Raka membanting tubuhnya, melepas penat. Ia baru saja sampai rumah, dan adzan magrib langsung menyapa gendang telinganya. Jika dulu, sebelum kedua orang tuanya sibuk bahkan memutuskan untuk berpisah, mereka selalu menunaikan shalat berjama'ah. Keluarga yang begitu bahagia. Dulu.
Pemuda itu bangkit, melangkah gontai menuju kamar adiknya. Orang tuanya memang tidak ada, tapi tidak ada salahnya ia tetap menegakkan shalat berjama'ah. Masih ada Rayyan.
Diketuk pintu kamar sang adik beberapa kali, namun tak ada jawaban. Ingat kalau adiknya ia tinggalkan dalam keadaan sakit, raut wajah Raka berubah panik. "Ray," panggilnya. Masih tak terdengar sahutan. Akhirnya Raka memilih langsung masuk daripada terus menunggu.
Raka terkejut mendapati adiknya berbaring di tempat tidur dengan wajah pucat juga banjir keringat. "Ray, lo kenapa?"
"Sa ... kit, A."
Tanpa pikir panjang Raka langsung mendekati adiknya kemudian berjongkok di samping tempat tidur. "Naik! Kita harus ke dokter sekarang!"
Tentu saja Rayyan langsung menolak, bagaimana mungkin ia bersedia di gendong oleh sang kakak. Pertama, gengsi. Kedua, Rayyan tidak ingin menyusahkan. "Gak, A."
Raka berdecak kesal. "Lo naik atau gue seret? Gue gak terima bantahan!"
Dalam hati Rayyan mengumpat. Padahal ia sedang sakit-sakitnya, tapi sang kakak masih saja bersikap kejam. Lihat saja jika nanti ia sembuh, Raka akan menerima balasannya. Dengan sedikit kepayahan Rayyan bangun dari posisinya semula kemudian menjatuhkan tubuhnya di punggung Raka. Sebenarnya Rayyan sangat tahu kalau kakaknya itu cemas, hanya saja Raka berusaha menutupinya dengan bersikap galak.
"Lo tahan, Ray. Usahakan tetap sadar. Lo boleh melakukan apa pun sama gue kalau lagi ngerasa sakit."
***
Ibel menautkan alis melihat setangkai bunga mawar merah di depan ruang istirahatnya. Ibel menunduk berusaha melihat lebih dekat, rupanya ada secarik kertas diantara kelopaknya. Sebuah senyum tercetak di wajahnya ketika mendapati gombalan klasik ala seorang ... dokter—mungkin—dalam kertas itu. Ibel tidak tahu pasti. Namun huruf "RA" di bawah tulisan itu seperti tengah memberitahu secara tidak langsung identitas si pengirim. Apakah semacam pengagum rahasia? Tunggu, itu ... sedikit menggelikan.
Perempuan itu langsung masuk, membawa serta bunga yang ditemukannya tadi. Ia harus segera menghubungi adiknya terutama menanyakan kondisi Rayyan, apakah sudah lebih baik, atau masih sama.
Beberapa kali Ibel mencoba menghubungi Raka, namun tak di angkat. Rayyan apalagi. Rasa cemas langsung menguasai benaknya. Ibel takut kalau terjadi sesuatu di sana sampai-sampai kedua adiknya tidak sempat mengangkat telepon. "Raka, Ray, kalian kemana sih?"
Me
Raka, angkat telepon Teteh.
Me
Gimana keadaan Ray sekarang?
Me
Raka, kalian kemana? Kenapa telepon Teteh gak diangkat terus? Teteh khawatir.
Ditaruhnya ponsel itu kembali. Lebih baik Ibel segera menunaikan shalat magrib sekarang agar hatinya tenang.
***
Rayyan sudah terkulai lemas di gendongan Raka. Bukan tak mau berusaha untuk tetap sadar, tetapi rasanya memang sangat sakit sampai-sampai untuk membuka mata pun rasanya berat.
Raka merasa kalau adiknya semakin berat karena sepertinya Rayyan bertumpu penuh padanya. Kecemasan pun tak bisa disembunyikan lagi. Baru kali ini Rayyan sakit hingga seperti ini. Taksi yang ditumpanginya tadi terjebak macet, akhirnya Raka harus rela berjalan kaki untuk sampai ke rumah sakit. Untunglah lokasi rumah sakit tidak begitu jauh dari posisinya saat ini. "Ray, lo harus kuat!"
Lelaki itu bermandi peluh. Tak berselang lama ia tiba di rumah sakit. Dengan napas terengah Raka berteriak memanggil siapapun yang bisa memberikan pertolongan pada adiknya saat ini. Raka tidak ingin kehilangan Rayyan. Sungguh.
"Tolong adik saya, Dok!"
"Adiknya kenapa, Dek?"
"Perutnya sakit, dan dalam perjalanan ke sini tiba-tiba saja pingsan."
Perawat menghampiri dan mulai menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan Rayyan, tentu saja di bawah perintah dokter.
"Sakit perutnya sebelah mana? Seperti apa rasanya? Perih, sakit seperti ditusuk, atau bagaimana?"
"Lah mana saya tahu, Dok, kan adik saya yang ngerasain!" lelah bercampur panik, jadi seperti itulah reaksi Raka ketika ditodong berbagai pertanyaan.
Dokter cantik di hadapan Raka menghela napas. "Bukan begitu, barangkali adik kamu pernah mengeluh sakit."
"Dia punya riwayat sakit maag, tapi kemarin sepertinya bukan itu penyebabnya," kata Raka, "kalau gak salah lihat tadi dia pegang perut kanan bagian atasnya."
"Ada muntah?"
"Sempat mual parah, tapi gak sampai muntah. Demamnya juga gak turun-turun dari kemarin padahal sudah meminum obat penurun demam seperti anjuran Kakak saya "
Dokter itu mengangguk paham. Pasien belum sadar, dan belum bisa menjelaskan secara rinci rasa sakitnya. Pemeriksaan lanjutan pun akan dilakukan jika ditemukan gejala yang menjurus pada suatu penyakit. "Orang tua kalian di mana? Sebaiknya dihubungi untuk mengurus administrasi juga segala sesuatunya. Kamu masih terlalu kecil untuk mengurusi hal semacam itu."
"Saya akan mengurus administasinya, tolong tangani Adik saya dengan baik!"
***
Amanda menggenggam erat ponselnya. Raka memberi kabar bahwa si bungsu di rumah sakit sekarang. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain diam, menunggu kabar. Sejumlah uang telah ditransfer ke rekening putranya untuk biaya perawatan Rayyan. Bukan bermaksud jahat hanya saja ia sedang berada di luar kota berlibur dengan teman arisannya untuk melupakan sejenak beban masalah yang dipikulnya.
"Ray, maafkan Mama," lirihnya.
Si bungsu memang paling dekat dengan Amanda. Oleh karena itu, ia sempat kaget ketika Rayyan menolak untuk ikut tinggal bersamanya. Amanda sangat menyayangi ketiga anaknya, sungguh. Namun ... untuk saat ini Amanda benar-benar ingin sendiri, bersenang-senang, sampai semua kenangan buruknya meluap.
Egois memang. Ibel bahkan pernah dengan terang-terangan mengutuk dirinya yang tega meninggalkan Raka dan Rayyan yang masih butuh pengawasannya, walaupun terbilang sudah cukup dewasa.
Kalau Raka dan Rayyan mau tinggal bersamanya, ikut membantunya memupus kenangan tentang Radit, Amanda tentu tidak akan keberatan mengurusi keduanya. Jarak pun tidak akan membentang sejauh ini. Namun itu pilihan Raka juga Rayyan, jadi Amanda memilih diam sampai tiba waktunya mereka akan datang kepadanya, serta memilih rumah Amanda sekarang untuk tempat bernaung.
***
Rayyan dipindahkan dari IGD ke ruang perawatan. Rupanya sang adik memang dalam masa observasi. Jika keluhannya berlanjut, atau gejala yang memberat pemeriksaan lanjutan akan diambil.
Raka menggenggam tangan adiknya. "Ray, bangun. Gue berasa mau gila lo tahu? Mama, Papa, jelas udah pergi. Teteh jauh, dan sekarang lo kayak gini. Jangan buat gue merasa gagal jadi seorang Kakak."
Tak ada respon sama sekali. Mungkin dokter sengaja membuat Rayyan beristirahat sedikit lebih lama, tapi jujur itu membuat rasa cemas di benak Raka tak kunjung menguap. Ia sudah menghubungi sang mama, namun tanggapan yang didapat sungguh mengecewakan. Papanya pun sudah di hubungi, tetapi sama sekali tak ada tanggapan. Tadi Raka sudah membalas semua pesan kakaknya, tapi belum mendapat balasan lagi karena sepertinya Ibel tengah sibuk.
Untung saja di ATM-nya ada uang, jadi Raka bisa membayar administrasi rumah sakit, dan adiknya bisa ditangani.
Ponselnya Raka bergetar. Permintaan video call dari kakaknya. Raka segera menggeser lambang gagang telepon berwarna hijau. "Assalamu'alaikum, Teh."
"Wa'alaikumsalam. Raka bagaimana Ray sekarang? Maaf Teteh baru selesai dinas," kata Ibel dengan raut cemas.
"Ray belum bangun. Teh, maaf aku gak bisa jaga Ray dengan baik sampai-sampai Ray seperti ini."
Ibel menggeleng, air matanya tak bisa ditahan lagi. "Teteh yang salah. Harusnya Teteh ada bersama kalian. Harusnya Teteh menjaga kalian dengan baik."
Raka menahan sesak di dadanya. "Teh, jangan nangis. Teteh gak salah karena Teteh sedang menunaikan bakti Teteh sebagai tenaga kesehatan. Ray akan baik-baik aja, aku janji bakal jaga Ray."
Melihat Ibel masih menangis, Raka menghadapkan ponselnya pada Rayyan. "Teh, Ray kalau tidur damai banget, ya? Dia pasti sedih kalau lihat Teteh nangis. Please, kuat demi kita, Teh. Kalau Teteh yang merupakan satu-satunya tempat kita bertumpu rapuh seperti ini, sama siapa lagi kita minta dikuatkan? Mama sama Papa udah gak peduli, Teh."
"Secepatnya Teteh akan pulang, Raka. Titip Ray selama Teteh di sini. Kamu jaga kesehatan, jangan sampai ikut sakit."
Raka menghadapkan kembali ponsel itu padanya. "Aku janji akan menjaga Ray, Teh. Teteh bantu do'a dari sana, semoga tidak ada yang serius."
"Aamiin. Kamu sudah shalat? Jangan lupa shalat, minta yang terbaik untuk kita semua."
"Sudah, Teh. Pasti, itu do'aku setiap hari."
"Teteh sayang kamu, Raka. Teteh juga sayang sama Ray. Kabari Teteh terus bagaimana perkembangan Ray. Ingat pesan Teteh, kamu harus bisa menjaga kesehatan."
"Aku juga sayang Teteh. Aku tutup dulu, ya, Teh. Batrenya hampir habis, dan aku gak bawa charger karena tadi buru-buru. Teteh juga jaga kesehatan."
Ibel tampak mengangguk. Setelah saling mengucap salam, sambungan terputus. Raka kembali terpenjera dalam hening juga kebingungan yang luar biasa. Bagaimana ia melewati semuanya jika Rayyan sekarang seperti ini? Rayyan dan Ibel itu merupakan alasan Raka untuk hidup, serta alasan Raka bahagia. Jadi, Raka tidak ingin kehilangan satu diantara keduanya. Percayalah, jika Raka diberi kesempatan untuk memilih, ia akan memilih pergi lebih dulu, daripada melihat orang-orang terkasihnya pergi.
"Dek, cepat sembuh. Gue sayang sama lo," ujar Raka dengan nada lirih sembari diusapnya lembut puncak kepala sang adik. Pernyataan itu jujur dari lubuk hatinya yang terdalam.