8. Takdir

1066 Kata
Kami tiba di sebuah restoran yang sepertinya cukup terkenal, itu terlihat dari banyaknya pengunjung yang datang. Alex mengajakku memasuki area restoran itu, aku pun berjalan di belakangnya. Kulihat dia celingukan, aku bisa menebak kalau ia pasti sedang mencari keberadaan Bu Sievania. Beberapa saat kemudian, ia menoleh ke arahku dan mengkode agar mengikuti langkahnya. Hingga akhirnya kami berhasil tiba di tempat Bu Sievania, Bu Sievania tersenyum saat melihatku. Aku balas tersenyum canggung, sebenarnya agak merasa takut juga untuk bergabung bersama ibu dan anak itu karena di sini aku bukanlah siapa-siapa. Namun, saat melihat wajah ceria Bu Sievania saat melihatmu, aku merasa lega. "Kamu akhirnya datang juga, Ris, Ibu dari tadi nungguin kamu," ucap Bu Sievania sambil tersenyum ke arahku. "Iya, Bu." "Sesuai permintaan Mama, Alex udah bawa dia ke sini dan ini pakaian Mama yang Mama pesan." Alex menyerahkan paper bag yang ia bawa kepada Bu Sievania. "Makasih, Sayang," ucap Bu Sievania. "Kalau gitu Alex pergi dulu—" "Eh tunggu, mau ke mana kamu?" Bu Sievania menahan Alex yang akan pergi dari sini. "Alex harus ke kantor, Ma, masih banyak kerjaan yang harus Alex urus." "Nggak bisa, kamu nggak boleh pergi. Duduk sini kamu!" titah Bu Sievania. Kulihat Alex menghela napas kemudian duduk di kursi sampingku, aku hanya menjadi pengamat saja tanpa berniat bersuara karena itu urusan ibu dan anak dan aku tak ingin ikut campur. "Kamu ini memang suka aja asal pergi ya, udah Mama bilang kalau kita akan makan bareng. Mama sudah pesankan makan siang untuk kita," ucap Bu Sievania. "Gimana sama butiknya, Nak Risa?" tanya Bu Sievania menatapku dengan lembut. "Alhamdulillah banyak pelanggan yang datang ke butik Risa, Bu," jawabku sambil tersenyum. "Alhamdulillah, Ibu ikut senang mendengarnya. Wajar aja kalau butik kamu banyak pelanggan, semua desain yang kamu buat nggak pernah gagal bikin pelanggan terpukau. Khususnya Ibu," ujar Bu Sievania sambil terkekeh. "Ini desain yang baru kamu buat, Ibu pakai. Cocok 'kan dipakai sama Ibu?" Bu Sievania menunjuk gamis desainku yang ia pakai, aku tersenyum senang. Merasa puas karena ada pelanggan yang senang saat mengenakan pakaian hasil desainku. "Sangat cocok, warnanya juga serasi di kulit Ibu yang putih," ujarku. "Ibu terlihat cantik menggunakan gamis ini," sambungku. "Kamu bisa aja bikin Ibu salah tingkah, Ris, Ibu nggak sabar buat jadiin kamu menantu Ibu." Aku hanya tersenyum mendengar candaan Bu Sievania. "Ma, jangan mulai," ucap Alex membuatku menoleh sekilas ke arahnya. "Kenapa sih memangnya? Mama 'kan mendoakan yang terbaik untuk kalian. Salah Mama doa begitu? Kamu sama Risa ini sama-sama single, nggak masalah dong Mama coba buat kalian berjodoh. Takdir mana ada yang tahu 'kan?" Kudengar Alex menghela napas, sepertinya ia tidak suka mendengar perkataan Bu Sievania. Aku jadi tidak enak hati, khawatir kalau hubungan ibu dan anak itu merenggang karena kehadiranku. Aku tahu kalau Alex tidak menyukaiku, ia pasti merasa risih karena Bu Sievania seakan mendesak kami untuk berjodoh. Aku tahu kalau takdir memang tidak ada yang tahu, seperti apa yang dikatakan Bu Sievania tadi. Hanya saja, aku merasa tidak enak, karena aku, Alex jadi memasang wajah tak suka seperti itu. "Maaf kalau kehadiran saya membuat suasananya jadi seperti ini," ucapku membuat Bu Sievania dan Alex menoleh ke arahku. "Kenapa kamu malah minta maaf, Ris? Kamu nggak salah, maaf ya kalau Ibu terkesan mendesak kalian. Hanya saja Ibu ingin melihat Alex menikah dan bahagia, Ibu berharap kalau Risa lah orang yang bisa membahagiakan putra Ibu." Bu Sievania mengatakan itu begitu terang-terangan, membuat aku dan Alex saling tatap sebentar. "Ma, jangan memulai. Alex belum mau menikah, jangan paksakan Alex untuk menikah. Maaf, bukan untuk menyinggung kamu, hanya saja saya belum siap ke jenjang pernikahan." "Umur kamu itu sudah tua, Alex, sampai kapan kamu mau menunda menikah? Sampai Mama mati begitu? Kamu begitu keras kepala untuk terus menolak permintaan Mama." Aku jadi pusing sendiri mendengar perdebatan antara ibu dan anak ini. "Mama kenapa bicara begitu? Alex pasti akan menikah, Ma, tetapi tidak sekarang. Alex mau fokus bekerja dulu." "Perusahaan kamu itu sudah besar, mau sebesar apalagi, Alex? Berhenti terus mengelak dengan dalih kamu ingin fokus bekerja. Di usia kamu yang sekarang ini, kamu sudah seharusnya menikah dan mempunyai anak. Kamu harus memikirkan kebahagiaan kamu, bukan hanya perusahaan saja yang harus kamu besarkan!" Meskipun suara Bu Sievania kecil karena ini tempat umum, tetapi suara itu terkesan tegas. Aku jadi kasihan pada Alex karena sepertinya ia begitu tertekan mendengar permintaan Bu Sievania, aku tidak menyangka saja kalau Bu Sievania akan membahas pernikahan di depanku seperti ini. "Iya, Ma, aku akan memikirkannya nanti." "Mama mau kamu memikirkannya sekarang, kalau nanti-nanti Mama yakin kamu pasti akan mencari alasan lagi. "Iya, Ma, Alex ngerti. Tetapi apa harus kita bahas ini sekarang? Ini tempat umum, Ma." Alex melirik ke arahku, seakan mengkode kalau di sini ada aku juga. "Kenapa kamu menatap Risa seperti itu? Mama sengaja bahas ini di depan Risa, karena Mama sudah yakin kalau istri yang cocok untuk kamu itu Risa. Risa sudah ditakdirkan untuk menjadi istri kamu." Alex berdecak mendengar perkataan mamanya. "Jangan membawa orang lain dalam hal ini, Ma, lagipula Risa masih muda. Belum tentu mau menikah di usia muda bersama orang yang bahkan baru ia kenal," ucap Alex. "Kamu tahu apa tentang Risa? Mama jelas lebih tahu tentangnya. Dia pasti mau menikah sama kamu, dari dulu Mama sudah minta dia untuk jadi menantu Mama." Aku terkejut saat tiba-tiba saja Bu Sievania dan Alex kompak menatapku, saat ini aku sudah seperti jadi tersangka pembunuhan saja. "Apa benar yang Mama saya katakan itu? Kamu mau jadi istri saya?" tanya Alex. Aku terdiam, bingung juga ingin menjawab apa karena pada kenyataannya hatiku pun bingung. Aku belum mencintai Alex, tetapi tak dapat dipungkiri kalau saat ini aku tertarik padanya karena beberapa hari terakhir ia sangat baik padaku. "Alex, bagaimana bisa kamu bertanya begitu padanya? Sangat tidak romantis sekali," ujar Bu Sievania memukul kepala Alex dengan tangannya. "Ma, Alex bukan anak kecil lagi!" "Bagi Mama kamu masih anak kecil sebelum kamu menikah dengan Risa." "Risa bahkan tidak tertarik denganku, bagaimana bisa aku menikahinya?" "Ya makanya kamu harus buat Risa tertarik, dia pasti akan luluh kalau kamu berusaha keras." Bu Sievania dan Alex berkata demikian seakan tidak ada aku di sini, mereka berbicara tanpa menganggapku yang sudah kebingungan dengan rencana mereka. Alex mencoba meluluhkan hatiku? Apakah mungkin itu bisa terjadi? Entahlah. Sejujurnya aku belum memikirkan hal itu lagi setelah batalnya pernikahanku dengan Mas Rahman, hanya saja apakah aku harus terus terpaku pada masa lalu dan menolak semua yang berusaha hadir mengisi kekosongan itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN