Gwen menusuk-nusuk pipi Rayyan yang kini tengah tertidur dengan telunjuknya. Lelaki itu masih tak bergerak bahkan ketika seorang guru menegur, membuat Gwen harus beralibi bahwa anak itu sakit. Raka memang sempat menitipkan Rayyan padanya. Jadi, mau tidak mau Gwen harus menjalankan dengan baik amanat itu. Untung sekarang jam kosong, jadi ia biarkan saja Rayyan yang masuh tertidur. "Ray, lo tidur apa mati? Heran gue gak gerak-gerak dari tadi," tutur Gwen.
Gwen sadar kalau suhu tubuh lelaki itu di atas normal. Memang Rayyan juga yang salah, sudah tahu sakit tetap nekat bersekolah, meskipun tidak sepenuhnya salah karena Gwen juga mengerti alasannya. Semakin sering bolos, maka tugas semakin menggunung.
Karena terlalu asik melamun sembari memandangi lelaki itu, Gwen sampai tidak sadar kalau Rayyan terusik karena ulahnya.
"Gue tahu gue ganteng. Gak usah mupeng gitu!"
Jelas saja Gwen terkesiap. "Gila! Bangun gak bilang-bilang. Untung jantung gue gak pindah posisi."
Rayyan terkekeh pelan. Reaksi kaget Gwen sama sekali tidak terlihat lucu, namun cukup membuatnya gemas. "Dasar cabe alay! Ya kali jantung pindah posisi, kalau gigi lo sih mungkin aja pindahan ke jidat."
"Terong busuk bodoh. Mana ada gigi pindah ke jidat. Hidung lo nanti pindah ke pantat."
Rayyan kembali dibuat tertawa kecil, tetapi detik berikutnya ia meringis menahan rasa sakit di perutnya. Rasa sakit yang terbilang aneh karena baru mulai dirasakannya dekat-dekat ini.
Gwen berubah cemas, segera saja ia bertanya, "Lo kenapa?"
"Lo khawatir, ya? Ketahuan mulai terpesona dan nge-fans sama gue. Coba Ara yang cemas sama gue."
"Nge-fans gigi lo breakdance. Gue gak khawatir cuma, ya ... emh gimana ... lo ... lo dititipin Kak Raka ke gue," sahut Gwen gelagapan. "Ara? Kak Ara yang kemarin?"
"Kalau lo jujur gak mungkin gelagapan kayak gitu, dan kalau lo jujur mata lo gak bakal kemana-mana pasti berani ngelihat gue. Karena selain hati, mata adalah satu organ penting yang gak pernah bisa bohong. Iya Aradella Queenny."
Gwen diam. Benar juga kata Rayyan. Terkadang seseorang ketahuan berbohong hanya dari mata. "Lo suka sama Kak Ara?"
"Gue mau ke toilet. Lo mau ikut?" Rayyan malah balik bertanya, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan pembahasan mereka tadi. Sadar kalau ia sudah terlalu jauh menyeret Gwen.
"Ikut gundulmu. Mau banget, ya, gue intipin?"
Rayyan tak menanggapi. Ia bergegas pergi dari hadapan gadis itu.
***
Raka berlari tunggang-langgang begitu mengetahui adiknya berkelahi. Ia belum tahu pasti apa yang jadi penyebabnya, yang jelas Raka harus melihat adiknya dulu sekarang. Rayyan tidak boleh terus menerus diberi tekanan seperti ini, kalau tidak ingin berujung dengan sesuatu yang tak diharapkan.
Kelasnya yang berjarak cukup jauh dengan kelas sang adik, membuat Raka sedikit kelimpungan. Dengan napas yang masih terengah ia berusaha menarik adiknya yang kini tengah menghajar habis-habisan anak lelaki yang diduga teman sekelasnya. "Ray udah!"
"Enggak! Anak ini emang pantas diberi pelajaran."
Raka menatap nyalang siswa-siswi yang malah menjadikan adiknya tontonan, bahkan tak sedikit yang berseru mendukung aksi Rayyan, ada pula yang memotret kejadian itu. "Lo semua g****k atau apa? Ada yang berantem bukannya dipisahin, malah dijadiin tontonan! Otak kalian di mana, hah?" marahnya.
Seketika suasana hening. Semua beringsut takut. Raka yang biasanya diam berubah menyeramkan ketika marah dan ini pertama kalinya Raka mempertontonkan kemarahannya di depan umum, saking kesalnya dengan tingkah mereka semua. "Ray, udah," suara Raka melunak.
Rayyan berontak ketika Raka kembali menariknya dan terus memukuli anak lelaki yang sudah nampak kewalahan menerima perlakuannya.
"Gue bilang udah, ya, udah!" sentak Raka.
Rayyan menyerah. Setelah pukulan terakhir ia langsung bergegas meninggalkan kerumunan. Ada perasaan marah pada sang kakak yang justru tak sedikitpun memberikan pembelaaan. Rayyan hanya sedang berusaha memberikan pelajaran pada Galang yang terang-terangan menghina keluarganya. Apa itu salah? Selepas dari toilet, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja anak itu mengejeknya membuat Rayyan yang suasana hatinya sedang tidak begitu baik murka.
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Rayyan sudah tahu siapa itu, namun ia bergeming.
"Apa yang bikin lo marah?"
Rayyan masih diam.
"Bilang sama gue apa yang bikin lo segitu marahnya?"
Rayyan membalikan tubuhnya. Dia menatap sang kakak dengan tatapan sendu, membuat batin Raka turut pilu menerima tatapan seperti itu. "Dia bilang kalau anak yang orang tuanya bercerai itu gak punya masa depan. Dia bilang anak yang orang tuanya bercerai itu adalah anak yang kurang kasih sayang. Orang tua egois dan anak-anak terlantar. Gue harus diam A dia bilang kayak gitu? Gue gak bisa."
"Apa yang buat lo marah? Kalau lo marah, berarti lo membenarkan apa yang dia bilang. Kenapa? Karena lo bersikap seperti brandal yang kurang kasih sayang. Bukan dengan perlakuan seperti tadi lo bungkam mulut-mulut mereka yang menghina lo, tapi dengan prestasi lo. Tunjukan kalau lo gak seperti apa yang mereka tuduhkan."
"Gue sakit hati," tutur Rayyan dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.
"Gue lebih sakit hati lihat lo jadi tontonan kayak tadi. Lo harus ingat kalau lo gak sendiri hadapin ini semua. Ada gue, ada Teteh, kita bareng-bareng lewatin hidup tanpa mereka."
"Sakit, A. Lebih sakit lagi saat lo tahu titik sakitnya, tapi gak tahu gimana cara ngobatinnya."
Raka tersenyum miris. Benar apa yang dikatakan Rayyan, mereka tahu betul dimana letak sakitnya, tapi tak pernah tahu obat macam apa yang sanggup jadi penyembuhnya. "Lo sabar, ya. Suatu saat nanti pasti bakal ada titik terang untuk kita bahagia."
Dari jauh Ara menatap kakak beradik itu. Jujur perasaannya selalu campur aduk melihat mereka. Ara tidak ingin terlalu jauh ikut campur dalam kehidupan mereka, tapi Ara merasa harus membantu. Dua sosok yang kadang terlihat garang dan sok kuat itu, tak lain adalah dua sosok yang sebenarnya rapuh.
***
Ibel baru saja dikabari oleh pihak sekolah bahwa sang adik bertengkar hingga menyebabkan pihak yang menjadi lawan adiknya mendapat tiga jahitan di pelipis dan wajah lebam-lebam. Ibel bingung bagaimana ia pergi ke sekolah sementara ini masih di luar kota. Banyak pasien yang membutuhkannya, tapi adiknya pasti jauh lebih butuh dirinya sekarang. Emosi Rayyan yang tidak terkontrol seperti itu terus terang saja membuatnya cemas.
Rio yang sudah waktunya pulang berhasil menangkap kegusaran Ibel. Dengan langkah gontai lelaki itu mendekat. "Ada apa, Bel? Kayaknya bingung banget."
Ibel menggeleng dan buru-buru melangkah pergi.
Rio menghela napas panjang. "Bisa gak sih kita normal-normal aja mulai sekarang? Aku rekan kerja kamu, teman kamu juga kalau kamu bersedia berteman sama aku. Jangan anggap aku seperti orang asing."
Ibel mematung di tempatnya. Rio. Mengapa laki-laki itu jadi banyak menuntut seperti sekarang? Sebelumnya Ibel bahkan bersikap lebih dingin dari ini dan Rio tidak pernah mempermasalahkannya. Jujur, sejak awal Ibel memang menyadari perasaan Rio padanya, tapi ia sengaja tak menanggapi agar Rio tak terus berharap.
"Kalau ada yang bisa aku bantu, aku pasti bantu. Jangan sungkan minta tolong."
"Kenapa kamu bersikap seperti ini?"
Rio mengernyit bingun. "Maksudnya?"
"Jelas-jelas aku berjalan memunggungi kamu, tak pernah sekalipun berbalik ke arahmu. Kenapa kamu masih tetap tinggal dan berjalan mengejarku? Cuma sakit yang bakal kamu rasain, Rio."
Rio paham maksud ucapan Ibel. Ia baru sadar kalau ternyata Ibel sudah menangkap gelagatnya. "Jalan tidak selalu mulus, meskipun sekarang aku berjalan di belakang kamu boleh jadi nanti kamu terjatuh dan aku bisa segera menyusul langkah kamu. Bukan untuk meninggalkan kamu, tapi membantu kamu berdiri dan mengajak kamu berjalan beriringan menuju pintu kebahagiaan."
Ibel mengulum senyum. Perasaannya seakan tergelitik mendengar penuturan Rio barusan. Perasaan semacam ini nyaris tak pernah dirasakannya selama bertahun-tahun. "Terima kasih," hanya kata itu yang sanggup dikatakannya lantas kembali melanjutkan langkahnya.
Rio tak tahu artian terima kasih di sini. Ia diam cukup lama.
"Kemajuan."
Rio terperanjat kaget ketika lagi-lagi seseorang tiba-tiba muncul. "Ya ampun, Dok, kebiasaan banget sih muncul tiba-tiba."
Aldo terkekeh. "Lihat, Yo, dia kasih kode biar kamu gak mundur."
"Kode apa?"
"Terima kasih. Itu kode loh. Dia berterima kasih itu artinya dia memberikan kamu jalan supaya bisa membantu dia. Lakukan!" tutur Aldo sembari menepuk bahu Rio beberapa kali sebelum akhirnya pergi.
***
Rayyan di-skors selama tiga hari akibat perkelahian itu. Namun tak hanya Rayyan, orang yang memicu keributan pun mendapat hukuman.
Ara tahu bagaimana perasaan Raka sekarang. Untuk sekarang tentu saja Raka yang bertanggung jawab atas kelakuan sang adik karena memang ia yang lebih tua. Pihak sekolah menghubungi Ibel, tapi jelas Ibel tidak bisa datang karena sedang di luar kota, dan orang tua mereka sulit dihubungi. Ara merasa sangat prihatin akan itu.
"Raka? Are you okay?"
"Hm." Raka hanya menggumam.
Dari situ Ara semakin yakin kalau Raka tidak sepenuhnya baik-baik saja. "Lo harus ingat, seberat apa pun itu Allah pasti sudah mempersiapkan sesuatu yang indah buat lo, Ray, dan Teh Ibel. Bawang aja semakin dekat dengan intinya semakin perih saat dikupas. Begitupun hidup, terkadang lo harus merasakan perih berkali-kali lipat untuk pada akhirnya menemukan tujuan lo hidup. Jangan nyerah. Gue yakin lo pasti bisa melewati semuanya."
"Makasih, Ra, lo gak pernah bosan kasih gue nasehat dan buat gue balik semangat."
"Itu gunanya seorang teman 'kan? Gue gak akan ke mana-mana, selama Allah masih mengizinkan gue bernapas gue pasti berusaha untuk selalu ada."
Raka tersenyum. Betapa beruntungnya ia mempunyai sahabat seperti Ara, yang tak pernah lepas memberi suntikan semangat.