Kerja Sama

1630 Kata
Bukankah kecewa itu perasaan yang manusiawi? Kecewa itu tidak selalu berarti benci akan ketentuan yang telah Allah gariskan. *** Siang ini matahari tidak seterik hari-hari yang lalu. Syukurlah, jadi tidak harus menahan panas dan keringat. Berulang-kali kulirik benda bulat di pergelangan tangan. Hari ini aku ada janji bertemu dengan Alfian selepas Zuhur, tepat di jam makan siang. "Sebelah mana, Neng?" tanya si supir. "Depan sedikit, Pak. Iya, di sini. Ini ongkosnya. Makasih, ya, Pak. Assalamualaikum," ujarku ramah. "Sama-sama, Neng. Wa'alaikumsallam." Di dalam Kantor POS, antrean begitu panjang. Sepertinya waktu tidak akan cukup untuk belanja, jika harus mengantre sekarang. Akhirnya aku putuskan untuk pergi belanja, sementara bayar tagihan listrik dan air biar nanti meminta bibi untuk membayarkannya. Untuk pergi belanja aku harus berjalan kaki sekitar tiga ratus meter. Beruntung, kali ini tidak terlalu banyak yang harus dibeli. Hanya perlu pergi ke satu toko saja. Biasanya harus pergi ke beberapa toko, bahkan harus pergi ke supermarket juga. "Assalamualaikum, Bu." "Eh, Neng Nisa. Wa'alaikumsallam. Mau belanja apa?" "Ini, Bu." Secarik kertas berisi daftar belanjaan telah berpindah tangan. Ini adalah toko langganan mama untuk belanja keperluan kafe. "Lan, maaf ini siapin belanjaan Neng Nisa," katanya pada seorang karyawan. "Tumben belanjaannya sedikit," senyumnya ramah. "Iya nih, Bu. Kebetulan minggu lalu Yono sudah belanja ... stoknya masih ada." "Oh, iya ... kemarin Yono yang belanja. Sore-sore, mana hujan lagi." Sembari menunggu, ibu pemilik toko mengajakku mengobrol. Kami memang sudah akrab, karena Mama sudah cukup lama menjadi langganannya. "Teh, tepung panirnya kosong. Besok baru datang barang," kata seorang karyawan sedikit berteriak. "Ya sudah tidak apa-apa. Besok kalau ada tolong kabari, biar nanti Yono yang ke sini." Tanpa memberi jawaban anak laki-laki itu pergi. Aku kembali melirik jarum jam yang terus berputar. Semua barang belanjaan sudah terkumpul. Sedang dijumlahkan oleh ibu, pemilik toko. Alfian pun baru saja mengabariku, katanya dia baru saja sampai. "Sudah?" tanyaku. "Sudah semuanya. Tinggal minyak yang belum," ujarnya sembari mengelap keringat dengan lap yang tersampir di lehernya. "Tolong bantu angkut ke mobil itu," tunjukku pada mobil sedan berwarna putih. Sebelumnya aku sudah memesan taksi online, karena mobil yang biasa digunakan untuk belanja sedang di bengkel. Beberapa hari lalu tiba-tiba mogok. Untung saja tidak sedang mengangkut barang belanjaan. Setelah berpamitan pada ibu pemilik toko tersebut, aku pergi dan langsung masuk ke dalam mobil. Sembari menunggu semua barang selesai dimasukkan, aku mencoba menghubungi Alfian. Rupanya dia sedang berada dalam panggilan lain. "Sudah semuanya?" tanyaku melongok di balik jendela. "Sudah, Teh." "Terima kasih, ya." Kuberikan sejumlah uang sebagai tip. Senyumnya mengembang saat menerima sejumlah uang yang mungkin tidak seberapa, tetapi lumayan bisa menambah penghasilannya. Usia anak itu masih sangat muda. Pertama kali mengenalnya saat ia baru saja lulus SMP. Anak itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah dan harus menjadi kuli angkut barang, dikarenakan ketiadaan biaya. Semenjak membantu bisnis milik Mama, mengharuskanku berinteraksi dengan banyak orang. Termasuk mereka-mereka dari kalangan bawah. Ternyata selama ini aku tidak pandai bersyukur. Selalu melupakan semua nikmat yang telah Allah berikan. Selalu merasa menjadi manusia paling tidak beruntung, padahal segalanya aku punya. Sementara mereka, harus bekerja keras hanya untuk bisa makan dan untuk memenuhi kebutuhannya. Kumandang azan Zuhur sudah terdengar sejak setengah jam yang lalu. Itu artinya hampir setengah jam Alfian menunggu. Jalanan ramai siang ini dan cukup padat. Kata seseorang ada kecelakaan di depan sehingga jalanan sedikit macet. Terpaksa supir harus mengambil jalan alternatif lain. Setelah melewati kemacetan akhirnya sampai juga. Aku segera turun setelah memberikan ongkosnya. Sementara barang belanjaan masih berada di dalam taksi. "Rif, tolong angkutin belanjaan ke dalam, yah," ujarku pada Syarif. "Baik, Teh." Dia lekas pergi. "Yono, bantuin Syarif," ujarku juga pada Yono. Aku masuk melalui pintu samping. Menaruh dulu tas sebelum menemui Alfian. Tak lama, segera aku menghampirinya yang tampak duduk manis dengan kemeja biru dongkernya. "Maaf, ya, Al ... jadi nunggu lama," kataku, tak enak hati. "Tidak apa-apa, Zi. Aku santai hari ini." "Aku belum salat. Kamu gak apa-apa, kan, kalau nunggu aku salat dulu?" "Silakan, Zi ... salat dulu saja." Dia kembali tersenyum, manis sekali. Tak ingin membuang waktu. Segera aku pergi. Seketika penat itu hilang. Kala air wudu membasahi wajah dan anggota wudu lainnya. Jeda sepuluh menit aku segera kembali menemui Alfian. Dia terlihat sibuk memainkan ponsel ditemani secangkir minuman yang sama, seperti yang ia pesan beberapa waktu lalu saat kami tidak sengaja bertemu. Segera aku duduk tepat di hadapannya. "Bagaimana, kamu sudah punya konsep?" Ia bertanya seraya menaruh ponsel di atas meja. "Aku bingung, sih, Al. Seleraku dan Mama kadang bertolak-belakang. Pokoknya kamu urus semuanya. Sesuai dengan yang aku bilang di telepon." Alfian menaik-turunkan kepalanya, sembari memperhatikan sekeliling ruangan. Pandangannya beredar pada setiap sisi. Aku hanya duduk dengan tangan menopang dagu. Dia berdiri dan mulai berjalan keluar. Aku bingung untuk apa ia pergi ke luar? Tanpa bertanya segera aku mengekorinya. "Menurut aku, halaman ini sayang kalau cuma dijadikan tempat parkir." Ia terus berjalan memperhatikan kafe dari luar. Matanya sibuk melihat kiri dan kanan. "Halaman ini lumayan luas, Zi. Muat untuk ditaruh beberapa meja dan kursi. Minimal tiga meja untuk dua orang dan dua meja untuk empat orang. Itu minimalnya, ya. Nanti bisa kita atur lagi polanya seperti apa. Dipastikan gak bakal ganggu tempat parkir." Dia kembali berjalan menuju taman yang terdapat berbagai jenis tanaman yang disimpan di dalam pot. Aku kembali mengekorinya sembari membayangkan setiap yang ia gambarkan. "Untuk menghemat tempat, sebaiknya pot-pot ini kita gantung. Di luar jendela nanti dipasang kanopi, biar kesannya kaya lagi di luar negeri. Untuk eksteriornya kurang lebih seperti itu, sih." Dia menatapku sekilas. Memastikan bahwa aku mengerti, kemudian kembali masuk ke dalam kafe. Aku masih mengekor, sembari menimbang-nimbang ide-nya. Akhir-akhir ini pengunjung tidak terlalu ramai. Pendapatan pun mulai menurun. Itu sebabnya beberapa waktu lalu, aku menyarankan agar Mama mengubah konsep dari kafe miliknya. Semoga saja suasana baru, bisa menarik pelanggan untuk kembali datang. Bersyukur ada Alfian yang mau membantu. Meski sebelumnya dia sempat ragu, karena seharusnya itu ditangani oleh seorang desainer interior, bukan oleh seorang arsitek seperti dirinya. Aku kembali fokus mendengar penjelasannya. Seperti murid memperhatikan guru yang sedang mengajar. "Karena sebagian furnitur yang ada di sini itu hampir semua materialnya dari kayu. Nanti kita cat ulang saja dengan warna khas kayu sedikit lebih gelap, jadi jangan warna-warni seperti ini. Kita kasih sedikit sentuhan vintage. Langit-langitnya pun kita kasih sentuhan kayu biar sedikit lebih hidup." Alfian terus memberikan penjelasan secara detail. Sementara itu aku fokus dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut laki-laki berkacamata itu. "Untuk penerangannya kita pakai lampu gantung. Jadi, lampu-lampu ini kita gantung biar bukan cuma sebagai alat penerangan bisa juga sebagai hiasan. Kalau seperti ini kesannya terlalu membosankan. Ngomong-ngomong kamu suka baca?" Dia bertanya di akhir kalimat. "Mmm ... lumayan sih, Al." "Bagaimana kalau rak yang isinya hiasan yang menurutku kurang penting itu diisi dengan buku-buku. Sisanya kita tambahin lemari tempel atau tempat penyimpanan buku yang lain di beberapa sudut ruangan. Yah, konsepnya kita bikin semacam library cafe gitu. Kalau biasanya orang datang ke kafe cuma untuk nongkrong, makan, ngobrol, selfi dan lainnya. Buat yang hobi baca mereka bisa lebih nikmatin suasananya. Ngopi sambil baca. Apalagi ini lokasinya dekat dengan kampus," katanya, berkeliling. "Apa nantinya tidak akan over budget? Otomatis 'kan nanti harus beli seenggaknya banyak buku." Aku sedikit ragu, mengingat saat ini pendapatan kafe tidak seperti dulu. "Zi ... kita bisa cari beberapa buku bekas yang berkualitas. Ini ruangan, dasarnya sudah luas. Ditambah efek dari dinding kaca yang membuat ruangan semakin tampak luas. Sayang kalau hanya dipakai untuk menyimpan hiasan yang tidak ada fungsinya." Usai semua pendapat dia utarakan, kami kembali duduk dan mengobrol. Sungguh, dia membuatku kagum. Tidak disangka dia begitu enak diajak berdiskusi. "Kamu nanti ikut, 'kan?" tanyanya tiba-tiba. "Ikut apa?" Aku balas bertanya, sedikit bingung. "Reuni, Zi." "Mmm ... aku tidak bisa janji, Al," jawabku tersenyum samar. Aku melihat Alfian tampak mengerutkan kening, dengan satu alis terangkat. Seolah raut wajahnya meminta penjelasan. Langsung saja aku menunduk. Berharap dia tidak menanyakan alasanku atau meminta kepastian. "Kenapa?" Aku menghela napas. Dia bertanya juga. Membuatku bingung harus menjawab apa. Aku tidak ingin mencari alasan, lalu berbohong. Namun, tidak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya. "Zi." Aku menggeleng dan tersenyum tipis. Alfian melayangkan tatapan seriusnya. Jantungku jadi tidak beraturan. Tatapannya itu penuh dengan selidik. "Bukan karena Reno dan Melisa, 'kan?" Mendengar nama itu dadaku langsung sesak. Kenapa harus bertanya itu? Apa dia tidak ada pertanyaan lain? Tidak perlu ditanya lagi, rasanya jelas menyakitkan saat tahu seorang yang pernah mengisi hati ini akan menikah dengan sahabat sendiri, apalagi aku pernah berharap suatu hari akan bertemu dengannya dan bisa kembali memulai segalanya dari awal. "Zi ...." Aku spontan menatapnya kaget. "Kenapa, Al?" "Bukan karena Reno dan Melisa, 'kan?" Dia kembali mengulang pertanyaannya. Rasanya aku mulai terpojok. Pertanyaan yang tidak pernah ingin kudengar, tetapi terdengar juga. Aku menatapnya dalam waktu yang lama. Alfian juga. Tidak mudah berusaha untuk berkamuflase di hadapan semua orang, karena tidak semua orang mudah untuk percaya. Seperti Alfian misalnya. "Bukan, Al. Semua sudah Allah tentukan. Termasuk aku yang pernah menjadi bagian dari hidup mereka." "Aku melihat ada kekecewaan di matamu." "Bukankah kecewa itu perasaan yang manusiawi? Bagaimanapun aku sempat menjadi bagian dari hidup mereka. Kecewa itu tidak selalu berarti benci akan ketentuan yang telah Allah gariskan. Aku bahagia atas kabar baik mereka," ucapku lalu tersenyum. Munafik sekali aku ini. Berlagak ikhlas, padahal dalam hati aku masih tidak rela. "Aku salut sama kamu, Zi. Kamu hebat," katanya dengan tersenyum. Senyumku tipis. Dia bilang aku hebat? Tidak. Dia hanya tidak bisa melihat seperti apa hancurnya hati ini. Alfian ternyata masih menatapku. Dia seperti masih belum yakin. Namun, bersyukur dia tidak memperpanjang obrolan. Alfian beranjak dan langsung pamit. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia menoleh kembali ke arahku. "Aku harap kamu bisa ikut berpartisipasi dalam acara reuni itu, Zi." Laki-laki itu kembali melanjutkan langkahnya. Sementara aku hanya bisa mematung tanpa merespons.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN