Bab 2

1099 Kata
Chica menangkap sesuatu gelagat yang tidak baik. Chica merutuk dalam hati. Cobaan apa lagi ini, Dewa semakin mempersempit pergerakannya. Semakin memperbesar peluang mereka untuk bertemu. "Oh, ya? Bisa? Silahkan masukin ke kantor kamu. Tapi, di luar kota?" Vanessa terlihat antusias. Dewa mengangguk."Ya. Di luar kota. Tapi, tante tenang aja. Ada Dewa. Di sana juga ada apartemen saya. Chica bisa tinggal di sana." "Bagus itu. Bulan depan,ya, Ca. Hebat kamu langsung ditawarin kerja. Mama jadi enggak sabar." Vanessa memegangi kedua pipinya. Chica hanya bisa mengangguk dan tersenyum pada Mama dan Papanya. Ia melanjutkan sarapan dengan banyak diam. Dewa mendominasi pembicaraan di meja makan pagi ini. Chica melirik jam tangan miliknya. Sudah saatnya ia harus pergi ke kampus. "Ma, Pa, Chica berangkat, ya." Chica berdiri dari kursi. "Saya yang anterin Chica ya, Om, Tante," kata Dewa tiba-tiba. Chica hanya bisa mendengus kesal. Laki-laki itu selalu ikut campur dengan urusannya. "Kak Dewa, enggak usah repot-repot. Chica berangkat sendiri aja," kata Chica dengan senyuman penuh dusta. "Ca, jangan gitu dong. Kakak kamu pengen nganterin, Harus dihargai. Lagipula, Dewa kan jarang di sini. Sesekali enggak apa-apa ngerepotin," kata Vanessa membuat Chica mati kutu. Dewa menatap Chica dengan tatapan kemenangan. Sekarang ia bisa tersenyum dan mengejek Gadis itu. Mau tak mau, Chica harus menuruti apa perkataan orang tuanya. "Ya sudah, ayo, Kak." Chica berjalan menuju mobil Dewa dengan langkah lebar dan kesal. Rasanya ingin menangis. Dewa membukakan pintu mobil untuk Chica yang sudah berwajah asam. "Kakak enggak usah macem-macem. Aku bisa cari kerjaan sendiri." Chica marah-marah saat dirinya sudah masuk ke dalam mobil. "Kenapa? Kamu tidak suka?" tanya Dewa dengan tenang. "Iya!" ucap Chica keras. Dewa masih bersikap tenang, lalu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang."Kamu jangan tanggepin laki-laki yang deketin kamu." Chica menoleh cepat ke arah Dewa. Tahu apa Dewa tentang laki-laki yang mendekatinya."Memangnya kenapa? Mereka itu teman-temanku." "Aku tidak suka!" Dewa menekankan suaranya. "Aku tidak peduli. Karena... aku punya kehidupan sendiri yang tidak berhak kakak campuri." Chica menatap Dewa dengan kesal. Ia sangat tidak suka dengan sikap Dewa yang seperti ini. Terlalu mengaturnya. "Ca."  Chica melotot dan menahan napas saat Dewa menggenggam jemarinya yang ada di pangkuannya. Jantungnya berdebar kencang, mau apa lagi pria ini. Chica berusaha menepis tangan Dewa, tapi tak bisa. Genggamannya semakin erat. Akhirnya ia harus mengalah, membiarkan apa yang sedang terjadi. Lebih baik ia melihat pemandangan di luar jendela. Genggaman Dewa terlepas perlahan, tapi tanpa disadari oleh Chica tangannya justru mengarah ke tempat yang lain. Mengusap paha Chica. Lalu mengusap bagian intimnya dengan lembut. "Kakak!" Chica menarik tangan Dewa dengan kuat. Tapi, tak bisa. Tenaga pria itu cukup kuat. Padahal ia sedang menyetir. Dewa menoleh dan menyeringai. Ia menghentikan mobilnya."Semakin kamu menolak, mungkin... Kakak tidak akan mengantarkanmu ke kampus, Chica. Tapi ke hotel." "Mau kakak apa, sih. Aku banyak urusan hari ini. Kalau ujung-ujungnya begini, lebih baik aku pergi sendiri, Kak. Aku benar-benar sibuk," ucap Chica marah. "Sudah aku katakan semakin kamu bersikap keras, aku tidak akan mengantarkanmu ke kampus. Tapi, ke hotel. Paham?" Dewa menatap Chica dengan tajam. Chica mengumpat dalam hati, kakaknya ini sudah gila. Ia bersikap layaknya psikopat. Dosa apa ia harus memiliki kakak seperti Dewa. Napas Chica tak teratur karena menahan emosi, ia langsung menghempaskan badannya ke sandaran kursi. Terdiam. Dewa pun terdiam beberapa saat, mengatur napas, menahan nafsu yang sedari tadi bergejolak. Ia begitu menginginkan Chica, bahkan rasanya tidak bisa ditunda lagi. "Kak, ayo jalan. Aku hampir terlambat," kata Chica dengan wajah yang cemas. Dewa tak menjawab. Ia langsung melakukan mobilnya sedikit lebih cepat. Mobil berhenti tepat di depan perguruan tinggi swasta, tempat di mana Chica menuntut ilmu. Chica mencoba membuka pintu, tapi tak bisa. Dilihatnya Dewa yang terdiam. "Kak, aku mau keluar." Dewa menatap Chica dengan intens, lalu dengan gerakan cepat diraihnya tubuh mungil Chica ke dalam pelukannya. Bibir mereka bersentuhan. Chica melotot kaget saat sesuatu yang kenyal, hangat dan basah menyentuh bibirnya. Ia berusaha mendorong tubuh Dewa, tapi gerakan Dewa lebih cepat. Ia membuat Chica terlena terlebih dahulu dengan ciuman lembut dan memabukkan. Mereka saling melumat, menghisap, dan menjilat. Keduanya sudah terhanyut dalam suasana. Tangan kanan Dewa menyusup ke dalam kemeja Chica, menangkup daging kenyal dan besar milik Chica. Tidak puas sampai di situ, ia memasukkan tangannya ke dalam bra, menyentuh langsung kulit halusnya itu. Memainkan titik sensitif Chica.  Chica bahkan sampai melenguh dan mulai merasakan cairan miliknya mengalir. Di tengah suasana itu, tiba-tiba ponsel Chica berbunyi. Chica spontan menjauh dari Dewa sambil membenarkan bra yang sudah tak lagi pada tempatnya semula. Lalu diangkatnya ponsel yang terus berbunyi itu. "Ha... Halo?" "...." "Iya, Ka. Aku udah di depan kok. Sudah di depan kampus. Ini mau masuk." "...." "Oke." Chica menutup ponselnya dengan gemetaran. Bahkan menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas pun rasanya sulit sekali. Wajahnya dan telinganya terasa panas. "Ca?" panggil Dewa. "Iya,Kak?" Chica memberanikan diri menatap Dewa yang kini malah tersenyum. Senyumannya benar-benar bagaikan 'Dewa'. "Ya sudah, masuk sana. Nanti pulangnya jam berapa?" "Mungkin sekitar jam tiga," jawab Chica gugup. Dewa mengusap puncak kepala Chica."Nanti kakak jemput. Kamu jangan macem-macem di kampus, ya." "I... Iya, Kak. Bukain pintunya." Dewa tak langsung membuka kunci pintu melainkan melumat bibir Chica lagi. Namun kali ini hanya sebentar. Wajah Chica kembali memerah seperti kepiting rebus. "Sudah. Masuk sana," kata Dewa. Chica melambaikan tangannya dengan gugup. Mobil Dewa pun sudah pergi dari hadapannya. Chica mematung di tempat, teringat apa yang baru saja ia lakukan dengan Dewa. Mereka berciuman. Tapi, ciuman kali ini berbeda, begitu memabukkan bahkan rasanya tak ingin disudahi. Lalu, tadi tangan Dewa menyentuh payudaranya. Chica mengigit bibirnya dengan kuat, saat merasakan cairan miliknya keluar lagi. Sepertinya ia harus segera masuk sebelum pikirannya pergi kemana-mana. Matahari sudah mulai redup, berganti dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi. Chica dan Fika duduk di bawah pohon beringin yang tak begitu jauh dari parkiran. Mereka baru saja menyelesaikan urusan administrasi mengenai persiapan wisuda mereka. Menikmati sore dan waktu santai sambil menikmati es krim yang baru mereka beli di kantin. "Chica," panggilan itu membuat gerakan Chica terhenti. Fika langsung menoleh ke arah orang tersebut. Pria tampan yang begitu memukau membuat es krim di genggaman Fika terjatuh. "Kakak? Kenapa di sini?" Chica memutar bola matanya. Ia memang mengatakan kalau ia pulang jam tiga. Tapi, tidak jam tiga tepat juga. Ia bahkan baru saja akan beristirahat setelah melewati proses yang panjang hari ini. "Kan sesuai janji, Ca. Jam tiga kakak jemput," katanya lembut. "Ya udah, Ca. Kamu udah dijemput. Pulang saja. Aku juga udah capek banget mau pulang, nih." Fika mendorong tubuh Chica. Ia sedikit bergidik ngeri dengan Dewa, karena Chica sendiri pernah bercerita masalah dirinya dan Dewa. "Thanks, Fika.” Dewa tersenyum ia lumayan tau mengenai Fika. Sahabat dari wanita yang ia cintai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN