Raka mengamati dengan saksama gerak-gerik dokter yang kini tengah memeriksa adiknya. Rayyan beberapa kali terlihat mengernyitkan dahi, matanya terpejam, tampak sedang menahan sakit karena dokter menekan bagian yang mungkin merupakan sumber sakitnya. Mau tak mau Raka meringis melihat hal itu, merasa kasihan karena jelas sekali kalau adiknya sangat kesakitan.
"Ray, apakah ada keluhan belakangan ini?"
Rayyan menggeleng. Kalau ia terus terang, pasti dokter cantik itu takkan membiarkannya pulang. Rayyan sudah sangat merindukan rumah, meskipun belum ada satu hari ia menginap di sini.
"Ray, tolong bekerja sama dengan saya. Informasi dari pasien sangat diperlukan karena pasien sendirilah yang tahu betul kondisi tubuhnya."
"Emang gak ada keluhan kok. Cuma sakit perut, terus demam, kepalanya pusing sedikit, terus mual, muntah-muntah, sama kurang kasih sayang," kata Rayyan yang diakhiri tawa kecil.
Raka melengos. Dalam situasi seperti ini adiknya itu malah bercanda. Tidak tahu saja sedari tadi ia gugup menunggu apa yang akan dikatakan dokter itu.
Dokter Dinda——dokter yang menangani Rayyan tersenyum, meskipun ia sedikit jengkel pada remaja yang kini terbaring tepat di depannya. "Ray, kita lakukan pemeriksaan, ya? Cek darah lengkap dan pemeriksaan lainnya. Oh, iya, apakah kamu merokok atau minum-minuman keras?"
"Saya anak baik, Dokter. Boro-boro merokok atau minum-minuman keras, jajanan saya cuma lolipop. Kata Mama itu aja jangan banyak-banyak nanti bikin sakit gigi."
Lagi-lagi Rayyan menyeret mamanya ke dalam pembicaraan mereka. Entah sengaja, atau mungkin memang Rayyan sangat merindukan sosok itu sampai tanpa sadar selalu menyebutnya.
Dokter cantik itu mengangkat tangan kemudian mengusap puncak kepala pasiennya. "Anak pintar. Kalau makanan cepat saji? Mie instan? Atau sejenisnya?"
"Makanan kayak gitu, ya, sering, Dok. Di rumah cuma ada dua anak cowok yang gak berbakat dalam bidang masak memasak, jadi cuma bisa masak mie instan atau delivery."
"Mulai kurangi, ya? Sekarang ada youtube, kamu bisa melihat tutorial memasak di sana. Perbanyak makan buah dan sayur. Konsumsi makanan yang tidak menimbulkan efek buruk untuk tubuh kamu. Kita cek darah dulu, ya? Habis itu USG, sama pemeriksaan lainnya."
Rayyan pernah mendengar istilah USG. Kalau tidak salah, pemeriksaan itu biasanya dilakukan pada ibu-ibu hamil. Alisnya bertautan. "Dok, kan saya gak hamil, kenapa harus USG? Terus kenapa harus cek darah? Kenapa juga harus periksa? Saya cuma kecapekan, gak pa-pa. Mahal 'kan biayanya? Saya gak mampu bayar."
Jika adiknya tidak sakit, bisa dipastikan Raka akan menghadiahkan toyoran bolak-balik pada Rayyan. Raka jadi tidak enak pada dokter cantik itu. "Maaf, Dok. Adik saya mulutnya emang licin. Kebanyakan minum minyak goreng. Periksa aja, Dok, kalau memang harus. Saya mau yang terbaik buat adik saya."
"Oh, iya. Apakah ada yang anggota yang memiliki riwayat penyakit hepatitis, atau penyakit hati lainnya dalam keluarga kalian?" tanya Dokter Dinda lagi.
Raka tampak berpikir. "Oma saya dulu meninggal karena kanker hati, Dok. Ray sendiri pernah terkena hepatitis sekitar delapan tahun yang lalu, tapi udah sembuh."
"Hepatitis A, B, C?"
Raka mengangkat bahu, tanda tidak tahu. Lagi pula waktu itu ia masih terlalu muda untuk memahami istilah medis. Hepatitis pun melintas di otaknya karena seingat Raka dulu Rayyan pernah terkena penyakit kuning yang baru-baru ini ia ketahui istilah medisnya hepatitis. Namun tidak tahu jenis hepatitis apa.
Dokter Dinda mengangguk, tapi tetap tidak bisa langsung mengatakan apa yang terjadi pada pasiennya sebelum pemeriksaan dilakukan, meskipun ia punya keyakinan kalau memang gejala yang dialami pasiennya, juga keterangan yang didapat menjurus ke sana.
***
Masa internsip berakhir, semua kembali ke daerah masing-masing. Ibel sudah mengatur semuanya termasuk kepulangannya ke Jakarta. Ia sangat merindukan kedua adiknya, terselip pula rasa cemas di antara rasa rindu yang ada.
Selesai berkemas, Ibel langsung bergegas keluar. Seseorang telah menunggunya di sana. Rio Alfiansyah. Pada awalnya Ibel menolak tawaran Rio untuk mengantarnya pulang, tetapi dengan dalih mereka teman, dan mereka satu arah jadi akhirnya Ibel menurut saja.
"Bel, udah siap?" tanya Rio saat melihat Ibel ke luar.
"Udah, Yo. Cepat, ya. Aku harus segera sampai Jakarta. Adekku sakit."
Rio mengangguk mantap. Entah dapat keberanian dari mana Rio berani menawarkan diri untuk mengantar Ibel pulang. Rio hanya berpikir, kalau ini kesempatannya untuk mendekat. Rio adalah laki-laki, kalau ia diam di tempat, Ibel tidak akan mendekat. Jadi, mau tak mau Rio yang harus berusaha lebih keras untuk mengejar.