Perempuan mana yang tidak akan luluh hatinya jika seorang pria terus berusaha untuk membuktikan keseriusannya? Sama halnya seperti hatiku yang akhirnya luluh karena Alex terus saja membuktikan keseriusannya. Pria itu benar-benar memperlakukan seperti sesepuh yang amat ia cintai, aku luluh karenanya. Saat lamaran itu dilakukan oleh Alex dan Bu Sievania, awalnya aku ragu karena kami masih belum lama saling mengenal. Aku sebenarnya butuh banyak waktu untuk memikirkan hal ini, tetapi begitu Alex menunjukkan perhatian dan rasa cintanya itu membuatku merasa seperti seseorang yang sangat spesial baginya. Akhirnya setelah satu minggu aku berpikir dan tak lupa shalat istikharah untuk meminta bantuan kepada Allah, aku memutuskan untuk menerima semua ini. Menerima Alex untuk menjadi calon suamiku.
Hingga tak terasa sudah satu bulan sejak hal itu terjadi, ini adalah hari pernikahanku dengan Alex. Ya, akhirnya kami memutuskan untuk menikah, Alex berkata kalau ia tidak mau menunda-nunda hal baik yang memang seharusnya cepat dilakukan. Para orangtua pun setuju dengan saran Alex, hingga di sinilah aku berada. Di kamarku dengan seorang perias pengantin yang sedang memoles make-up pengantin di wajahku.
"Muka kamu ini udah mulus dan cantik banget, ini dipoles dikit lagi pasti makin cantik," ujar Mbak Kiki—perias pengantinku.
"Makasih, Mbak, Mbak bisa aja. Aku jadi tersipu loh dipuji begini," balasku yang membuat Mbak Kiki tertawa.
"Mbak serius tahu, Ris, kamu ini jarang pakai make-up jadi mukanya masih alami banget. Mbak senang deh kalau make-upin muka-muka mulus kayak gini. Mbak nggak kesusahan saat lagi ngaplikasiin foundation atau yang lain yang," ucap Mbak Kiki.
"Alhamdulillah, Mbak." Hanya itu yang dapat aku katakan.
Aku diam saat Mbak Kiki mulai meriasku, tatapanku lurus ke depan kaca. Melihat wajahku yang perlahan-lahan sedikit berubah karena sudah dipoles make-up.
"Mbak, make-upnya yang natural aja ya, aku nggak mau terlalu tebal. Nanti sudah ngebersihinnya," tuturku pada Mbak Kiki.
"Ck, namanya rias pengantin ya harus sedikit tebal dong, Ris. Biar nanti suami kamu bisa pangling lihat kamu, kalau mau yang natural itu kamu mah sendirian juga bisa," ujar Mbak Kiki yang malah protes.
"Mbak Kiki kok malah protes? Harusnya turutin kemauan pengantinnya," tuturku cemberut.
"Mbak nggak mau nurutin, udah kamu diam aja. Urusan merias wajah biar Mbak aja." Akhirnya aku diam sedikit kesal dengan Mbak Kiki yang tak mau menuruti kata-kataku.
Kami memang sudah dekat sejak lama, karena Mbak Kiki ini merupakan tetanggaku yang hanya berjarak beberapa rumah saja dari sini. Usiaku dan Mbak Kiki hanya selisih dua tahun saja, sehingga tak heran kalau kami bisa akrab mengingat selisih umur yang tak jauh berbeda.
"Kamu beruntung punya suami yang seperti dia itu, Ris, udahlah orangnya baik. Dia tampan dan kaya juga, banyak orang yang mau sama dia, tapi dia malah menjatuhkan hatinya padamu." Mbak Kiki kembali berbicara, dengan tangan yang tak berhenti merias wajahku.
"Mbak bilang begitu seakan Mas Alex nggak beruntung dapatin aku," ucapku.
"Mbak nggak bilang gitu ya, Mbak cuma bilang kamu harus banyak-banyak bersyukur dapat jodoh seperti Alex. Mbak berdoa semoga kamu selalu bahagia sama dia."
"Namanya pernikahan nggak mungkin bahagia terus, Mbak, pasti ada dukanya juga." Perkataanku itu membuat kepalaku dipukul oleh Mbak Kiki hingga membuatku mengaduh.
"Orang ngedoain itu harusnya diamini, Risa," ucap Mbak Kiki yang sepertinya jengkel.
"Iya, aamiin. Makasih banyak doanya Mbak Kiki sayang."
"Nah gitu dong."
"Oh ya, Ris, suami lo punya teman nggak sih? Kalau punya teman, mau dong Mbak dikenalin satu. Barangkali jodoh dan sampai di pelaminan 'kan?" Mbak Kiki mulai melancarkan aksinya mencari jodoh melaluiku.
"Mulai deh, Mbak Kiki." Mbak Kiki hanya terkekeh.
"Ayolah, Ris, kamu nggak kasihan sama Mbak yang masih jomlo ini? Mbak 'kan juga pengen nikah, Mbak udah diduluin loh sama kamu. Mbak terus yang merias pengantin, kapan coba Mbak yang dirias?"
"Makanya, cintanya Mas Panca itu diterima dong, Mbak. Udah ada lelaki yang bilang cinta malah ditolak, sekarang malah minta dicariin sama yang belum pasti," ucapku telak menyindir Mbak Kiki.
"Kamu ini, Ris, kayak nggak tahu Panca aja. Dia itu nggak serius bilang gitu ke Mbak, kalau dia serius seharusnya dia langsung melamar Mbak. Buktinya sampai sekarang belum juga 'kan?"
"Gimana mau ngelamar kalau Mbak ngelarang," ucapku.
Beberapa waktu yang lalu aku sempat bertemu Mas Panca secara tidak sengaja, aku menanyakan hubungannya dengan Mbak Kiki yang ternyata masih jalan di tempat. Saat aku menanyakan hal ini, Mas Panca hanya menjawab kalau ia tak berani melamar Mbak Kiki sebelum Mbak Kiki mengizinkannya. Mas Panca takut ditolak Mbak Kiki di hadapan orangtuanya kalau ia terus memaksakannya.
"Ya harusnya dia itu peka dong maunya cewek itu apa, Ris, udah ah nggak usah dibahas. Memang dasar dia nggak serius aja itu," ucap Mbak Kiki keras kepala.
Aku menggelengkan kepalanya, sepertinya aku harus ikut andil dalam hubungan Mbak Kiki dan Mas Panca. Aku akan memberitahu Mas Panca tentang ini diam-diam, tanpa sepengetahuan Mbak Kiki.
"Udah selesai nih, benar 'kan apa yang Mbak bilang kalau kamu jadi makin cantik gini," ucap Mbak Kiki.
Mendengar perkataan Mbak Kiki membuatku melihat pantulan wajahku melakui cermin, aku tersenyum. Merasa tak menyangka kalau hari ini aku akan menikah dengan seseorang yang sudah menaklukkan hatiku.
"Rombongannya Alex kayaknya udah pada datang, Ris, dipakai gih kebayanya." Aku mengangguk, mengambil kebaya yang tergantung kemudian memakai kebaya itu.
"Sini Mbak bantu." Seakan peka kalau aku tengah kesusahan, Mbak Kiki membantuku memakaikan kebaya di tubuhku.
Setelah itu Mbak Kiki membantuku memasang hijab satin berwarna putih, sepanjang itu aku tak hentinya tersenyum. Merasa senang sekaligus gugup di hari yang begitu sakral dalam hidupku ini.
Saat sudah selesai, bertepatan dengan itu bunda membuka pintu kamarku. Aku dan Mbak Kiki kompak menoleh ke arah pintu, di mana bunda berdiri di sana sambil tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Entah mengapa saat melihat itu, membuatku juga ikut berkaca-kaca.
"Ris, Mbak keluar duluan ya, selamat atas pernikahan kamu dan Alex," ucap Mbak Kiki menepuk bahuku kemudian lekas pergi dari kamarku.
Bunda perlahan-lahan memasuki kamarku, beliau menghampiriku yang saat ini sudah sangat siap.
"Anak bunda yang dulunya masih kecil kini sudah dewasa ya, sebentar lagi jadi istri orang. Bunda harus rela melepaskan kamu untuk tinggal bersama suami kamu," ucap bunda yang membuat mataku berkaca-kaca.
"Bunda—" Perkataanku terhenti ketika bunda tiba-tiba saja memelukku erat.
"Sebenarnya Bunda belum rela melepaskan kamu, Ris, Bunda belum rela melepaskan kamu untuk tinggal bersama orang lain. Rasanya Bunda baru kemarin melahirkan kamu, kini kamu sudah semakin dewasa saja." Aku balas memeluk bunda, entah mengapa saat mendengar perkataan bunda membuatku ikut menangis.
Sejujurnya aku pun tak rela pergi dari rumahku untuk menempuh hidup baru, tetapi aku harus melakukannya karena ke manapun suamiku pergi maka aku harus ikut.
"Risa bisa tinggal di sini kalau Bunda berat biarin Risa pergi," ucapku membuat bunda langsung melepaskan pelukannya.
"Mana bisa begitu, sebagai seorang istri kamu harus ikut ke manapun suami kamu pergi."
"Tapi Risa nggak tega ninggalin Bunda, Bunda pasti sedih Risa pergi."
"Bunda nggak sedih lagi kok," ucap bunda yang langsung mengusap air matanya.
"Make-up kamu nanti luntur kalau nangis begini, jangan nangis, Sayang." Bunda mengusap air mata di kedua pipiku, air mataku kembali menetes saat bunda melakukan hal itu.
"Bunda ...." Aku kembali memeluk bunda erat, betapa aku menyayangi perempuan hebat yang sudah melahirkan dan membesarkanku ini.
"Maaf kalau Risa belum bisa membanggakan Bunda sampai sekarang, Risa belum bisa kasih apa-apa ke Bunda tapi Risa udah mau ninggalin Bunda aja," ucapku penuh sesal.
"Kata siapa kamu nggak membanggakan Bunda? Kamu selalu bisa membanggakan Bunda, Bunda tidak butuh apa-apa karena kehadiranmu sudah lebih dari cukup membuat Bunda dan ayahmu bahagia, Nak." Aku semakin mengeratkan pelukanku saat mendengar perkataan bunda.
"Terima kasih untuk semuanya, Bunda," ucapku.
Cukup lama kami berpelukan hingga ada sepupuku yang menghampiri kami dan mengatakan kalau rombongannya calon suamiku sudah datang.
"Nanti kamu ke sini lagi saat ijab kabul udah selesai ya, Ti," ucap bunda pada Tiara.
"Iya, Tante."
Tiara kembali ke depan rumah, ia akan menjadi pengawas acara pernikahanku. Aku dan bunda menunggu di kamar, aku akan keluar bersama bunda dan dua sepupuku saat nantinya Alex sudah mengucapkan ijab kabul.
Aku gugup, tanganku bahkan berkeringat dingin. Rasanya ini lebih mendebarkan daripada waktu dulu aku hampir menikah dengan Mas Rahman, apa mungkin karena aku takut kejadian lalu terulang kembali? Namun, bukankah Alex sudah hadir di sini dan itu berarti tak ada alasan untukku merasa gugup seperti ini 'kan? Tetapi tetap saja aku gugup. Perempuan mana yang tidak akan gugup di hari pernikahannya? Aku yakin sembilan puluh persen perempuan akan gugup sepertiku di hari pernikahannya.
"Sahh!" Saat kata sah terdengar jelas di telingaku, secara refleks aku mengucapkan alhamdulilah. Bunda menatapmu kemudian memelukku.
"Selamat, Sayang, kamu sudah resmi jadi istri orang." Aku balas memeluk bunda, aku berusaha untuk tidak menangis kali ini.
"Terima kasih, Bunda."
Saat dua sepupuku datang, aku yang diapit oleh Bunda dengan dua sepupuku yang berada di belakangku kini berjalan keluar dari kamarku. Kami berjalan menuju tempat yang sudah dihias sedemikian cantiknya untuk hari sakral ini, saat semakin banyaknya orang yang dilihat, aku semakin gugup. Apalagi saat mataku akhirnya bersitatap dengan Alex yang kini juga menatapku. Aku sejenak tertegun saat melihat wajahnya, wajahnya sangat tampan dengan peci berwana hitam dan jas putih yang ia pakai. Beberapa lama kami saling bersitatap hingga sentuhan dibahuku membuatku menatap bundaku.
"Suami kamu terlihat tampan ya?" tanya bunda berbisik di telingaku.
"Nanti aja saling tatapnya, begitu kalian di kamar, kalian puas menatap satu sama lain." Wajahku memerah mendengar bisikan dari bunda.
Bunda tersenyum geli dan itu membuatku semakin malu saja, akhirnya aku memilih menundukkan kepalaku. Hingga akhirnya bunda dan aku tiba juga di hadapan Alex, perlahan-lahan bunda melepaskan tanganku kemudian sedikit menjauh dariku.
"Cium tangan suami kamu, Risa," ucap bunda yang membuatku langsung meraih tangan Alex kemudian mencium punggung tangannya dengan khidmat.
Saat aku hendak melepaskan tangan Alex, seorang fotografer menahanku agar tetap berada di posisi itu. Kemudian sebuah gambar diambil oleh fotografer itu. Begitupun juga saat Alex mencium keningku. Saat ia mencium keningku jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya, ini kali pertama seorang pria menciumku selain ayahku.
Setelah acara pasang cincin selesai dan juga menandatangani buku nikah pun selesai, aku dan Alex diarahkan untuk duduk di sebuah tempat yang telah disediakan bersama dengan kedua orangtuaku dan orang tua Alex yang masing-masing berada di samping kami.
Aku dan Alex saling diam, kami tak berbicara satu patah katapun itu. Aku sesekali melirik ke arahnya yang sama sekali tidak melirik ke arahku, awalnya aku merasa bingung dengan itu. Namun, aku mencoba menepis rasa itu, mungkin saja Alex saat ini masih merasa gugup dan canggung dengan status baru kami, sama halnya seperti aku yang merasa gugup luar biasa hingga tak berani bersuara lebih dulu.
Saat ada tamu undangan yang naik ke atas, refleks kami berdiri dan menyalami tamu undangan itu dengan senyuman. Meskipun dari kebanyakan tamu, aku sama sekali tidak kenal karena semua itu berasal dari keluarga Alex.
"Alex, Risa, kalian lapar? Kalau lapar, biar Bunda minta Tiara ambilkan makan untuk kalian," ucap bunda pada kami.
"Risa belum lapar, Bun, mungkin Mas Alex lapar?" tanyaku pada Alex.
"Tidak, saya belum lapar."
"Mungkin aku dan Mas Alex akan makan setelah acara selesai saja, Bun," ucapku pada bunda.
"Acaranya masih lama loh, Ris, kamu yakin tahan? Biar Bunda minta Tiara aja ya bawain makanan buat kalian." Saat bunda memaksa akhirnya aku dan Alex hanya mengangguk pasrah saja.
Kami menikmati makanan kami dengan saling diam, jika kalian pikir akan ada acara suap-menyuap, maka kalian salah besar. Karena kami makan dengan piring masing-masing, hingga aku yang sedang asyik makan tiba-tiba tertegun saat tangan Alex terulur kemudian ibu jarinya mengusap sudut bibirku.
"Ada noda rendang tadi di sana," ucap Alex seakan memberitahuku alasan mengapa ia melakukan itu.
"T-terima kasih."
Aku sangat gugup sekali, aku melirik ke arah Alex yang nampak cuek saja setelah melakukan hal itu padaku. Kemudian aku memegangi dàdaku sendiri, debarannya masih terasa sampai saat ini.
"Ris, kok makanannya nggak dihabisin?" suara bunda membuatku tersadar.
"Ini mau dihabiskan kok, Bun," ucapku kembali melanjutkan makanku.
Sesekali aku melirik Alex, dari samping wajah pria itu tetap tampan. Aku tersenyum, merasa beruntung karena mengenal Alex. Alex yang baik dan Bu Sievania yang sangat menyayangiku, maka nikmat mana lagi yang harus aku dustakan? Allah begitu baik padaku sehingga menghadirkan Alex dalam hidupku. Aku hanya bisa berharap dan berdoa, semoga Allah memberkahi pernikahan kami dan menjadikan pernikahan kami sakinah mawadah warahmah.