hari-harinya tidak membosankan. Setidaknya ada orang yang bisa dijadikan sasaran kejahilan-kejahilannya, dan bagi Gwen itu menyenangkan.
Mata Rayyan berbinar ketika mendapati kehadiran seseorang, terutama ketika gadis itu melemparkan sebuah senyum manis padanya. Si Nona Anabelnya. Aradella Queenny, sahabat kakaknya yang seringkali membuat jantungnya lepas kontrol. "Hai Nona Anabel," sapanya kemudian.
"Hai Tuan Dhinakara. Raka ada?"
Rayyan memutar bola matanya. "Hai Tuan Dhinakara, tapi yang dicariin Aa. Itu tuh sama aja kayak lo datang ke tempat jualan cendol, tapi yang lo tanyain bubur kacang."
Baik Gwen, maupun Ara tak kuasa menahan tawa. Rayyan benar-benar menggemaskan jika sedang ngambek seperti itu.
"Duh Dedek gemas ngambek. Gue mau ngerjain tugas sama abang lo, jadi jangan gangguin kita. Okay? Ngomong-ngomong itu siapa? Cantik, lumayan buat dijadiin pacar biar gak ngenes," kata Ara seraya berlalu dari hadapan Rayyan masuk ke dalam rumah kakak beradik itu.
"Bau-bau cinta sepihak," Gwen mencibir.
"Cinta sepihak leher lo bantet. Gak usah sok tahu!"
"Bodo amat!"
"Amat gak bodoh. Yang bodoh itu lo."
"Suka-suka lo deh. Umur gak ada yang tahu."
"Cewek aneh!"
Gwen diam tak bersuara, enggan menanggapi lagi. Semakin ditanggapi lelaki itu pasti semakin menjadi, dan akan membuat gendang telinganya meledak detik itu juga.
***
Ara tersenyum kecil melihat Raka yang tengah sibuk di dapur. Raka pasti sedang memasak untuk adiknya. Jujur Ara merasa iba melihat kondisi keluarga Raka saat ini. Apalagi jelas terlihat kalau Raka tidak seceria dulu. Ara menyayangkan banyaknya yang hilang dari keluarga ini, termasuk dua sosok penting yang harusnya menjadi tempat mereka bertumpu, panutan, justru pergi begitu saja meninggalkan luka dalam di hati dua sahabatnya. "Hai Tuan Narendra, sok sibuk banget sih."
"Ara, bikin kaget aja. Si Ray belum makan, jadi gue masakin. Kasihan nanti mati."
Ara tergelak mendengar penuturan pemuda itu. Ara tahu kalau sebenarnya Raka takut adiknya sakit apalagi sejak kecil si bungsu memang rewel dan gampang sakit. "Ngakuin khawatir aja gengsi banget sih, Rak."
"Gue kesal. Dia itu masih aja suka seenaknya, gak mau mempelajari sesuatu yang baru, kayak masak atau apa pun itu. Beres-beres rumah pun keseringan gue yang lakuin. Masak mie aja hasilnya jadi kayak bubur bayi, terus ngambek karena gak gue masakin. Childish banget. Gue cuma mau dia mandiri, dan mulai menerima semuanya, termasuk menerima kondisi keluarga kita yang udah gak bisa seperti dulu lagi," Raka tiba-tiba mengoceh meluapkan unek-uneknya.
Ara mengusap bahu sahabatnya. "Gue ngerti, tapi lo juga harus mengerti Ray. Dia tipe anak yang kadang bersembunyi dibalik kekonyolan, kenakalan, atau sifat menyebalkannya. Gak semua hal bisa dia perlihatkan, termasuk suasana hatinya sekarang. Gue yakin kalau dia manja hanya karena ingin diperhatikan. Kalau lo terluka, dia pun sama. Gue harap kalian tetap saling menjaga satu sama lain karena selain lo dan Teh Ibel, Ray gak punya siapa-siapa. Selain lo dan Ray, Teh Ibel gak punya siapa-siapa. Dan lo tanpa mereka pun sama akan sangat hampa."
Lagi-lagi Raka setuju dengan ucapan Ara. Memang benar, tanpa kedua saudaranya itu hidup Raka pasti hampa. Keluarganya bukan lagi pincang, tapi benar-benar hancur jika mereka pun tidak ada. "Makasih, Ra. Lo selalu ada buat gue, buka jalan pikiran gue yang terlalu sempit ini. Buka mata gue kalau gue gak punya siapa-siapa lagi tanpa mereka. Lo juga buat gue sadar kalau selain punya Teteh dan Ray, gue punya lo."
Bolehkah Ara tersanjung? Memang itu yang diharapkannya. Pengharapan besar kalau Raka akan menyadari kehadirannya, menganggapnya lebih dari teman biasanya.