1.
Bagi Alana Arinta yang tiga bulan lalu berusia delapan belas tahun, saat-saat inilah yang membuatnya bahagia dalam hidupnya meski sementara. Berkumpul bersama keluarga kecilnya yang tinggal di bandung sebelum kembali ke rutinitas kehidupannya di Jakarta, sebagai mahasiswi maupun istri seorang pengusaha muda yang berkuasa. Alana sendiri terdaftar sebagai salah satu mahasiswi di Universitas swasta, Perbudi Kusuma. Universitas yang di miliki oleh seorang pengusaha muda yang tidak ingin di publikasikan jati dirinya.
"Bu, aku udah harus berangkat." Alana membantu membereskan beberapa piring kotor di meja makan, tadi sore semua keluarga besarnya dari pihak ibunya, Hana, berkumpul.
"Nggak nginep aja, kasian kamu kelihatan cape." Hana menyodorkan segelas teh hangat pada putri tunggalnya.
"Besok aku ada ujian, lagian Leo juga ada jadwal rapat." Alana sedikit mengernyit mengucapkan bagian kata terakhir. Ada beban berat yang membuatnya susah mengucapkan nama itu.
"Al-?" Suara Hana sangat pelan. "Kamu baik-baik saja?" Hana mencoba mendekat kearah putrinya untuk sekedar memeluk.
"Bu, aku-" Sebelum Alana bisa menjawab, dia segera mundur perlahan untuk memberi jarak pada ibunya.
"Kita harus segera berangkat!" Suara berat mengintruksi pembicaraan anak dan ibu yang saling tertekan dengan keadaan sekitar. Sang ibu, Hana, tidak sanggup melihat putri terkasihnya menanggung beban seberat ini di saat seharusnya ia menikmati masa mudanya. Dan sang objek utama, Alana, merasa dunianya berakhir dalam kurun waktu dua bulan lalu.
Hana memberanikan diri menatap kearahnya yang sedang berdiri di ambang dapur "Menginaplah atau biarkan Alana di sini untuk satu hari lagi." Ketegangan berpusat pada mereka bertiga.
"Bu,-" Alana gugup, tidak berani menoleh kearahnya. Dia lebih memilih untuk melihat air teh di dalam gelasnya.
"Alana," Ucapnya. "Masih ingin disini?" Tanyanya tenang. Alana tahu dibalik suaranya yang tenang ada sesuatu yang bergemuruh.
Ya "Aku harus pulang, Bu." Ketakutan menerima hukuman dari orang tersebut membuat Alana berbohong.
Hana menyadari, menantunya mampu mengintimidasi putrinya hanya dengan suaranya. Apa dia begitu berkuasa pada Alana? Kalau sampai iya, Hana, ingin sekali memutar waktu untuk memilih kesakitannya daripada melihat Alana seperti sekarang ini, seperti anak kucing yang baru lahir.
"Hati-hati." Lirih Hana, memeluk untuk waktu yang menyakiti putrinya.
"Ayo." Ajakan dari orang yang terus memperhatikan tingkah ibu dan anak dari tadi. Dia tidak suka melihat pemandangan seperti ini.
-
"Dum, aku duluan ke kantin ya?" Alana mengecek ponselnya, ada beberapa pesan masuk. "Di tunggu, Andi" Senyum bahagia terpatri jelas di wajah cantik Alana.
"Bentar deh, Al, aku liat tugasmu ya buat referensi nih." Duma memasang wajah memelas. Alana melirik tajam, kalau sudah begini Alana tidak akan pernah tega melihatnya.
"Asal jangan sama persis!" Mengambil bukunya dari dalam tas, Alana menyerahkannya pada Duma yang disambut dengan senyuman lebar.
"Oke, cantik"
Berjalan santai ke arah kantin, Alana sesekali membalas sapaan atau senyuman dari orang-orang yang di temuinya selama perjalanan. Menjadi populer dan di kenal hampir semua penghuni Universitas ini membuat Alana punya banyak teman.
"Al- Alana.. Tunggu sebentar!" Teriakkan dari arah belakang sukses membuat Alana berhenti berjalan, lalu menoleh ke belakang. Seorang pemuda bertubuh kurus semakin mendekat padanya.
"Maaf, ada apa?" Tanya Alana ramah, kasihan juga melihat pemuda tersebut kewalahan, napasnya tersenggal-senggal dan keringat membanjiri pakaiannya.
"Ada yang menitipkan ini," Tangan kanan pemuda tersebut terlulur, memberikan Amplop berwarna Hitam.
Alana terpaku.
-
Suhu ruangan yang dingin membuat orang yang menikmatinya terbuai. Di sudut ruangan, sesosok pria tidur terlelap diatas sofa yang khusus disediakannya. Dia meminta pihak kampus untuk menyiapkan satu ruangan khusus untuknya agar bisa bersenang-senang dengan seseorang.
Dengan tenang orang itu berbaring mencoba menutup mata menunggu seseorang yang akan datang. Dia sungguh menantikan ini berpura-pura seperti yang dilakukan orang disekelilingnya.
"Apa maksudmu? menyuruh orang mengirimkan ini? Bagaimana jika dia sampai membuka amplop ini, lalu menyebarkannya pada semua orang. Kau gila" Racau Alana kesal mondar-mandir.
Merasa tidak ada respon sedikit pun, Alana melihat botol air mineral yang masih tersisa isinya, lalu dengan cepat mengambil botol itu dan menyiram orang tersebut yang masih tertidur pulas. Senyum mengembang di bibir Alana.
"f**k-" Umpat pria tersebut langsung bangkit sambil mengelap wajahnya dengan telapak tangan.
"Kau terkejut?" Tanya Alana berusaha santai.
"Tidak terlalu, mungkin kau yang lebih terkejut? Sampai-sampai orang yang populer sepertimu? Mau datang ke ruangan seperti ini." Kata pria itu sesantai mungkin. "Jangan sampai ada yang melihat jika sang putri terhormat rela masuk kesini." Dia berkacak pinggang tersenyum melihat gadis di depannya terkejut.
"Takut ya?" Godanya. Senyum yang lebih menyerupai seringaian meremehkan jelas terlihat di wajah pria itu. "Aku berpikir jika isi amplop itu bisa membuatmu gila seperti ini kenapa bukan dari dulu aku melakukannya." Dia berdiri lalu melangkah perlahan pada orang yang sudah berani mengganggu tidur siangnya. Lima cm lagi, dia sudah berdiri tepat di hadapan gadis berambut panjang dan indah.
"Apa kau takut semua rahasiamu terbongkar?." Tanya pria tersebut mengejek.
Gadis itu tidak berkutik sama sekali. Rahasia besar yang di ketahui oleh orang di hadapannya, rahasia yang sangat besar. Merasa terancam akan rahasianya yang kapan saja bisa di beberkan olehnya, gadis itu memilih diam.
"Lalu. Maumu apa?"
"Hanya ingin main-main denganmu saja. Alana Kusuma," Senyum licik muncul dari orang yang barusan mengatakannya. Berbeda dengan orang yang merasa terikat dengan nama, Kusuma. Langsung mematung.
"Namaku, Alana Arinta, bukan Alana Kusuma! Kau tahu aku benci nama itu yang membuat segalanya berubah. " Alana mengepalkan kedua tangan, mencoba menahan amarah. "Jangan sembarangan mengganti namaku."
"Bukan kah orang yang sudah menikah, selalu mengikuti nama belakang suaminya?" Tanyanya sesantai mungkin. Dia bisa mencium aroma parfum milik wanita ini. Seperti biasa memabukkan dan membuat gila.
"Sialan. Kau. Leopard Kusuma!" Alana berteriak.
"Jangan pungkiri itu sayang!" Bisiknya di telinga Alana.
-
Andi sekali lagi melirik seberang ruangan kantin yang luas ini. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan Alana untuk membicarakan tugas dan sekaligus ingin mengenalnya lebih dekat. Dia tidak akan berbohong jika dia benar-benar tertarik pada gadis yang menurutnya sangat cantik dan menarik.
Alana Arinta. Begitulah nama gadis itu, hampir seminggu lebih dia mencari informasi tentang gadis tersebut.
"Loe nunggu Alana ya?" Tiba-tiba temannya duduk di hadapannya tanpa permisi. "Nggak bakalan datang dia mah." Sambungnya sambil mengeluarkan laptop dari tasnya. "Tadi gue liat dia masuk dan keluar dari ruangan 'khusu' bareng seseorang. Tapi loe bakalan kaget jika tahu."
Andi diam memperhatikan bagaimana temannya bercerita tentang gadis yang di sukainya. Ada perasaan aneh saat mendengarnya. "Terus?" Tanya Andi setenang mungkin.
"Leopard Kusuma."
Apa Andi tidak salah dengar? Alana yang sedikit menujukkan kebenciannya pada, Leopard Kusuma, Seniornya. Setiap nama itu bergumandang di sekitar Alana. Andi bisa melihat bagaimana Alana menunjukkan ekspresi tidak suka nama itu. Dari sana dia bisa menyimpulkan jika Alana tidak ingin berurusan dengan, Leopard Kusuma. Alana sendiri tidak pernah memberitahu kenapa begitu membenci seniornya itu, padahal Andi merasa tidak pernah ada masalah.
"Saingan loe berat jika beneran mereka bareng." Andi tidak peduli dengan celotehan temannya. Dia dengan cepat mengambil ponselnya lalu meninggalkan temannya.
-
"Sepuluh menit lagi, ku tunggu di mobil. Kita harus pergi ke luar kota." Kata Leo berjalan lebih dulu meninggalkan Alana.
"Tunggu, aku masih ada kelas." Leo berhenti dan berbalik kearah Alana.
"Jangan terlambat atau aku akan memberimu hukuman." Sesuatu yang hangat dan kenyal menempel di leher Alana. Leo meninggalkan bekas saliva yang masih tersisa di leher Alana.
Alana diam. Tatapan matanya kosong. Selalu seperti ini.
Setelah kembali sadar dia berjalan ke kelas untuk mengambil tas dan pamit pada Duma.
Mobil mewah yang membawa mereka melaju dengan kecepatan sedang menembus kemacetan Jakarta. Sang supir di depan memilih fokus ke depan ketimbang melirik majikannya di jok belakang. Dia tahu batasnya untuk tidak ikut campur urusan majikannya.
"Bangunkan aku jika sudah sampai. Aku butuh tidur." Leo mendekat lalu bersandar pada pundak Alana.
"Apa harus seperti ini?" Alana menatap kosong ke luar jendela mobil, memperhatikan mobil-mobil yang saling mengejar di jalanan.
Leo menutup kedua pasang matanya, lalu menghembuskan nafas perlahan.
"Tetap seperti ini. Karena apa? Karena kau milikku. Alana." Ucap Leo santai. "Kau. Milikku! Itu saja. Jangan membuatnya sulit." Nafas Leo memburu menahan kesal. Kenapa gadis ini selalu memperumit segalanya.
"Tapi. Aku tidak ingin di milikimu olehmu." Alana perlahan bergeser, menjauh dari jangkauan Leo. Ia menyandarkan kepalanya ke jendela mobil.
Leopard Kusuma merasa tidak di perlakukan dengan baik dan di tolak secara terang-terangan seperti ini. Dia terbiasa selalu mendapatkan apapun yang di inginkan. Jadi saat ada yang berani menolaknya dia harus tahu posisinya untuk tidak berani menolak permintaan, Leopard Kusuma.
"Cium aku." Perintah Leo dingin dan tegas.
Tubuh Alana menegang.
"Cium. Aku!!" Ulangnya lagi setengah membentak.
"Aku tidak mau." Alana semakin merapat pada jendela mobil mencoba menjauh dari pria monster di sebelahnya.
"Cium aku! Atau keluargamu mendapat hadiah dariku? Bagaimana?" Leo bersandar pada kursi mobil menunggu santai mangsa nya mendekat.
Alana menoleh. Dia bisa melihat bagaimana wajah Leopard Kusuma membentuk senyuman mengejek. Ada rasa ngeri di bayangan Alana jika sampai keluarganya mendapat hadiah dari orang seperti ini. Bukan hadiah yang membawa kebahagian tapi sebuah hadiah yang membawa penderitaan.
Alana bergerak perlahan mendekati Leo. Kedua pasang mata Leo tertutup, ini cukup bagus. Alana selalu mencoba menghindari langsung sorot mata, Leo, yang selalu menakutkan. Perlahan, bibir Alana sudah menempel di bibir Leo, hanya menempel untuk seperkian detik. Rasa dingin menjalar di bibir Alana.
Bukan Leo jika dia tidak bermain licik. Di tariknya tangan Alana yang berpegang pada ujung baju miliknya. Repleks, Alana terkejut. Dia segera mundur dan mendorong tubuh Leo yang sekarang sudah mengurungnya.
"Berhenti bergerak!" Perintah Leo. Dan saat itulah bibir Leo menyerang bibir Alana. Di ciumnya dengan ganas tanpa peduli supir di depan mereka.
"Hmpp.. "
"Cukup. Sampai di sini." Leo menghentikan aksi paksanya.
Meninggalkan Alana terkejut dengan serangan paksa ini. Harusnya dia sudah tahu jika Leo tidak akan membiarkan masalah ini selesai secepat ini. Dia masih mengatur napasnya saat Leo mengatakan sesuatu yang membuatnya merinding.
"Aku benar-benar menginginkanmu." bisik Leo yang kembali lagi menyadarkan kepala di pundak Alana. "Jadi, jangan banyak bertingkah atau semua orang yang berhubungan denganmu akan menderita!"
Alana tidak bergeming sedikit pun, Ia meraba-raba bibirnya yang sedikit perih. Ada bekas luka sobek.
"Maaf, aku kasar padamu," Ucap Leo. Alana lagi-lagi diam tidak menanggapi.
Lembang adalah kota yang berpeluang menambah kekayaan Leo untuk daerah dosmetik. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa Ia mau turun tangan secara langsung mengontrol Resortnya yang dalam tahap pembangunan. Kenapa seorang Leopard Kusuma mau meluangkan waktunya untuk urusan sekecil ini? Karna dulu, orang kepercayaannya sudah berkhianat.
"Kita disini seminggu lebih, jangan mengaktifkan ponsel. Aku ingin berkonsentrasi bersenang-senang, terutama membuat anak denganmu?" Leo menyeringai.
Alana langsung menyeburkan s**u yang baru di minum, Beda halnya dengan Leo yang tertawa terbahak-bahak.
"Aku bercanda soal anak. Tapi untuk sisanya tidak." Alana merinding mendengar kata-kata Leo yang terakhir.
Matahari sudah memancarkan sinarnya, pertanda untuk memulai aktifitas hari ini. Namun tidak berlaku bagi penghuni kamar sepasang suami istri yang masih terlelap dalam tidurnya. Atau lebih tepatnya sang istri yang terpaksa masih berbaring di ranjang.
"Ini sudah pagi," Suara Alana yang terdengar bosan.
"Mmmm.. " Leo bersenandung pelan.
"Aku ingin mandi."
"Aku juga."
Leo melonggarkan dekapannya, lalu bangkit dari ranjang. Berjalan ke arah kamar mandi.
"Kemari?" Perintah Leo yang sudah di ambang pintu.
Ini gila. Pikir Alana. Dia tidak menduga akan seperti ini kejadiannya. Jujur Alana memakai alasan ingin mandi agar dia bisa terlepas dari pelukan Leo, semalaman dia tidak bisa bergerak dan sekarang sendi-sendi tubuhnya kaku.
"L-leo.. Sebenarnya.. Aku.. "
"Jangan mempermaikanku, Alana Kusuma. Cepat Kemari!" Kata Leo dengan dingin.
"Leo. Maafkan aku?" Pinta Alana. Ia duduk di tepi ranjang. Mencoba menjauh dari Leo.
"Alana sayang, kemarilah.." Pinta Leo lembut. "Buka bajumu,"
"Maafkan aku. Aku janji akan menuruti semua permintaanmu." Rengek Alana ketakutan. Dia tidak yakin apa Leo akan mengabulkan permintaannya.
Hening beberapa saat sampai terdengar jawaban dari Leo.
"Ok."
"Te-terima kasih". Ucap Alana gugup.
Leo menyeringai, "Kemarilah..aku butuh sesuatu darimu?" Sekarang Leo sudah berpindah tempat, menyandar ke tembok samping pintu.
Alana mendekat perlahan, Ia harus hati-hati mengenai semua permintaan Leo. Saat sampai di depan Leo, Alana semakin ketakutan.
"Kurang dekat."
Alana maju selangkah lagi, saat ini hanya ada jarang beberapa cm lagi. Bisa dirasakan hembusan nafas Leo yang menggelitik.
"Arahkan tanganmu kebawah pinggangku" Perintah Leo, memainkan kukunya bosan.
Jezz. Apa ini? Pikir Alana kaget.
"Ini salah satu permintaanku, My Wife?" Kata Leo menggoda, menggigit kuku-kuku jari tangannya.
"Tapi.. Aku-"
"Lakukan saja Alana atau kita bercinta di kamar mandi." Dikte Leo. Dia sudah hampir habis kesabarannya.
Kedua tangan Alana bergerak menuju kebawah pinggang Leo, kedua tangannya sampai gemetaran. Kenapa Tuhan menciptakan manusia seperti ini? Menyiksa orang lain hobinya.
Leo mengamati Alana yang berusaha tidak terlihat takut, wajahnya mengkerut beberapa kali. Ini pemandangan yang mengasyikkan untuk di lihat di pagi hari.
"Masukan tanganmu kedalam boxerku, sayang!" Perintah Leo sambil sedikit menunduk, meniup daun telinga istrinya.
Alana mengejang dan kaku.
"Aku akan membimbingmu,"
Dan saat itulah Alana merasa akan mati karna serangan jantung, jantungnya berdetak dengan kecepatan di atas rata-rata saat merasakan sesuatu yang keras namun lembut. Semua akal dalam otaknya tiba-tiba beku.
"Kau harus menenangkan dia Alana. Ini akibat ulahmu karna membangunkanya." Kekehan lembut dari Leo membuat Alana semakin gugup.
Alana dapat merasakan suara Leo yang serak, ada hal baru yang Alana temukan saat Leo b*******h. Dia akan menutup kedua pasang matanya dan mulutnya terbuka.
"Pijat dia dengan lembut Alana" Pinta Leo gemetar, "Dia sangat rapuh namun perkasa" lanjutnya.
Alana yang tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, hanya menuruti kata-kata Leo. Memijat 'Dia' dengan lembut dan secara tiba-tiba, Leo menarik Alana ke pelukannya.
"Leo.. apa yang kau lakukan?" Alana bingung. Sesuatu yang hangat menyentuh pundaknya.
"Hmmm.. diamlah. Dan nikmati saja"
Leo menjilat pundak Alana yang putih bersih, lidahnya naik ke daerah leher lalu ke telinga, sesekali menggigit. Dia bisa merasakan Alana yang gemetaran dan mengerang yang tertahan. Ini hal yang menyenangkan saat bangun tidur, Dia harus lebih sering melakukan ini pada istri cantiknya.
"Ngh.. L-Leo.. kita harus berhenti." Pinta Alana setengah-setengah.
"Hmm.. " Leo tidak memperdulikan permintaan istrinya. Dia semakin menjarah pundak dan leher Alana, memberikan gigitan dan jilatan.
Segela s**u cokelat yang sudah habis dan mulut yang belepotan oleh selai pisang membuat Alana tidak bisa menahan tawanya, ia tidak menyangka jika orang yang berwajah menakutkan seperti Leo bisa lucu. Menakutkan? Alana berpikir seperti itu tentang wajah Leo, berbeda dengan pandangan orang tentang wajah Leo yang tampan.
"Istriku, tolong bersihkan." Pinta Leo Manja.
Deg. Wajah Alana berubah lagi serius. Di ambilnya tisu lalu duduk di sebelah Leo.
"Kau seperti anak kecil," Alana tidak peduli dengan tangan Leo yang sekarang berada di balik Kaosnya, bergerak di perut Alana membentuk pola-pola kecil.
"Hari ini kit-"
"Diamlah!" Potong Alana, "Jangan banyak bergerak dan bicara. Aku jadi tidak bisa membersihkan mulutmu dengan benar." Alana masih fokus mengelap sisa-sisa selai di sekitar mulut Leo, meski tubuhnya merinding oleh belaian Leo. Dan Leo sendiri menyeringai puas.
.