9. Perhatian

1057 Kata
Aku tidak tahu apakah pembicaraan Bu Sievania dan Alex kembali berlanjut setelah aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu dari makan siang itu atau tidak, yang jelas semenjak hari itu entah mengapa Alex lebih sering pergi ke butikku. Entah karena alasan menjemput Bu Sievania atau alasan untuk mengambil barang pesanannya. Mungkin hal itu terkesan biasa saja, tetapi ada hal lain yang membuatku tidak bisa mengabaikannya. Sikap Alex yang berubah kepadaku, entah mengapa aku merasa kalau Alex sekarang ini sedikit memberiku perhatian. Terkadang pria itu selalu mengingatkanku dalam urusan makan dan juga Alex beberapa hari ini sering mengirimkan pesan untuk menanyakan hal yang sedikit personal dan tidak terlalu penting sebenarnya. Sebagai seorang perempuan biasa, diberi perhatian seperti itu jelas saja membuatku berharap lebih. Entah mengapa aku jadi berharap kalau Alex bisa menjadi pengobat hatiku dari luka yang sempat Mas Rahman torehkan padaku dulu, tetapi untuk saat ini aku harus bisa menjaga sikap dan hatiku agar tak terjatuh terlalu jauh dalam lautan cinta yang Alex ciptakan. Aku tak ingin merasa sakit untuk yang kedua kalinya. Untuk saat ini aku harus berhati-hati pada setiap sikap Alex dan aku pun tak berani untuk menanyakan alasan di balik sikap Alex yang perhatian. "Bu Sievania tidak bisa datang lagi hari ini?" tanyaku saat aku menghampiri Alex yang menungguku di depan butik milikku. "Iya, Mama sedang ada urusan bersama Papa sehingga saya yang ke sini," jawabnya. "Ini pesanan Bu Sievania, mohon dicek, Pak. Takutnya ada kesalahan nantinya," ucapku. Alex menerima paper bag yang aku berikan padanya, "Saya percaya pada kamu, saya yakin kamu tidak akan Melli kesalahan," ucapnya. Aku hanya mengangguk saja. Hingga suasana hening sesaat, aku bingung ingin mengatakan apalagi. Ingin segera masuk butik tetapi tidak mungkin karena itu tidak sopan, ingin menanyakan apakah Alex langsung pulang atau tidak rasanya aku seperti mengusirnya agar cepat pergi dari sini. "Kau sudah makan siang?" Tiba-tiba dia menanyakan hal demikian, membuatku teringat kalau aku belum sempat makan siang karena sejak tadi aku sibuk mengurusi butikku. Diana tidak bisa datang hari ini karena ibunya sakit sehingga aku yang menghandle semuanya, ditambah hari ini begitu banyak pelanggan. Aku bukannya mengeluhkan tentang banyaknya pelanggan dan tidak bersyukur dengan hal itu, jelas saja aku merasa bersyukur karena pelanggan hari ini lebih banyak dari biasanya karena itu bisa menambah penghasilan butikku. Hanya saja karena terlalu sibuk, aku jadi lupa dengan makan siangku sendiri. Kalau bunda tahu aku tak sempat makan siang hari ini, mungkin dia akan mengomel. "Ini saya baru mau cari makan siang, Pak." Aku hanya menjawab sekenanya. "Kenapa baru mau cari sekarang? Bukankah sudah diingatkan kalau tidak boleh terlambat makan?" Entah mengapa aku merasa kalau Alex saat ini seperti sedang memarahi istrinya saja, lah kalau begitu aku seperti istrinya ya? Bergegas aku menggelengkan kepalaku, apa yang aku pikirkan ini? "Eum, itu karena pelanggan hari ini sangat banyak. Saya sampai keteteran, Diana juga tidak bisa datang karena ibunya sakit." Seharusnya ini bukan urusannya sehingga aku harus menjelaskan semuanya padanya 'kan? Tetapi entah mengapa penjelasan itu kukatakan begitu saja padanya. "Meskipun begitu, bukan menjadi alasan untuk menunda makan siangmu. Maaf kalau terkesan memarahimu, saya sama sekali tidak memarahimu. Hanya saya merasa khawatir kalau kau terlambat makan siang? Bukankah kau punya penyakit asam lambung?" Aku mendongak untuk menatap matanya, bagaimana ia bisa tahu kalau aku memiliki penyakit itu? Sepertinya aku tak pernah menceritakan hal ini padanya. Lagipula kami tidak sedekat itu sehingga aku harus menceritakan hal seperti itu padanya. "Aku sempat melihat kau membawa obat itu," ujarnya seakan menjawab pertanyaanku yang tak aku sampaikan dengan kata-kata melainkan hanya dari tatapanku saja. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya, Pak. Setelah ini saya akan makan siang." "Sekalian saja kita cari makan siang bersama-sama," ujarnya membuatku terkejut. "Tetapi—" "Ayo!" Sepertinya Alex tidak ingin dibantah, pria itu berjalan terlebih dulu menuju mobilnya. Aku masih berdiri mematung hingga Alex kembali memanggilku, akhirnya aku mengangguk. Sebelum pergi menuju mobil Alex, aku pergi menuju butikku dulu. Membalik kertas open menjadi istirahat dan mengunci pintu butik barulah aku menghampirinya. "Kau suka makan apa?" tanyanya membuatku menoleh ke arahnya. "Saya semua makanan asalkan itu halal," jawabku lugas. Dia hanya mengangguk saja hingga beberapa saat kemudian akhirnya kami tiba juga di sebuah restoran Italy, aku mengerutkan dahiku. Aku tak biasa makan di tempat seperti ini, hingga saat ia turun dari mobil pun aku masih mematung. "Kenapa masih di dalam? Ayo, turun!" ucapnya sambil mengetuk kaca jendela di sampingku. "Ah iya." Tak ingin menunggu waktu lebih lama lagi, aku langsung turun dari mobilnya. Kami berjalan memasuki restoran itu, mataku mengedar untuk memperhatikan tempat yang terlihat mewah ini. Tempatnya saja sudah bagus seperti ini, aku was-was jika nanti harga makanannya sangat mahal. Aku tak terbiasa menghabiskan uangku hanya untuk makan makanan yang mewah, tetapi tidak enak juga karena ia sudah mengajakku ke sini. Salahku juga tadi yang tidak mengatakan keinginanku sebenarnya, kalau tahu ia akan membawaku ke sini lebih baik aku mengatakan saja aku ingin makan di tempat seperti apa. Namun, sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, malu juga jika mengajaknya pergi dari sini. Sepertinya aku harus mengambil uang tabunganku untuk membayar makanan di sini yang harusnya jelas fantastis itu. "Kau mau pesan apa?" Kami sudah duduk di sebuah kursi, ia memegang buku menu di tangannya sedangkan aku sedari tadi gelisah. Tengah menghitung biaya yang akan aku keluarkan saat nanti keluar dari sini. Aku bukannya perhitungan terhadap diri sendiri, hanya saja aku tidak terlalu suka membelanjakan uang untuk barang-barang ataupun makanan mahal yang sama sekali tidak mengenyangkan perut. Aku menerima buku menu yang ia sodorkan, aku melihat gambar menu di buku menu yang aku pegang. Semua makanan terlihat tak menarik di mataku, ditambah tidak ada price list yang tertera. Akhirnya aku menunjuk sebuah menu makanan itu kemudian memberikan buku menu itu padanya. Ia memesan apa yang aku tunjuk tadi dan mengatakannya pada seorang pelayan, sehingga pelayan itu pergi untuk mengambil pesanan kami. Beberapa saat kemudian seorang pelayan datang dengan membawa pesanan kami. Seharusnya aku tidak terlalu terkejut lagi saat melihat makanan yang tersaji di meja, sangat sedikit dan bahkan aku yakin kalau aku tak akan kenyang makan ini. Aku memilih menikmati makanan yang terasa asing dilidahku, sesekali melihat ke arah Alex yang sepertinya benar-benar menikmati makan siangnya. "Risa ...." Aku menatapnya saat ia memanggil namaku, ini pertama kalinya ia memanggil namaku. "Ya?" "Saya jatuh cinta pada kamu, saya ingin melamar kamu secepatnya." Sendok di tanganku terjatuh di atas piring saat mendengar perkataannya yang tiba-tiba itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN