Bab 3

1220 Kata
Sekarang, Dewa dan Chica sudah berada di dalam mobil. Chica tak berani membuka pembicaraan biar sedikit. "Kita mampir, ya?" "Kemana?" "Apartemen kakak," jawabnya membuat semua bulu kuduk Chica berdiri. Mau apa ke apartemen Dewa. Terus, sejak kapan Dewa punya apartemen. "Ta...Tapi, Kak, aku belum bilang Mama sama Papa bakalan pulang telat." "Aku, kan sudah pamit tadi. Aku juga sudah bilang kalau kamu tidak pulang ke rumah. Aku mengajak kamu ke apartemen ku." "Apa?" Mata Chica membulat tak percaya. "Kak, aku...." "Stop, Dear. Ikuti saja." Tatapan lembut Dewa mampu menghipnotis Chica agar menjadi anak yang penurut. Sesampai di apartemen, Dewa mempersilahkan Chica masuk. Kemudian, tak lupa mengunci kembali. Perasaan Chica mulai tak enak, ia kembali teringat dengan kejadian di mobil pagi tadi. "Kamu sudah makan?" "Sudah, Kak., tadi di kampus." Jantung Chica berdegup kencang. "Great!" Dewa menggulung kemejanya sampai ke siku dan membuka satu kancing. Menunjukkan bulu tipis di sekitaran dadanya. Dibukanya kulkas, lalu diambil dua botol air mineral. Salah satunya diberikan pada Chica. Chica hanya terdiam menatap botol itu susah ditangannya. Sementara Dewa, ia sudah meneguk habis aitlr tersebut. Di tatapnya Chica dengan sangat lapar."Kamu tidak haus?” Diraihnya botol tersebut. Lalu ia membuka tutup botol, memaksa Chica meminumnya walau sedikit. Hal tersebut membuat air tumpah, melebar jatuh ke pipi, leher dan dadanya. Dewa terkekeh saja tanpa merasa bersalah. Diletakkannya air mineral itu di atas meja. "Kamu tau apa tujuanku mengajakmu ke sini?" Chica menggeleng. "Untuk memberi tahukan padamu, bahwa aku sangat mencintaimu, Ca. " "Bukan cinta. Tapi nafsu, Kak." Chica memejamkan matanya dengan ngeri. Jemari Dewa menyentuh pipi dan leher Chica yang masih basah karena air yang tumpah, lalu perlahan menyesapnya. Chica jadi teringat dengan peristiwa di mobil tadi. Dewa terus melanjutkan sentuhan-sentuhan lembutnya ke titik-titik sensitif Chica. "Sayang... Kamu menyukainya?" tanya Dewa. Chica tak menjawab. Wajahnya sudah terlihat lemah, menahan sesuatu. Tatapan permohonan itu membuat Dewa gemas . Sepertinya Dewa sangat mengerti bagaimana cara memuja wanita di ranjang. Bahkan Chica sudah lupa bahwa Dewa adalah kakaknya. Ia tak bisa memungkiri bahwa ia menyukai apa yang terjadi saat ini. Bahkan adegan-adegan yang selama ini ia tonton sekarang ia alami sendiri. "Kakak..." Napas keduanya tak teratur. Mereka bertatapan mesra, Chica mengalungkan tangannya ke leher Dewa dengan perasaan bahagia.                                                        **     Chica terbangun saat mendengar suara dengkuran halus Dewa yang terbaring di sebelahnya. Ia tersenyum. Lalu teringat kejadian-kejadian yang mereka alami semalam. Bercinta di setiap sudut apartemen. Menciptakan jejak-jejak cinta di setiap inchi tubuh mereka. Malam ini ia telah kehilangan apa yang ia miliki bersama kakak sepupunya sendiri. Chica tak tau apakah ini salah, yang ia tau malam ini ia begitu bahagia. Ia menikmati setiap percintaan mereka. Dan masalah Dewa, ia adalah lelaki yang menarik. Selama ini, Chica juga diperlakukan istimewa, dan belakangan ini Dewa memperlakukannya dengan begitu intim selayaknya sepasang kekasih. Sekarang ia tau bahwa Dewa memang mencintainya. Chica juga merasa yakin, bahwa dirinya juga mulai memiliki hati pada Dewa. Chica naik ke atas tubuh Dewa, tak peduli jika Dewa akan terbangun. Bibirnya tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana gagahnya Dewa memasukinya. Ini sudah pagi, tapi pikiran Chica belum move on dari percintaan semalam. Dewa merasakan sesuatu yang berat menimpa tubuhnya. Ia mengerjakan matanya melihat sang 'pelaku'."Hei, kamu ngapain? Chica mendongak, lalu tersenyum malu."Tidak ada, Kak.” Dewa merubah posisinya menjadi duduk, meski Chica masih ada di atas tubuhnya. Ia menarik Chica lebih tinggi lagi hingga wajah mereka berhadapan. Dewa merapikan rambut Chica yang sedikit berantakan, lalu ia mengecup bibir Chica pelan. Kecupan itu ternyata mampu membangkitkan gairah Chica yang memang sedang mudah terbakar. "Kamu menginginkannya lagi?" tanya Dewa. Chica mengangguk kecil. Dewa tersenyum, ia juga tengah merasakan miliknya sedang mengeras. Ia meraba milik Chica yang ternyata sudah basah."Kita coba posisi seperti ini, ya.” Mata Chica membulat."Posisi apa?" Tanpa menjawab pertanyaan Chica, Dewa mengangkat pinggul Chica dan saling mengarahkan milik mereka agar mendekat. Setelah it, keduanya tenggelam dalam kehangatan dan Dewa mampu menerbangkan Chica hingga ke langit ke tujuh. Napas keduanya pun tak teratur saat mereka baru saja mencapai pelepasan mereka. "Aku sudah yakin sejak dulu, bahwa kamu begitu nikmat, sayang." Dewa mengecup bibir Chica singkat. Chica tak menjawab, ia meletakkan kepalanya di pundak Dewa sambil mengatur napas. Ia tak peduli setelah ini akan bagaimana, yang ia tau saat ini ia sedang bahagia bersama Dewa. "Hari ini kamu mau pulang?" Tanya Dewa. Chica mengerucutkan bibirnya. Seperti terlihat sedang kesal."Aku masih ingin bersamamu." Dewa tersenyum, sekali lagi ia melumat bibir Chica."Benarkah? Kamu masih mau di sini?" Chica mengangguk."Tapi, aku harus bilang apa ke Mama sama Papa." "Jangan khawatir. Aku akan bilang ke Tante. Kamu... Tenang saja di sini. Kembali kumpulkan tenaga kamu untuk percintaan kita selanjutnya." Dewa menatap Chica dengan mesra. Chica hanya bisa mengangguk malu. Lantas ia mencoba berdiri. "Arghh," teriak Dewa tiba-tiba. "Kenapa, Kak?" tanya Chica panik. "Kamu menariknya terlalu keras,sayang," jawab Dewa sambil menatap miliknya yang mulai lemas. "Sakit, ya?" Dewa tertawa."Bukan apa-apa.” Chica mencubit lengan Dewa pelan."Kakak ini. Ya udah... Aku mau ke toilet dulu." "Iya, sayang." Dewa bersandar di tempat tidur sambil menatap wanita yang ia cintai itu pergi."I love you, Chica." Mereka berdua lantas segera mandi untuk bersiap-siap pulang.    Chica dan Dewa berjalan beriringan menuju rumah keluarga besar mereka. Setelah dua hari menginap di apartemen Dewa, akhirnya Chica pulang. Itu pun karena mereka harus menghadiri acara arisan keluarga yang wajib mereka hadiri. Jika boleh memilih, Chica pun tak mau pulang sekarang. Ia masih ingin berduaan bersama Dewa. Mempelajari banyak hal yang tak pernah ia ketahui dengan sendirinya. "Wah...wah, kalian kompak banget, ya." Vanessa yang sudah tiba sejak tadi tampak begitu takjub memandang Chica dan Dewa. Dewa tersenyum."Iya, Tante. Kami harus kompak, dong.” Vanessa mengangguk-angguk."Gini dong. Mama, kan jadi seneng." "Iya, Ma." "Ya sudah, kalian temuin sana tamu-tamu yang lain. Kayaknya ada beberapa teman kalian deh balas yang datang," kata Vanessa lagi. Dewa dan Chica bertukar pandang."Oh, ya udah... Kami ke sana dulu." "Temen kamu?" tanya Dewa pada Chica saat mereka berjalan menuju teras yang ada di depan kolam renang. Chica menggeleng."Kayanya enggak, deh. Temen kakak mungkin." "Mungkin," balas Dewa. Keduanya hanya bisa mematung saat melihat di sana sudah ramai sekali orang. "Eh, Dewa... Chica, akhirnya kalian datang." Tania memeluk anaknya satu persatu. "Iya, Tante," balas Chica. "Dewa!" Seseorang muncul dari belakang Tania. Tania, Dewa, dan Chica menatap wanita itu. Chica bisa melihat, wanita itu adalah wanita yang bermartabat. Dilihat dari wajah teduh, senyum, cara berdiri, cara menatap, dan cara berpakaian. Semuanya berbeda. Menunjukkan bahwa ia bukanlah 'wanita biasa'. "Eh, Maya." Tania tersenyum sambil memeluk pundak Maya. Dewa dan Chica hanya bisa terdiam. Baik Dewa maupun Chica sama-sama tidak mengenal siapa itu Maya. "Wa, Ca... Kenalin ini Maya. Anaknya temen Mama. Kebetulan, Mama sama Mamanya Maya itu akrab banget dari dulu. Kebetulan Mamanya enggak bisa datang, jadi Maya ngegantiin," jelas Tania. "Oh... Hai, Kak Maya. Aku Chica, keponakannya Tante Tania," kata Chica sambil menjabat tangan Maya. Maya membalas dengan ramah."Saya Maya." "Dewa, kenalin dong ini anaknya temen Mama. Maya, ini anak Tante yang tadi Tante ceritain. Namanya Dewa." Tania terlihat begitu antusias. Dewa mulai mencium gelagat yang tidak baik. "Saya Dewa!" Ucap Dewa begitu datar. Tania hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkah laku anak semata wayangnya itu. "Saya Mayana Lestari." Dewa memaksakan dirinya tersenyum pada Maya. Mendadak ia menjadi malas berbicara."Ehmm..., Ca, lapar. Makan yuk." "Eh Iya... Aku belum makan." Dewa langsung menarik pundak Chica dan membawanya pergi dari sana. "Loh, pergi," kata Maya kecewa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN