Gwen tertahan di ambang pintu saat menyaksikan apa yang sedang terjadi pada Rayyan saat ini. Lelaki itu tampak berkali-kali membuka mulut, mengeluarkan isi lambungnya dengan suara menyakitkan. Sebuah emesis basin ditadahkan tepat di bawah mulutnya. Raka yang sepertinya lelah pun tak tinggal diam, tangan kanan lelaki itu bergerak memijat tengkuk leher adiknya.
"Eh, Gwen. Masuk!" titah Raka yang mulai menyadari kehadiran gadis itu. Tadi Raka meminta tolong untuk diambilkan charger karena untuk sekarang ia tidak bisa meninggalkan Rayyan sendiri, sementara benda itu sangat dibutuhkannya. Ia juga meminta Gwen membawa beberapa pakaian untuknya. Sebetulnya Raka berniat meminta tolong pada Ara, namun karena rumah gadis itu cukup jauh, jadi ia memanfaatkan orang yang ada saja.
Gwen seolah disadarkan dari lamunannya begitu suara Raka menyapa indra pendengarnya. Dengan ragu Gwen melangkah masuk. "Emh, itu ... Ray kenapa, Kak?"
Raka tak buru-buru menjawab, sibuk bertanya pada sang adik, "Udah, Ray?"
Rayyan menjawab dengan anggukan. Napasnya masih berlarian, dan ia belum mendapatkan suaranya kembali walau hanya untuk menjawab pertanyaan Raka. Apa yang terjadi barusan sungguh menyakitkan.
"Gak tahu, Gwen. Tiba-tiba drop kayak gini. Mungkin karena kurang istirahat apa gimana," Raka menyahuti tanpa mengalihkan sedikitpun perhatiannya dari sang adik.
Meskipun Rayyan itu menyebalkan bukan main, tapi melihatnya selemah ini membuatnya sedikit tidak tega. Jujur, Gwen terenyuh melihat bagaimana Raka memperlakukan Rayyan dengan begitu baik. Setelah Rayyan muntah tadi, Raka langsung menyodorkan air mineral bahkan tak segan menyeka wajah adiknya yang sudah banjir keringat dengan tissue. Belum lagi Raka tak gengsi mengusapkan minyak kayu putih ke bagian d**a, perut, juga leher sang adik.
"Sekarang lo tidur lagi, Ray. Mudah-mudahan besok udah baikan," kata Raka lagi.
Rayyan menarik tubuhnya, meringkuk, membiarkan Raka menyelimutinya hingga sebatas leher. Tubuhnya benar-benar lemas, meskipun apa yang dimuntahkannya tak banyak, dan hanya berupa cairan bening yang disusul cairan lambung, tapi itu cukup menguras tenaganya. Rayyan berusaha memejamkan mata guna mencegah muntah susulan.
"Kak, sebaiknya lo juga tidur. Kelihatan capek banget. Biar gue yang jagain Ray sekarang, nanti gantian biar lo gak ikut sakit."
"Eh, masa gue udah nyuruh lo capek-capek ke sini terus jadi lo juga yang jagain Ray. Udah gak usah. Gue gak pa-pa."
"Bibir lo bisa bohong, Kak, tapi badan lo enggak. Kalau lo terlalu capek, badan lo juga pasti bakal protes nanti sama lo."
Raka menghela napas. Diam-diam ia membenarkan ucapan gadis itu. "Ini udah malam, Gwen. Lo harus pulang, nanti Tante lo marah."
"Gue udah izin kok, Kak. Lo tenang aja."
"Oke, tapi kalau Adek gue kenapa-kenapa, lo harus langsung bangunin gue."
Gwen mengangguk mantap. Senyumnya mengembang melihat Raka berjalan ke sofa untuk beristirahat. Gwen melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, cukup malam. Ia sudah meminta izin pada tantenya ketika hendak menjenguk tetangganya itu, tapi belum minta izin untuk menginap. Biarlah Gwen menjelaskannya besok saja.
Gadis itu kini duduk di kursi samping tempat Rayyan berbaring. Wajah Rayyan tampak begitu tenang ketika sedang tidur, manis sekali. Jika biasanya Gwen tidak bisa diam, pecicilan, banyak bicara, hari ini ia memilih menjadi gadis baik. Tidak tega juga mengganggu dua anak manusia yang kini sedang beriatirahat. Lo ganteng sebenarnya, coba aja nyebelinnya dikurangin, cecan ini pasti jatuh cinta sama lo.
***
Jadi perempuan itu serba salah. Maju duluan dibilang agresif, diam saja, menanti, atau sesekali melempar kode juga salah. Katanya laki-laki itu bukan malaikat yang bisa mengerti apa yang dirasakan atau diinginkan seorang perempuan tanpa dikatakan. Jika perempuan butuh kejelasan, maka laki-laki butuh penjelasan. Lalu harus bagaimana?
Ara menenggelamkan kepalanya di atas meja. Memikirkan Raka membuat kepalanya hampir meledak. Pemuda itu terus membuatnya melambung tinggi, tanpa mengikatnya dengan suatu hubungan. Ara hanya takut kalau pada akhirnya ia terbang bebas, terlalu tinggi sampai akhirnya hilang tertelan langit harapan. Yang lebih parah, Ara mungkin saja dibuat jatuh. Jatuh pada jurang kekecewaan. Menyedihkan.
Gadis manis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 06.56 WIB, sebentar lagi bel, tapi Raka belum terlihat kehadirannya. Semalam, setelah Raka pulang, mereka tak ada komunikasi apa pun lagi. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kelasnya. Ara tahu siapa orang itu.
"Pagi, Kak."
"Gwen? Ada apa?"
"Ini, Kak. Mau kasih surat punya Kak Raka. Ray sakit dan gak ada yang jagain, jadi Kak Raka izin gak masuk sekolah."
Ara terdiam. Kenapa Raka tidak memberitahunya kalau tidak bisa masuk hari ini. Tidak biasanya. "Ray sakit apa?"
"Gak tahu, Kak, tapi dia dirawat di rumah sakit."
Ara berusaha tersenyum. "Makasih, ya. Lo tahu di rumah sakit mana? Ruangan apa?"
"Darma Husada. Ruang Anggrek kelas satu, Kak."
"Lo nanti mau ke sana?"
"Lihat nanti deh, Kak. Soalnya semalam gue nginep, jadi takut Tante gue marah."
Ara hanya mengangguk dan membiarkan gadis itu pergi setelahnya. Sepele sebenarnya, tapi cukup membuat Ara kesal. Gwen tahu lebih dulu, bahkan sampai menginap di sana menemani Raka dan Rayyan, sementara Ara tahu pun baru hari ini.
***
"A, gue mau pulang."
Raka memelototi sang adik. Setelah kesakitan sampai tak sadarkan diri, sekarang bocah itu ingin pulang begitu saja? Raka memindai ruangan tempat mereka berada. Apakah karena ia tidak bisa menempatkan Rayyan di ruangan VIP atau VVIP, jadi adiknya merasa tidak nyaman? Biaya perawatan Rayyan memang sepenuhnya menggunakan uang tabungan Raka, tidak sepeser pun memakai uang yang ditransfer sang mama, jadi hanya mampu menempati ruang kelas satu.
"Ray, apa lo gak nyaman di ruangan ini?"
Rayyan bisa menebak arah pembicaraan sang kakak. Ruangan kelas satu memang tidak seperti rangan VIP. Di dalam sini terdapat dua ranjang, satu sofa, satu televisi, nakas dan kursi di samping masing-masing ranjang. Namun ranjang sebelahnya kosong, jadi tidak begitu mengganggu bagi Rayyan. "Ya, mana ada yang nyaman sama rumah sakit, A. Lo pikir aja senyaman-nyamannya rumah sakit masih lebih nyaman rumah."
"Tapi lo masih dalam masa observasi. Dokter gak bakal membiarkan lo pulang sebelum diagnosa ditegakan."
"Halah udah kayak Dokter aja cara lo ngomong. Gue gak pa-pa, mungkin cuma maag komplikasi sama masuk angin, jadi kayak gitu deh," jawab Rayyan sekenanya, walaupun semua kebohongan belaka. Sejujurnya rasa sakit itu masih sangat mendominasi bagian perutnya sampai detik ini.
"Gak! Pokoknya gue gak bakal biarin lo pulang kalau misal Dokter belum ngasih kepastian tentang kondisi lo."
Rayyan memasang wajah melas. "A, ayolah, gue janji gak bakal sakit lagi. Bilang aja sama Dokternya kalau kita yatim piatu, gak punya duit lagi buat perawatan, nah nanti diusir deh."
"Bodoh banget sih! Pemikiran macam apa coba itu? Aturan lo pikirin sembuh dulu. Pulang juga ngapain? Sekolah juga enggak. Ingat 'kan kalau lo diskors?"
"Di rumah gue ngapain kek, A. Cuci motor, bersih-bersih, nyuci baju, main PS. Peluk baju Mama kalau gue kangen." Rayyan menyahuti dengan santai. Namun tak demikian yang mendengarnya. Terbukti Raka langsung diam setelah mendengar bagian terakhir. "Gue gak kangen Mama, A. Tenang aja," lanjutnya ketika tak mendapat reaksi dari sang kakak.
"Ray, mulai sekarang bisa gak kita hidup tanpa bayang-bayang mereka? Mereka udah lupa, dan gak peduli sama kita."
Rayyan tersenyum kemudian menggeleng. "Gak ada orang tua yang lupa sama anaknya, kecuali mereka pikun karena udah tua atau kena alzheimer, amnesia karena kecelakaan, dan terakhir khilaf. Mungkin Mama sama Papa masuk kategori yang ketiga. Sekarang mereka mungkin khilaf, tapi gue yakin suatu hari mereka bakal sayang lagi sama kita, A."
Raka langsung bergegas keluar dari kamar rawat adiknya. Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Sedih, sakit, sesak, semua jadi satu. Kenapa Rayyan bisa seluas itu memaafkan dan memahami orang tuanya, sementara saat ini Rayyan sakit pun tak ada yang peduli. Mereka harus meliat betapa Rayyan sangat menayangi keduanya. Mereka perlu disadarkan.
Helaan napas berat terdengar. Rayyan memandangi kepergian sang kakak. Ia memang marah pada kedua orang tuanya, tapi karena kebersamaan mereka jauh lebih lama, jadi rasa marah Rayyan pun tak lebih besar dari rasa sayangnya. Lelaki itu menerawang menatap langit-langit kamar, membiarkan pikirannya berjalan mundur ke masa lalu. Ma, Ray kangen Mama.