Part 3

1117 Kata
Rayyan keluar dari dalam rumah dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tadi, tanpa sengaja ia mendengar percakapan antara Raka dan Ara. Sedikit banyak Rayyan menyadari sifat manja dan kekanakannya, tapi ia belum tahu bagaimana caranya mengubah itu semua. Dan Ara—gadis yang berhasil mencuri perhatiannya itu terlihat lebih menyukai pemuda dengan pemikiran dewasa seperti Raka dibanding dirinya. "Selesai!" Seruan gadis yang sedari tadi sibuk mencuci motor Raka membuyarkan lamunan lelaki itu. Bahkan sekarang Gwen melompat kegirangan tanpa beban di depannya. "Lumayan juga kerjaan lo. Bisa kali jadi babu tetap di rumah gue." "Babu kepala lo bocor! Sorry, ya, gue sibuk dengan berbagai kegiatan yang lebih berfaedah daripada jadi babu lo." "Sok sibuk!" "Iyalah, gue bukan pengangguran kayak lo." Rayyan diam tak menanggapi. Gwen tentu saja bingung. Jika tadi lelaki itu membalas ejekan-ejekannya, sekarang dia hanya diam. "Lo kenapa?" Rayyan menoleh. "Menurut lo gimana caranya seseorang bisa berubah jadi dewasa? Apa harus tua dulu baru pikirannya ikut dewasa?" "Gak gitu juga. Menurut gue, orang yang udah tua sekalipun gak menjamin punya pemikiran dewasa. Terkadang orang bisa terlihat dewasa dari bagaimana cara dia menyikapi suatu permasalahan." Rayyan paham. Mungkin Raka memang terlihat lebih dewasa karena bijak menyikapi banyak hal, termasuk masalah hidup mereka saat ini. Raka belajar banyak dari kehilangan yang dirasakannya, sedangkan Rayyan cenderung bersikap masa bodoh, meskipun jelas kalau Rayyan tidak seperti kelihatannya. "Ngomong-ngomong kita belum kenalan. Nama lo siapa?" "Mau banget, ya, tahu nama gue? Susah sih cecan itu emang fans-nya dimana-mana." Rayyan melepaskan satu toyoran. Baru saja ia berpikir untuk bersikap lebih baik pada gadis itu, Gwen malah kembali berulah membuatnya gondok. "Dasar cabe alay! Masih untung, ya, gue ajak kenalan. Di luar sana banyak yang ajak gue kenalan duluan, tapi gue gak mau." "Terong busuk! Siapa di luar sana? Demit? Tante-tante rambut panjang? Om muka rata? Siapa? Sok banget." "Gak usah absen kerabat lo. Gue tahu kok lo sebangsa sama mereka, jadi jangan diperjelas." Gwen mengayunkan kaki menendang tulang kering lelaki itu. "Makan tuh demit!" "Ah!" *** Ibel meremas ponselnya. Ia merasa orang tuanya sudah sangat keterlaluan. Mereka sama sekali tak memikirkan perasaan kedua adiknya. Adik-adiknya memang sudah dewasa, tapi bagaimanapun tetap saja Raka dan Rayyan membutuhkan sosok orang tua. Baru saja ia menghubungi sang mama, memintanya tinggal sebentar di rumah untuk sekedar mengawasi Raka dan Rayyan, setidaknya sampai Ibel kembali. Namun permintaannya ditolak mentah-mentah dengan alasan rumah itu hanya mengingatkan mamanya pada kelakuan nakal sang papa. Ibel jatuh terduduk sembari memeluk lututnya. Luka itu sejujurnya dibuat oleh mereka sendiri. Sampai sekarang Ibel belum yakin apakah papanya benar-benar berselingkuh atau tidak. Mamanya terlalu gegabah dalam menyikapi dan mengambil keputusan seolah sudah tidak ada lagi jalan untuk menyelesaikan. Tanpa sadar, sedari tadi seseorang tengah memperhatikannya. Ia menggerakan bolpoinnya dan mencatat sesuatu dalam buku catatan berukuran kecil. Broken home, itulah yang ditulisnya. "Dia punya luka yang dipicu oleh keegoisan orang tuanya," gumam lelaki itu. Kesimpulan tersebut ditariknya ketika ia mendengar percakapan telepon antara Ibel dengan mamanya tadi. Rio Alfiansyah. Dia yang sedari tadi mengawasi Ibel, mengikuti gadis itu sampai ke luar area tempat praktek. Kini gadis yang dicintainya itu tengah menangis. Apa yang harus Rio lakukan? Pasti luka itu sangat dalam sampai membuat Ibel tak tersentuh seperti sekarang. Rio mungkin tidak bisa menghapusnya, tapi Rio akan berusaha untuk menyembuhkannya. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu berjalan mendekati Ibel yang kini sedang menangis. Menyadari kehadiran seseorang, Ibel langsung mengangkat kepalanya dan mendapati Rio sudah berdiri di hadapannya. "Ri ... Rio." "Kamu kenapa?" Ibel menggeleng karena sadar kalau dirinya tidak mungkin melibatkan orang asing terlalu jauh dalam masalah keluarganya. "Gak pa-pa," ujarnya tanpa ekspresi. Rio melengos. Ia pun baru sadar kalau sikap dingin Ibel selama ini hanya bentuk pengalihan sisi rapuhnya. Melihat Ibel yang berjalan semakin menjauh, Rio berteriak, "Bel ... luka itu ada untuk diobati, bukan untuk disembunyikan. Kamu hanya perlu mencari obat apa yang cocok untuk luka semacam itu." Ibel menghentikan langkahnya lantas berbalik. "Obatnya cuma satu. Mereka kembali." *** "Wah, Kak Raka sumpah nasi gorengnya enak banget. Aku paling suka kalau nasi goreng ada suwir ayamnya gini." Raka terkekeh, sementara adiknya mendengus sebal. Jatah makan mereka jadi harus dibagi empat karena kehadiran Gwen. Sungguh menyebalkan. Raka memang sengaja memasak makanan yang lebih spesial agar adiknya itu makan dengan benar. "Makan gak boleh sambil ngoceh, nanti keselek mampus," kata Rayyan. Gwen tak peduli dengan cerocosan Rayyan, yang terpenting ia dapat makan gratis dan enak pula. Kebetulan ia belum memasukan apa pun ke dalam perutnya karena tadi tantenya buru-buru pergi berniat menjenguk kerabatnya yang kecelakaan. Rayyan menatap piringnya yang sudah kosong. Lelaki itu belum kenyang. Sudah dibilang bukan kalau jatah nasi goreng yang harusnya untuk bertiga, jadi dibagi empat karena Gwen. "A, gue masih lapar. Masak lagi sana. Gue kan gak makan dari pagi." Gwen mendelik. "Belum aja lambung lo bolong-bolong. Jadwal makan berantakan banget macem muka lo." Ara dan Raka lagi-lagi tertawa. "Ray, ini jatah punya gue aja buat lo," kata Ara. "Gak usah, Ra. Lo belum makan juga." Ara menggeleng. "Gue udah makan di rumah. Lagian gue ke sini kan mau ngerjain tugas bukan mau numpang makan." "Ya udah kalau maksa." Rayyan menyahuti sembari menarik piring Ara ke hadapannya. Lagi-lagi kelakuan si bungsu membuat orang yang berada di sana menggeleng. Rayyan makan dengan begitu lahapnya seolah tidak sedang tertimpa masalah berat. Sendok, garpu, yang beradu dengan piring menimbulkan bunyi nyaring yang teratur. Sedang asik makan tiba-tiba Rayyan merasakan tangan seseorang mengusap lembut sudut bibirnya. "Berantakan banget sih, Ray," kata Ara lembut. Rayyan terdiam cukup lama. Sentuhan itu mengingatkannnya pada sesuatu. Tenggorokannya terasa kering, hingga tangannya yang semula sibuk dengan sendok juga garpu bergerak bebas mengambil air minum untuk kemudian meneguknya. Perutnya tiba-tiba saja terasa penuh. "Gue inget Mama masa," lirihnya dengan diikuti tawa sumbang. Sesak. Rayyan jadi ingat bagaimana dulu sang mama begitu memanjakannya. Jadi, sekarang di saat semuanya berubah rasa kehilangan itu kian dalam. Suasana mendadak hening, bahkan Gwen pun ikut diam setelah mendengar ucapan pemuda itu. Raka yang paling tahu bagaimana perasaan adiknya sekarang. Rayyan memang dekat dengan sang mama, jadi wajar kalau rasa kehilangan itu tampak begitu kentara, meskipun semula Rayyan membuat semuanya terlihat baik-baik saja. Rayyan bangkit dari posisinya, kemudian melangkah menjauh dari meja makan. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, bagaimana sang mama ia rindukan, tapi tak mungkin mendapat balasan. "Raka, Ray kayak gitu karena gue, ya?" Ara merasa tidak enak karena ternyata perlakuannya membuat Rayyan teringat pada sosok mamanya. Raka menggeleng. "Dia emang dekat banget sama Mama, jadi wajar kalau sensitif sama sentuhan kayak tadi." Gwen yang sungguh tak tahu apa-apa memilih diam, bagaimanapun ia hanya orang luar yang untuk saat ini belum berhak mengetahui apa pun. Bertanya saja rasanya terlalu jauh. Mungkin nanti disaat mereka mulai nenerima kehadirannya, Gwen baru akan bertanya atau mungkin mereka akan bercerita dengan sendirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN