bc

Lampu Terang Ibu Kota

book_age18+
1
IKUTI
1K
BACA
age gap
curse
tragedy
city
like
intro-logo
Uraian

Sinopsis:

Lili (pengemis kecil) diselamatkan Leo (malaikat) dari aksi pencabulan om-om asing di pinggir jalan. Setahun kemudian, Leo mengajak Lili ke pusat ibu kota. Di pusat ibu kota, Lili mendapat ayah angkat sekaligus hiruk pikul hidup karena dijadikan b***k s(e)ks oleh ayah angkatnya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bertemu Malaikat
Malam hari ... Ah ... huh, apa yang terjadi padaku? "Nak, biarkan Om meraba sekali saja." “Jangan ganggu saya, Om!" Malam menjadi dingin saat lampu terang menghiasi jalan raya, aku beranjak dari tumpukan kasur kardusku. Menghindar dari pria c(a)bul bertubuh kekar dengan tato aneh, hitam, dan menakutkan, memenuhi sekujur lengannya. Menapakkan telapak kaki dekil dan berlari di sepanjang jalan berbata merah muda, Hingga menabrak tiang rambu lalu lintas yang menepi di pinggir jalan. Mobil tetap melaju kencang, begitu pula kendaraan roda dua. Tak satu pun pengemudi menghentikan kendaraannya, untuk sekadar menolong, untuk sekedar menyelamatkan. Hingga akhirnya, aku terpaksa menyerahkan diriku ke ramainya tengah jalan raya. Hampir bahkan nyaris saja diriku tertabrak. Namun, mobil hitam mengkilap seperti baru selesai dicuci. Mobil raksasa, megah nan mewah, berhenti tepat di hadapanku. Gelagapan telah memenuhi hatiku saat melihat mobil semewah itu. Namun nyatanya, aku lebih gelagapan menatap pria c(a)bul itu, yang sedari tadi mencoba menyentuhku, sedari tadi mencoba menyeluk ke pakaian dalamku. Mencoba untuk meraih apa yang ada di balik celanaku, saat aku tertidur di pinggir jalan tadi. Pria c(a)bul yang kekar itu, mendekatiku lagi lalu kembali membelai pakaian sobek-sobekku. “Pergi!” Aku berteriak, merintih. Mata tak sanggup untuk terbuka, aku terjebak di tengah keramaian ibu kota yang tak pernah kuharapkan. “Pergi!” teriakku sekali lagi, meneriaki pria c***l itu. Teriakanku seakan kaset rusak yang terus terngiang di telinga, beriringan sinar kedap-kedip rambu lalu lintas, juga suara pintu mobil terbuka. Suara klakson mobil mengambil alih, memenuhi kebisingan jalan raya yang disebabkan oleh aksi mematungku hingga menghasilkan kemacetan, tetapi hanya satu suara yang sangat jelas kudengar, yaitu suara ketukan sepatu yang sangat keras, sampai-sampai ketukan itu bersemi di d**a yang berdebar kencang. Tubuh kekar, lebih kekar dari pria c***l di hadapanku, sepertinya baru saja keluar dari mobil tadi, dengan suara ketukan sepatu yang terhenti, tubuh kekar yang tak kulihat wujudnya, dengan sentuhan lembutnya merangkulku dari belakang. “Apa yang kau lakukan pada anak kecil?” suara berat maskulinnya lebih mendominasi di telinga. Bulu mata yang berair menutupi pandanganku saat aku mencoba untuk menyaksikan situasi secara pelan atau dengan istilah pelannya ‘mengintip’ melalui sela-sela kelopak mata. Kusaksikan, pria c***l di hadapanku yang tadinya menyentuh pakaian berlubangku langsung urung diri, melipat tangannya juga menengok kanan-kiri sembari berdeham. Lantas, tanpa hitungan detik, pria c***l itu langsung kabur menyusuri lurusnya trotoar. “Kejar pria itu,” ucap suara maskulin itu lagi. Puluhan pria gagah dengan seragam serba hitam, menyerbu pria c***l itu. Entah perasaan apa menghampiriku, keringat memenuhi kening, saliva tak tertahankan, masih dengan degup jantung yang sangat kencang di d**a. “Kamu tidak apa-apa, Dik?” tanya suara maskulin itu lagi saat tangan hangatnya mengelus punggungku yang amat dingin. Aku pun mengejap-kejapkan mata, menyadarkan diriku bahwa aksi pencabulan pria c***l itu telah usai. Berbaliklah diriku karena ingin mengucapkan rasa amat syukur pada malaikat penyelamatku ini. Dia, siapa pun itu, aku sangat berterima kasih padanya. Dia seperti malaikat, bidadari, atau peri yang baru saja menyelamatkan diriku yang hampir setiap hari mendapat aksi senonoh dari pria c***l. Beruntung sekali ada dia yang bagaikan malaikat. Aku harap aku bisa berlari dan memeluk malaikatku ini karena akhirnya aku terbebas dari salah satu pria c***l di jalan raya. “Tidak apa-apa, terima kasih banyak,” ucapku seraya menunduk-nunduk pada sosok malaikat yang belum kulihat wujudnya. “Kamu tak perlu berterima kasih seperti itu,” ucap suara maskulin itu lalu terkekeh hingga membuatku mendongakkan kepala. Terlihatlah wajah pria di hadapanku, dengan seringai hebat menghias rupanya, alis tebal yang terangkat di atas matanya, dan gigi-gigi yang bersinar putih seakan telah tergosok per sekian 15 detik saking mengilatnya. Aku pun ikut tersenyum lebar. “Iya, aku sangat-sangat berterima kasih banyak sebanyak-banyaknya,” ucapku kembali lalu menampilkan senyum gigi lebar khusus untuknya. “Iya, iya ... aku tahu,” ucapnya lalu kembali terkekeh sambil menggenggam telapak tanganku yang dingin. Saat tangan hangatnya meraih tanganku, kuselipkan ibu jari ke punggung tangannya. “Di mana rumahmu?” tanya pria yang sedang menggenggam tanganku ini, dengan nada penasarannya. “Di sana,” tunjukku. Jariku menunjuk tumpukan kasur kardusku yang masih berserakan di pinggir jalan. “Sebenarnya bukan di sana ... aku hanya tertidur di sana, itu rumah sementara waktu,” ucapku dengan gembira sambil mengeratkan genggaman. Aku sangat gembira karena bertemu dengannya. Betapa berharganya pertemuanku, dipertemukan dengan orang baik yang masih bersedia mengulurkan tangan saat berseliweran di jalan raya. Ini kali pertamaku menemukan malaikat sepertinya di tengah kerumunan ibu kota. Tanganku ditarik olehnya saat dirinya melangkah ke pinggir jalan. Aku pun menunjuk mobil mewahnya. “Bagaimana dengan mobilmu,” tanyaku, masih menunjuk mobil mewah nan megah, yang menjadi salah satu penyebab kemacetan jalan raya. “Entahlah ...,” ucapnya lalu menunduk mendekatiku. “Itu mobil ayahku, ayahku yang mengurusnya,” bisiknya ke telingaku. Pria itu kembali tersenyum menatapku seraya kembali berjalan di pinggir jalan, senyuman menyejukkan itu membuatku tambah semangat, berjalan seperti meloncat-loncat hanya untuk mengikutinya. Tak pernah sekali pun seseorang memberiku sebuah senyuman. Biasanya, aku hanya melihat keruwetan hidup dari raut-raut pengemudi atau pun penyeberang jalan. Senyumannya seolah mengajakku untuk ikut tersenyum dan aku pun tersenyum gembira membalas senyumannya. “Hei! ini rumah sementaraku!” ucapku, aku berhenti di dekat tumpukan kasur kardusku. Bukannya berhenti, ia malah tetap melangkahi kasurku, aku pun menarik genggamannya. “Lalu di mana rumahmu?” tanyanya sambil berdeham, kemudian menoleh sambil merapikan kerah. “Di dekat pohon?” jawabku dengan nada bertanya seraya mengangkat bahu karena aku sendiri masih bingung apakah tempat itu bisa disebut rumah. Aku pun duduk di tumpukan kardus yang berserakan. “Kamu sendirian ... apakah orang tuamu masih ada?” tanyanya kembali dengan lambat. Ucapannya sedikit menyinggungku. “Hei ... orang tuaku masih ada. Mereka lengkap, ibu dan bapakku masih sibuk mencari sambal tomat dan sisa nasi bungkus di tong sampah, bentar lagi mereka pasti menghampiriku!” sahutku dengan nada agak kesal. Aku terus menarik genggamannya agar duduk di sampingku. Ia pun duduk di sampingku setelah merapikan setelan hitam-hitamnya. “Aku di pinggir jalan hanya numpang duduk dan bernanyi saja ... tidak lebih, tapi setiap hari dan setiap orang melemparkan koin-koin tak berharga dengan tampang angkuh. Aku bahkan tak butuh 100 koin itu. Bisa dibelikan apa? cabai saja tidak akan dapat,” ucapku ingin bergurau walau aku sendiri tahu betapa berartinya koin-koin itu bagi orang tuaku. Ia bergeming, tak bergerak, hanya menatap mobil mewahnya yang mulai terangkut ke pinggir jalan. Sepeda motor pun kembali melaju, kedip lampu rambu lalu lintas kembali menghentikan jalan raya yang sesaat bergerak pesat. Pria yang duduk di sebelahku ini, yang baru saja menyelamatkanku, yang rela duduk di atas tumpukan kardus, ia menoleh padaku dan berkata, “Kamu ingin uang yang banyak?” tanyanya, dengan seringai. “Jika kamu ingin uang yang banyak ... tunggu aku di sini. Besok aku akan mengajakmu jalan-jalan dengan mobil ayahku,” ucapnya dengan gembira. Aku juga ikut gembira lalu lampu jalan di belakangnya mengambil perhatianku. Aku pun membandingkan lampu terang itu dengan dirinya. Dirinya sama seperti lampu itu. Kalau lampu itu terang benderang menerangi jalan. Kalau dia, sepertinya dia akan menerangi kehidupan takdir pengemis yang tak bisa kutolak, takdir yang membiasakanku hidup tanpa sercecah perak, takdir yang membuatku mulai tertarik padanya karena ajakan jalan-jalan dan uangnya. Mungkin pria berseragam serba hitam dengan tubuh bidang itu, pria yang tadinya duduk di sebelahku walau sekarang sudah berjalan ke mobil mewahnya, mungkin pria itu akan menarik anak kecil sepertiku keluar dari takdir menyedihkan, memalukan di pinggir jalan yang dikelilingi lampu terang ibukota. Aku hanya perempuan berusia 15 tahun, aku tak tahu apa yang akan terjadi esok, tak sabar menunggu esok dan esok harinya lagi, menanti dirinya, yang sudah melaju kencang dengan mobilnya, menanti dirinya, yaitu pria kisaran 30 tahun itu, untuk kembali dengan seringai gigi yang sangat putih dan terang seterang lampu ibukota. Aku hanya tersenyum lebar menatap kepergian mobil mewah itu, mobil mewah milik malaikatku. Malaikat yang tak kuketahui asal usul dan alasannya menjadi seorang malaikat untukku seorang.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.5K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.8K
bc

TERNODA

read
198.2K
bc

Troublemaker Secret Agent

read
58.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.3K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook