Part 6

1370 Kata
Keheningan mendominasi kamar bernuansa gelap ini. Pikiran sang pemilik kamar tengah berlarian ke sana-kemari karena berbagai permasalahan yang dihadapi. Di-skors, bisa dipastikan kalau dirinya akan menerima omelan pedas dari sang kakak, tapi Rayyan tidak takut karena semua bukan murni salahnya. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api bukan? Jelas-jelas anak itu yang memancing amarahnya. Rayyan mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ia berencana menghubungi mamanya. Me Mama Me Ma, aku kangen. Aku emang gak mau ikut Mama atau Papa karena aku marah, tapi apa kalian gak mau jenguk aku sama Aa? Me Ma, perut aku sakit udah beberapa hari, tapi parahnya baru semalam dan hari ini. Biasanya Mama bacain do'a, ditiup-tiup terus nanti sembuh. I miss you so bad. Lelaki itu meringkuk, menahan sakit yang kembali mengoyak perutnya. Rayyan menekan pusat rasa sakitnya, dengan harapan bisa membuat sakitnya lenyap. Namun tak berefek sama sekali. Rayyan juga tidak mungkin mengganggu Raka dan Ara yang sedang mengerjakan tugas. Lalu siapa yang bisa dimintai tolong saat ini? Dengan sisa-sisa tenaganya Rayyan berusaha bangkit hendak mengambil obat di lantai bawah. Obat pereda nyeri, yang jelas-jelas malah mempengaruhi kesehatan lambungnya. Dulu Ibel selalu memberi peringatan tegas agar adiknya tidak meminum obat nyeri tanpa didampingi obat untuk lambung ... atau setidaknya minum paracetamol yang lebih aman. Tak ada siapapun di rumah ini karena memang Raka mengerjakan tugas di rumah Ara. Jadi, mau tidak mau Rayyan harus mengurusi dirinya sendiri. Setelah sampai lantai bawah, lelaki itu langsung mengambil paracetamol di kotak obat. Meskipun dengan kandungan paracetamol 500 mg lebih efektif sebagai antipiretik atau penurun demam, tapi Rayyan pikir itu lebih baik karena ia juga tidak mau mengambil resiko minum obat yang justru membuat lambungnya sakit, apalagi Rayyan belum makan. Segera saja ditelannya tablet berwarna kuning itu tanpa minum. Dalam hati ia berharap banyak agar obatnya bisa segera bekerja. *** Meski terpaksa, Gwen tetap pergi ke rumah tetangga barunya untuk mengantar makanan. Semua itu karena dirinya ketahuan numpang makan di rumah sebelah. Jadi, tantenya meminta gadis itu segera membalas budi baik mereka, padahal harus ada percekcokan dulu dengan si bungsu sebelum Gwen benar-benar makan. Gwen menekan bel rumah mewah itu, tetapi tak juga mendapat sambutan dari pemilik rumah. Jika sekarang Gwen pulang tentu saja nanti akan disuruh kembali lagi. Jadi, Gwen memutuskan untuk menunggu. Gwen menatap puding karya tantenya, kemudian tersenyum jahil. "Kalau aja di sini cuma ada si terong busuk, puding buatan Tante Nadia bakal gue campur lem kayu sedikit biar si terong gak banyak ngoceh. Sayangnya ada Kak Raka, kasihan kalau dia ikut makan." Gadis itu tertawa sendiri setelah berujar demikian. Membayangkan bagaimana lem berwarna putih yang berubah bening setelah kering itu tertelan oleh Rayyan. Mungkinkah organ pencernaan Rayyan akan saling menempel satu sama lain? Gwen menggeleng. "Mana mungkin nempel, ada juga dia mati," katanya lagi. "Siapa yang mati?" Pertanyaan itu kontan membuat Gwen terperanjat kaget karena terlalu tiba-tiba. "Terong busuk. Benar-benar keturunan demit emang lo. Datang pergi seenaknya. Ini hati, Bang, bukan wc umum." "Lah, curhat? Ketahuan langganan tempat parkir tukang PHP." "Eh, kok lo tahu? Iya gue tuh sering banget digituin. Padahal gue tulus, tahunya dia cuma modus. Yang parahnya lagi gue pernah suka sama orang, dia dekat sama gue, apa-apa ke gue, bikin gue ngerasa spesial. Ternyata ... oh ternyata, dia sukanya sama sahabat gue. Ngenes gak sih?" Meski tengah menahan sakit, Rayyan masih mampu jika diharuskan tertawa keras. Dan itu benar dilakukannya. "Mampus. Gue ngakakin jangan? Lo kelewat aneh sih jadi cewek. Cowok juga mikir dua kali mau sama lo." Gwen mendelik sebal. "Sialan, ya, itu ngomongnya gak pake filter. Untung gue sabar orangnya. Belum aja gue daftarin di situs santettetangga.com." "Jadi lo mau apa ke sini? Kangen sama gue?" "Najis. Gue ke sini disuruh Tante Nadia buat nganterin puding. Nih," ujar Gwen sembari menyerahkan puding coklat di tangannya. "Gak lo macem-macemin 'kan?" "Gak kok. Cuma gue taburin paku payung dikit di dalamnya. Itung-itung bonus dan salam perkenalan dari gue." "Mati aja lo sana! Kejam amat jadi orang. Periksain gih, pasti 99,99% lo psikopat." "Bodo amat makan gih. Muka lo masih pucat." "Nah, lo khawatir 'kan sama gue?" "Tidak, ya. Kalau gue khawatir sama lo bisa-bisa setan-setan kepala buntung nempel lagi kepalanya. Bye terong, jangan kangen gue, ya." Rayyan geleng-geleng. Gadis itu memang ajaib. Tipe pribadi yang tidak tahu malu campur terlalu percaya diri, begitulah jadinya. Namun Gwen berhasil membuat Rayyan mengalihkan rasa sakitnya sejenak. Itu lebih dari cukup. *** Raka terkekeh geli melihat wajah Ara yang cemong. Tugas mereka sudah selesai, dan Ara menyempatkan diri mengajak Raka bermain agar tidak bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Lagi pula sebentar lagi mereka ujian, kalau sebelum pemantapan saja otak sudah sedemikian dipaksa bekerja keras takut-takut kalau malah nanti stres. Keduanya bermain ular tangga. Yang berhenti tepat pada ekor ular, dan mengharuskan turun sampai pada kepala ular itu berada, maka dihukum dengan mendapat satu coretan. Anehnya selalu saja Ara yang seperti itu. Alhasil wajahnya penuh dengan coretan bedak bayi yang sengaja dibasahi air. Menjengkelkan. "Raka ih, muka gue udah kayak kesemek pasti cemong begini." Raka masih tertawa. "Haha ... masih cantik kesemek loh, Ra. Lo harus berkaca dan mulai bertanya sama cermin ajaib siapa yang paling cantik di dunia ini. Jawabannya pasti buah kesemek." "Jahat banget. Lo kelamaan nyasar di dunia dongeng, jadi kayak gitu." "Lo benar, Ra. Gue terlalu lama berkeliaran di dunia dongeng sampai-sampai gue gak bisa terima kalau kehidupan yang sesungguhnya itu gak seindah dongeng." Ara menghela napas panjang. "Yah, baper. Sorry, gue gak bermaksud kayak gitu. Gue cuma bercanda, Raka." Raka tersenyum tipis. "Gue tahu. Emang gue aja yang lagi sensitif," sahut Raka. "Sini mukanya gue bersihin." Ara diam saja ketika melihat lelaki itu mengambil tissue dan mulai membersihkan wajahnya. Dalam jarak sedekat ini Raka benar-benar terlihat tampan. "Raka lo ganteng deh." "Jangan petakilan. Jangan pasang mata genit gitu, kelilipan bedak aja tahu rasa." Gadis itu mengerucutkan bibir. Padahal pujiannya barusan tulus, tapi Raka malah seperti itu. "Nanti-nanti gue gak mau puji lo lagi. Kesal, gak hargain pujian orang. Bersyukur lo punya wajah ganteng, gak kayak Miper." "Nge-fans banget, ya, Ra, sama Miper?" "Dih, enggak, ya. Gue tuh gak nge-fans sama dia." "Gak nge-fans, tapi mengidolakan diam-diam. Semacam secret admirer gitu, ya? Wah so sweet banget sih, Ra." "Gak peduli, bodo amat!" "Ngambek, nih? Bercanda, Ra." "Gak kok." "Eh, udah sore banget, Ra. Gue balik dulu, ya? Ray di rumah sendiri kasihan dia lagi sakit juga." Ara mengangguk. "Jangan ngebut. Pelan-pelan aja bawa motornya. Hati-hati!" "Siap!" *** Rio mulai percaya diri untuk mendekati Ibel. Benar kata seniornya, kalau Rio hanya diam saja tanpa melakukan pendekatan apa-apa, Ibel takkan pernah jadi miliknya. Lelaki itu melihat Ibel tengah memberi edukasi pada pasien membuat senyumnya terbit. Ibel benar-benar cantik. Rio menulis sesuatu dalam secarik kertas, kemudian menyelipkan kertas itu pada salah satu kelopak bunga mawar di tangannya. Seperti analgetik narkotik, senyummu itu bisa menjadi pereda rasa sakit juga memberi efek adiksi bagi siapa pun yang melihatnya. Selamat bertugas Dokter cantik. -RA- Rio berjalan menjauh dari tempat itu, menuju ke suatu ruangan untuk melancarkan misinya. Ia meletakan setangkai bunga mawar itu di dekat ruangan istirahat Ibel. Dengan harapan gadis itu bisa menemukannya ketika gadis itu beristirahat nanti. *** Rayyan mengetik sesuatu pada kolom pencarian google dengan mimik serius. Keyword yang diketikanya terbilang menyedihkan. Rayyan benar-benar ingin kedua orang tuanya kembali bersama, maka dari itu ia melibatkan google untuk membantu melancarkan tujuannya. Rayyan rindu kehidupannya yang dulu. Rindu sikap tegas dan berwibawa papanya, kasih sayang juga kehangatan mamanya. Rindu keluarga utuhnya. Tadi, sang mama hanya membalas pesannya dengan singkat 'cepat sembuh' dan Rayyan merasa diabaikan karena hal itu. Lelaki itu membuka satu per satu artikel yang ada di sana. Namun belum sempat semua dibukanya, tiba-tiba perutnya kembali terasa mual, padahal Rayyan tidak memasukan apa pun ke dalam perutnya selain obat tadi. Dengan gerakan cepat ia melompat dari tempat tidur, berlari ke arah kamar mandi dan memuntahkan isi lambungnya di sana. Berkali-kali hingga tubuhnya benar-benar lemas. Dadanya mendadak sesak karena aksi muntahnya barusan. Rayyan duduk bersandar setelahnya. Tangannya terangkat menyentuh perut kanan atas yang saat ini kembali terasa sangat sakit. Dan ia sadar ... ada yang berbeda. Bagian itu seperti sedikit bengkak karena beda beda dari bagian satunya. Sebenarnya kenapa? Apa yang terjadi padanya? Entahlah. Semoga bukan sesuatu yang buruk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN