Masih Ada Cinta

1249 Kata
Untukmu yang sedang berjuang melupakan, mulailah proses itu tanpa perlu memaksakan. Jalani semua dan bekali hati dengan keikhlasan. Jadikanlah Allah sebagai tempat untuk menumpukkan harapan. Kendalikan dirimu, agar tidak tenggelam dalam perasaan kecewa yang berkepanjangan. Sejatinya hidup adalah proses untuk kita belajar; belajar menerima apapun yang memang tidak Allah takdirkan untuk kita; belajar untuk menerima setiap kehilangan dengan hati yang ikhlas, yakinlah jika Allah tahu apa dan siapa yang terbaik untuk semua hamba-Nya. Untukmu yang sedang berjuang selepas kehilangan, beranjaklah. Hapus semua keraguan dalam hatimu dan yakinkan dirimu, bahwa kamu tidak sendiri, ada Allah yang senantiasa membersamai. *** Rasa letih menghinggapi tubuhku. Nenek dari pihak Papa jatuh sakit dan harus rawat inap di salah satu rumah sakit di Surabaya. Mama pergi ke sana untuk merawat Nenek. Meski ada putra dan putrinya yang lain, sebagai menantu tertua Mama tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Kepulangan Mama masih tidak bisa ditentukan. Itu artinya aku harus mengurus semuanya sendiri. Untung ada Siti, karyawan kepercayaan mama. Dia banyak membantu, khususnya hari ini. Tidak terasa malam semakin larut. Tubuh sudah meminta jatah istirahat. Saat baru saja terpejam, mata kembali terbuka. Gelisah kembali menghantui. Kupeluk erat guling, dengan tangan yang mengepal dan dipenuhi keringat. Bayangan Reno menyelinap begitu saja dalam ingatan, memenuhi seluruh isi kepala. Tentang dia yang akan menikah dengan Melisa, hatiku kembali tercabik. Perpisahan itu telah terjadi cukup lama. Bertahun-tahun tak pernah saling mengabari, tak pernah juga saling mencari. Kupikir rasa ini telah pergi. Nyatanya masih saja tersisa namanya dalam relung hati terdalam. Oh, Allah, aku pernah menggantungkan harap selain pada-Mu. Aku pernah jatuh cinta pada seseorang hingga melupakan-Mu. Hingga akhirnya Kau patahkan hati ini, membuat diri ini hancur dan terpuruk dalam waktu yang sangat panjang dan sampai hari ini luka itu masih belum mengering. Aku tahu, segala yang terjadi telah Engkau tulis dalam lembaran catatan takdir setiap hamba-Mu. Kantuk tak juga datang, aku beranjak dan pergi untuk mengambil wudu; mencari ketenangan dengan melakukan salat. Usai semua terlaksana, kubuka Alquran berwarna merah jambu—hadiah pemberian dari Papa. Perlahan k****a ayat demi ayat sembari memaknai isinya. Bacaan tiba-tiba terhenti pada satu ayat yang saat membacanya membuatku merasa tertampar. Mulut tak sanggup lagi berkata. Cairan bening itu kembali merambah turun, bersamaan dengan sesak dalam d**a. "Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri." (QS. Yunus 10: Ayat 44) Secara otomatis kedua pipi basah. Ingatan berputar dan terhenti pada fase saat aku menjadi manusia paling bodoh, karena sempat begitu marah pada-Nya. Saat semua ketentuan-Nya tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Air bening itu tak hentinya membasahi pipi. Sampai terisak menahan sesak dalam d**a. Sungguh aku sadar sekarang, menjadi baik bukanlah perihal yang mudah. Namun, menjadi baik adalah sesuatu yang indah. Meski harus tertatih dan bersusah payah untuk mempertahankannya. Ini adalah prosesku untuk berbenah. Memperbaiki segalanya. Termasuk hubungan dengan Allah. Aku masih harus banyak belajar, terutama dalam hal Istiqomah. Meski tak mudah. Bahkan seringkali aku merasa bosan, lelah dan imanku kembali goyah. Bersyukur Allah berikanku kesempatan untuk berbenah, karena tidak semua orang diberikan kesempatan itu. *** "Zi ...." Aku menoleh mendengar suara lembut itu. Kak Prita—kakak iparku tiba-tiba saja datang. Perempuan berjilbab motif abstrak itu langsung memeluk erat tubuh ini. Seketika hati menghangat. Rasa tenang mampu kurasakan, sama rasanya seperti saat dalam pelukan Mama. "Bibi, semalam telepon Kakak. Katanya, kamu ngurung diri lagi. Ada apa, Zi?" Suara Kak Prita terdengar khawatir saat dia bertanya. "Reno dan Melisa akan menikah, Kak," jawabku dengan suara lemah. Kak Prita terdiam tidak berkutik. Dielusnya punggungku dengan lembut. Dia menatapku lantas membelai lembut wajah ini. "Percayalah Allah sudah menyiapkan seseorang yang terbaik untukmu. Jika bukan dia yang kamu inginkan, dia yang selalu menginginkanmu dan mencintaimu tanpa alasan, tanpa syarat, dan tanpa batas waktu." Air mata ini kembali merambah turun. Dulu, aku bodoh telah meninggalkan Reno dan pada akhirnya aku menyesal. Sampai detik ini, perasaan untuknya masih sama. Tidak ada yang sebaik dia. Tidak ada yang setulus dia. Tidak ada yang mencintaiku sesempurna dia. "Dengar, Zi. Tutup semua kisah yang hanya akan membuatmu bersedih. Teruskan langkahmu dan temukan rida-Nya. Allah tidak pernah tidur dan tidak akan pernah meninggalkanmu. Sekarang kita turun, ya. Kamu harus makan. Bibi bilang, kamu tidak turun untuk sarapan pagi ini." Diusapnya air mataku dan ia tarik tanganku dengan lembut. Aku menolak, tetapi Kak Prita tidak membiarkan adiknya ini bicara. Dia tetap memaksaku untuk turun. Langkah kami keluar menuju dapur, menuruni anak tangga dan terlihat si kembar sedang asyik bermain boneka di ruang TV yang letaknya berdekatan dengan dapur. "Tante Zizi ...." Keduanya berlari dan memeluk, begitu mereka melihatku. "Kalian apa kabar?" tanyaku, berlutut menyetarakan tubuh dengan keduanya yang dibalas dengan kecupan di pipi kiri dan kanan. "Tante jangan sedih lagi, ya. Kan, ada kita sekarang buat temani Tante Zizi,” ujar Faza, si Kakak. “Tante Zizi juga harus makan, kalau enggak nanti sakit lagi. Kalau Tante sakit, kita ikut sedih,” sambung Fuzi, si Adek. Aku tersenyum, kedua keponakanku sudah pandai menghibur. Mereka ini semakin pintar dan lucu sekali. Aku meraih tangan keduanya dan mengecupnya dengan lembut. Mereka memang masih anak-anak, dan mungkin belum mengerti tentang masalahku, tetapi kalimat yang keluar dari mulut mereka untuk menghiburku selalu mampu membuat hati tersentuh. "Ini juga Bunda mau ajak Tante Zizi makan. Kalian main lagi, ya, Sayang.” Si kembar langsung berlari dan kembali bermain. Setelah sampai di meja makan, Kak Prita langsung membantuku mengalaskan nasi dan lauk yang sudah dihangatkan Bibi. "Abangmu tidak bisa pulang, Zi. Ada tugas yang tidak bisa digantikan. Kemarin dia cemas sekali begitu mendengar adik kesayangannya tidak mau keluar kamar lagi." Kak Prita serahkan sepiring nasi dan lauk padaku, kemudian menuangkan air ke dalam gelas, lantas menarik satu kursi, dan duduk di dekatku. Aku menatapnya begitu dalam. "Maaf, aku selalu saja membuat kalian cemas." Ibu dua anak itu lantas tersenyum. "Sudah ... ayo, makan. Kakak temani, ya." Dia juga mengalas nasi untuknya. Hangat kurasakan setiap kali bersamanya. Kelembutannya mampu membuatku tenang. Abang telah memilih pendamping hidup yang sangat tepat. Kak Prita ini selain cantik, dia juga pintar dan keibuan. Selain itu akhlaknya juga baik. Dia juga yang mengajarkanku bagaimana caranya menjadi wanita yang dirindukan surga. "Setelah selesai makan, kamu telepon abangmu, ya." Diliriknya benda bulat di pergelangan tangannya, "sebentar lagi dia istirahat." Aku hanya mengangguk. Kini aku merasa sudah jauh lebih baik. Meski d**a masih sesak dan bayangan Reno juga Melisa masih terus menghantui. Mungkin beda rasanya, jika bukan Melisa yang akan mendampingi Reno. Namun, pada kenyataannya perempuan itu memang Melisa, sahabat baikku. Sering aku bermimpi dan kembali bersamanya. Aku pikir, Allah selalu datangkan dia dalam mimpi sebagai isyarat bahwa dia adalah takdir yang Allah siapkan untukku. Namun, nyatanya mimpi itu hanyalah bunga tidur. Dia akan bersanding dengan wanita lain, sahabatku sendiri. Wanita yang tahu perjalanan cintaku bersamanya. Kami belum pernah bertemu lagi, hatiku sudah patah duluan. Bagaimana jika nanti kami bertemu? Akan seperti apa hatiku? Membayangkannya saja hatiku rasanya sudah sakit. "Zi ...." Kak Prita buyarkan lamunanku. "Habiskan makanannya," sambungnya lagi. Aku kembali melahapnya dengan malas, sembari tetap mengendalikan diri. Jika saja waktu bisa diputar kembali, aku ingin waktu berhenti pada titik saat kami masih bersama. Saat bahagia selalu tercipta ketika bersamanya. Namun, pada kenyataannya. Mimpi buruk itu telah terjadi dan tidak bisa lagi terhapuskan. Kami tidak akan bisa bersama dan dia tidak akan pernah mungkin kembali. Menyakitkan memang, ketika seseorang yang kita cintai nyatanya ditakdirkan hanya berada di masa lalu, bukan untuk bersama di masa depan. "Setiap manusia akan menemukan bahagianya sendiri, pada waktu yang telah Allah tentukan," ucap Kak Prita seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN