12. Resepsi

1019 Kata
Acara resepsi pernikahan berlangsung sampai malam hari, sejujurnya aku sudah sangat lelah. Kakiku bahkan sangat pegal karena terus berdiri untuk menyalami tamu undangan yang hadir, tetapi aku berusaha menyembunyikan semuanya dengan memasang senyum. Aku melihat ke arah samping, tepatnya ke seorang pria yang beberapa jam lalu sudah resmi menjadi suamiku. Aku tersenyum ketika mengingat kembali momen ijab kabul itu, pria di sampingku ini mau dilihat dalam arah manapun tetap saja tampan. Sebagai perempuan normal lainnya, jelas saja aku mengakui kalau Alex memang tampan. Banyak orang yang mengatakan kalau aku beruntung bisa menikah dengan Alex dan aku mensyukuri hal itu. "Risa capek ya?" Aku menatap ke arah Bu Sievania saat ibu mertuaku itu menatapku. "Nggak kok, Bu, aku baik-baik saja," jawabku. "Lah, kok masih panggil ibu? Panggil mama dong kayak panggilan Alex buat Mama," ucap Bu Sievania. "Iya, Ma." Ragu-ragu aku memanggil beliau demikian sambil tersenyum canggung. "Nah gitu dong." "Kamu capek? Kalau kamu capek, istirahat dulu di kamar nggak apa-apa," ucap Bu Sievania yang seakan tahu perasaanku saat ini. "Nggak, Risa baik-baik aja, Ma. Kalau Risa ke kamar dulu, nggak enak nanti ada banyak tamu undangan yang nggak ketemu Risa," balasku. "Udah, nggak usah mikirin tamu. Itu jadi urusan Mama dan bunda kamu, kamu sama Alex ke kamar dulu aja. Lex, anterin itu Risa ke kamarnya, dia capek katanya." Bu Sievania menatap Alex yang kini menatapku. "Iya, Ma." "Ayo," ajak Alex padaku. "Ajakan macam apa yang kamu lakukan pada Risa? Masa gitu ngajakin istrinya ke kamar? Nggak ada manis-manisnya kamu jadi suami, Lex," tegur Bu Sievania. Kulihat Alex menghela napasnya, aku sedikit tersenyum melihat itu. Alex terlihat lucu saat sedang kesal begitu. "Ayo, Sayang, kita ke kamar." Alex tersenyum lembut padaku kemudian menyentuh bahuku untuk ia rangkul. Aku tertegun dengan perlakuan dan panggilan penuh kelembutannya padaku, aku bahkan tak dapat bergerak karena tubuhku mendadak merasa kaku. Ini kali pertama pria lain menyentuhku seperti ini dan pria itu adalah suamiku sendiri. "Nah gitu dong, itu baru suami yang sayang istri. Udah kalian ke kamar cepat!" Bu Sievania mengusir kami berdua. "Iya, Ma." Alex dan aku akhirnya berjalan menuju kamarku. Aku benar-benar gugup, merasa canggung dengan Alex yang berada di sampingku saat ini. Sebentar lagi Alex akan melihat kamarku, meskipun kamarku sudah dihias sedemikian rupa, tetapi tetap saja aku merasa malu. Khawatir kalau Alex tidak nyaman nantinya saat berada di kamarku. "Di mana kamarmu?" tanyanya membuka suara di kala keheningan yang menyelimutinya kami. "Di sana, Mas." Aku menunjuk sebuah pintu kamar yang merusak kamarku. Alex hanya mengangguk, ia membawaku menuju kamarku. Kami memasuki kamarku, kemudian ia mendudukkan ku di tepi ranjang sementara ia berdiri. Matanya menjelajah kamarku, seakan tengah menelitinya. Alex seperti—ah apa aku harus merubah panggilanku untuknya? Mengingat kalau ia sudah resmi menjadi suamiku. Maksudku Mas Alex seperti seseorang yang perfeksionis, terlihat jelas dari tatapannya yang begitu teliti dengan melihat satu persatu barang yang ada di kamarku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, aku sama sekali tidak tahu. "Ada apa, Mas? Apa ada yang aneh dengan barang-barang yang ada di kamarku?" tanyaku yang akhirnya membuka suara. "Tidak, hanya saja aku merasa aneh dengan semua barang yang ada di kamarmu," ucapnya. Aku memperhatikan semua barang yang ada di kamarku, kamarku didominasi warna putih dengan semua barang bernuansa hitam. Memangnya ada yang aneh dengan itu? "Apakah semua ini terlihat aneh?" Mas Alex mengangguk. "Aku pikir kau akan menyukai warna merah jambu," ujarnya yang membuatku tertawa. "Oh jadi itu yang membuat Mas Alex merasa heran," ucapku terkekeh pelan. "Iy—" "Sebentar." Tiba-tiba saja terdengar dering ponsel yang tentunya bukan ponselku, tetapi berasal dari ponsel Mas Alex. "Apa!? Kau ada di depan? Mengapa kau nekat sekali!?" Aku terkejut saat mendengar ia berteriak seperti itu. "Huh, kau tunggu aku di sana. Jangan nekat masuk, aku akan segera ke sana!" Tut. "Ada apa, Ma—" "Aku harus keluar sebentar, kau istirahat lah lebih dulu." Usai mengatakan itu, ia meninggalkanku yang belum sempat menanyakan apa yang membuatnya panik begitu. Aku menatap pintu kamarku yang tertutup, akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan pakaian pengantin ini kemudian membersihkan diriku di kamar mandi. Aku memakai pakaian tidur panjang dengan hijab instan, seharusnya aku tak berpakaian seperti ini karena biasanya aku akan tidur tanpa hijab dan dengan pakaian tidur pendek. Namun, karena di sini nantinya ada Mas Alex dan aku masih merasa canggung menampakkan rambutku padanya, aku memutuskan untuk memakai pakaianku saat ini. Sampai saat aku selesai berganti pakaian, Mas Alex sama sekali belum kembali ke kamarku. Mungkin saja urusannya sangat penting sehingga ia pergi begitu lama. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur duluan, saat mataku hampir terpejam, kudengar pintu kamarku dibuka kemudian dikunci. Mataku sangat berat untuk terbuka, hingga akhirnya aku membiarkan saja alam mimpi menghampiriku. Sebelum benar-benar menuju alam mimpi, aku sempat merasakan ranjangku sedikit bergoyang dan kemudian aku juga merasa ada seseorang yang tidur di sebelahku. Samar-samar kulihat punggung Mas Alex di sana, hingga aku benar-benar tertidur. Aku terbangun dari tidurku saat mendengar bunyi alarm di jam alarm yang aku hidupkan, aku terduduk di tempat tidur kemudian mengambil jam alarm itu untuk dimatikan. Aku melihat jam yang masih menunjukkan pukul tiga dini hari, aku memutuskan pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya aku melaksanakan shalat malam seperti biasanya, usai shalat malam aku melirik ke arah ranjang di mana Mas Alex sedang tertidur dengan lelapnya. Awalnya aku ingin membangunkannya juga tadi, tetapi karena dia terlihat sangat lelah, aku mengurungkan niatku. Sambil menunggu waktu subuh tiba, aku mengaji dan berdzikir. Hingga saat adzan subuh berkumandang, aku berdiri dari atas sajadah untuk menghampiri suamiku. Aku akan membangunkannya. "Mas, bangun, sudah subuh," ucapku berusaha membangunkannya. Ia bergeming, sama sekali tidak merespon ucapanku. Ragu-ragu aku menyentuh bahunya kemudian menggoyangkannya, "Mas, bangun, sudah adzan subuh. Ayo mandi lalu shalat subuh bersama-sama," ucapku dengan suara lembut. "Eum ...." Kudengar gumaman pelan darinya, aku berpikir kalau ia akan bangun, tetapi ternyata tidak. Mas Alex malah balik badan memunggungiku seakan tak ingin diganggu tidur nyenyaknya. Akhirnya aku memutuskan ke kamar mandi untuk wudhu lagi kemudian melaksanakan shalat subuh sendirian, aku akan membangunkannya nanti setelah aku shalat subuh. Mungkin saja Mas Alex merasa lelah dengan acara resepsi kemarin sehingga ia susah dibangunkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN