Bab 4 : Selangkah Lebih Dekat [Flashback Bagian II]

3210 Kata
Saif Ali bagaikan sebuah virion berbahaya, atau satu unit lengkap virus-virus yang dapat menginfeksi makhluk hidup. Karenanya Nobelia ingin menjadi Wendell Meredith Stanley dalam satu jam saja, agar ia bisa mengisolasi dan mengkristalkan virus tersebut. Biar tidak mengendap di dalam tubuhnya, lantas merusak syaraf. Setidaknya jika Saif belum meresahkan, dia boleh dibilang provirus—atau bakal calon sebuah virus, jangan biarkan bibitnya bereproduksi mengalami progress signifikan. Bisa-bisa Nobelia cepat sekarat karenanya. Gadis itu sulit menemukan alasan mengapa ia tega menyamaratakan Saif dengan parasit, selain karena ditikam oleh rasa takut akan satu intimidasi. Sebab semenjak Nobelia siuman, Saif sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda hendak menegurnya. Saif sekali lagi menominasikan dirinya sebagai campuran kimia yang gagal bereaksi. Pria itu duduk diam mengawasinya di muka tenda yang dibiarkan terbuka. Nobelia hanya bisa bergerak canggung di dalam balutan selimut. “Eh—jam berapa sekarang kira-kira, ya? Apa aku tidak sadarkan diri begitu lama?” Dengan kikuk, Nobelia meraba bahu kanan atasnya yang dikompres air hangat. Tapi itikad baiknya tidak disahuti. Lama-lama di posisi itu, Saif makin kurang ajar dengan mengklaim diri sebagai pemilik lokus paling mengerikan di muka bumi ini, berdarah panas dingin sekaligus. Lagaknya itu sengaja benar membuat sekujur tubuh Nobelia jadi terlihat seperti seorang penderita malnutrisi di hadapan lelaki itu. “Yang lain—di mana?” Ah bodohnya pertanyaannya itu, suara rombongan para pendaki jelas-jelas terdengar tengah berbincang di luar tenda sana. Dan sekali lagi, Saif tak berbaik hati memberi jawaban pada Nobelia. Boleh tidak Nobelia berubah menjadi lisozim sekarang juga? Anu, enzim penghancur pada virus itu, lho. Dia berharap akan mematikan sel-selnya yang kini berkembang di kornea mata Saif Ali. Ya Allah, ternyata sisi lain pemuda itu mencengangkan sekali. Tidak terbayangkan sosok genit tukang gombalnya berubah jadi seseram Dracula. “Apa kamu tidak bisa ganti ekspresi? Aku jadi takut tahu!” Cicit Nobelia, nyaris menyerah pada konfrontasi dingin mereka. Ibarat cold war—Saif adalah haluan kanan, dan Nobelia tak mau jadi sayap kirinya. “Aku mau nangis nih—tolong katakan sepatah kata saja.” Ada cairan menembus aquerous humoranya hingga tak lagi berfungsi normal membias sinar ke mata. Nobelia jadi cengeng di hadapan Saif. Lalu Saif pun membuka mulutnya, “Sudah menyadari kesalahanmu?” Suaranya itu mungkin ditimba dari kedalaman Neraka Wail, tak ada jenaka lagi tersisa di sana. Sumpah, Nobelia ingin kabur saja dari biosfer, lalu menyembunyikan diri di dalam konstelasi Auriga. Agar ia bisa menunggangi Pegasus, menjauh dari Saif supaya tidak pernah bisa diketemukan lagi. “Dasar gadis keras kepala. Ceroboh. Aku pikir kamu memahami dirimu sendiri. Cermat dan penuh perhitungan sebagai manusia normal. Tapi ternyata penilaianku salah. Aku melihatmu sebagai sebuah ironi sekarang.” Bibirnya bergerak minimalis, jadi, Nobelia sedang dihakimi? Nobelia menyipitkan mata, Saif boleh memerlihatkan arogansinya, namun bukan berarti pria itu bebas mengatakan apapun tentangnya, “Aku pikir, kamu tidak punya kapasitas sebesar itu untuk bicara omong kosong tentangku. Kamu tak tahu apa-apa!” Nobelia tersinggung, 100 persen tersinggung. Ugh, kalau dilahirkan pragmatis hanya untuk bebas mendzalimi perasaan orang lain, lebih baik jika si Saif itu cepat enyah saja ke planet Mars. “Aku tidak berhak mencemooh kepalamu yang sekeras kulit naga itu?” Saif menggores labiumnya sendiri dengan ibu jari, dan menurut Nobelia gerakan itu amat provokatif. “Aku punya hak untuk itu, gadis kecil. Sebab kamu mempersulit banyak orang dengan pola pikirmu yang kekanakan, kamu menghambat tujuan kami karena terlalu egois mementingkan kepuasan diri sendiri.” “Cukup!” Suara Nobelia meninggi. “Kamu membuat aku berpikir ke segala arah. Apa yang coba kamu persalahkan sih sebetulnya? Kalau kamu tak suka menolongku, kenapa harus kamu lakukan? Yang terjadi beberapa jam lalu adalah kecelakaan. Apa semuanya salahku sampai kamu mendesakku seperti ini?” d**a Nobelia bergemuruh, naik turun, Saif sukses menggores sisi sensitifnya sebagai perempuan yang dikenal baper. “Lagipula, apa yang kamu tahu tentangku? Nothing!“ Tidak terganggu oleh emosi Nobelia, Saif membuka sebuah fakta baru, “Sejak kapan kamu menderita cedera Rotator Cuff Tear?” Pria itu menukas. “Robeknya tendon otot bahumu itu, sejak kapan kamu mengidapnya dan tidak katakan pada kamu sejak?” Saif menyambung, tapi ekspresinya masih sekeras tongkat baseball. Nobelia mengerjap, mengcapture apa saja yang melintasi otak, “Apa harus kukatakan padamu? Aku rasa—” Kedua telapak Saif mengepal, “Setidaknya beritahu Bowo! Atau Topan, atau—” Saif kehilangan kendali terhadap kemarahannya sendiri. “Astagfirullah! Apa yang ada di dalam kepalamu?!” Pemuda itu menyugar helaian rambutnya, tidak habis pikir mengapa gadis bernama Nobelia ini sampai hati mengabaikan kesehatannya. Sumpah, gadis itu kini mengalami cedera supraspinatus yang tidak bisa disepelekan! Nobelia diam ketika Saif beristighfar. Tahu kalau ia kalah telak. Di lain sisi, ketegangan wajah Saif perlahan memudar. Laki-laki itu berdiri, mengurai langkah mendekat lantas jongkok di samping Nobelia, “Bahumu kesakitan, aku sangat heran kenapa kamu tidak menyadari hal itu. Dengar aku sekarang, satu-satunya alasanku untuk marah adalah karena aku begitu tidak suka melihatmu bersandiwara.” Saif mencoba memahami Nobelia lewat kontak mata mereka. Sejak Saif memandang manik itu di puncak Prau dulu, sejujurnya dia telah terpikat. “Jadi, selama ini kamu berpura-pura baik-baik saja? Itu sangat menggangguku, Nobelia.” Hening menyapa beberapa saat. Tanpa permisi, Saif pun meraih lengan kanan Nobelia lagi, untuk menempatkan kembali handuk panas yang sudah diperas. “Walaupun tidak terlalu berpengaruh, tapi pemberian kompres air panas dianjurkan untuk mengurangi peradangan serta nyeri yang terjadi pada proses akut.” Lelaki itu membuka gulungan perban yang elastis, mengaplikasikannya dengan penggunaan arm sling yang sudah disesuaikan ukurannya pada lengan Nobelia. “Sewaktu tendon rotator cuff robek, tendonmu tidak lagi sepenuhnya menempel pada tulang humerus bagian atas (caput humerus), dan juga bursa tersebut akan mengalami peradangan. Barangkali, selama ini kamu sering melakukan gerakan overhead. Bahumu jadi melemah dan terasa nyeri, iya kan?” Pertanyaan itu pun menggantung di langit-langit tenda mereka, suara binatang malam, juga petualang yang melakukan pendakian pukul tujuh malam ramai-ramai mengisi keheningan gunung. Nobelia menekan-nekan handuk di bahunya, tertarik pada aktivitas Saif yang cekatan. “Kenapa kamu bisa tahu semuanya? Sebetulnya kamu siapa?” Nobelia penasaran mengapa prediksi pemuda itu—ah bukan, analisisnya, begitu akurat. “I am a doctor.” Jawab Saif. “Masa?” Nobelia sangsi. “Mau kubuktikan? Yakin kamu mempan pesonaku?” Heleh! Ruh tukang gombal plus narsisnya kembali lagi tuh. Nobelia tak tahan untuk tidak memutar kedua bola mata sekarang, lalu menggerutu dalam hati, bisa-bisanya ia bertemu sama cowok macam Saif. “Apa susahnya menjawab? Lagian tidak susah, cuman menjelaskan siapa kamu doang,” bibir delimanya mengerucut lucu, minta dicubit dan dikuncir—pakai bibir lagi. Saif dengan intens mengamati, terkekeh panjang atas pemikirannya sendiri. “Orang tuaku dokter militer.” Saif menggumam amat santai, melukis kejutan di wajah Nobelia. “Ayahku berada di bagian Kostrad, Sp.OT—sedangkan Ibu bergabung bersama Pasukan Garuda.” Pancaran kejujuran di kedua belah mata Saif memaksa Nobelia yang sebelumnya sangsi, jadi percaya. “Oh, jadi kamu juga mengikuti jejak mereka?” “Belum.” Saif tersenyum. “Baru minggu depan aku akan dikirim ke kawah Chandra Dimuka, Akmil Magelang.” “Wh—what, OMG! Ternyata kamu ini calon perwira karir! Tsk, tsk, tsk, sungguh dunia yang penuh dengan keanehan.” Nobelia menggeleng-gelengkan kepala sembari menilai Saif atas bawah. Sayangnya ia tak menemukan satu pun kekurangan fisik di sana. Saif memang tanpa cela dalam segi tersebut. Ganteng maksudnya? Nobelia tidak mau mengakuinya secara gamblang. “Kalau tidak salah tujuh bulan? Maksudku pendidikanmu secara disiplin militer itu.” “Ternyata kamu tahu banyak,” Saif mengambil lengan Nobelia lagi untuk menyingkirkan kompres hangatnya. Telaten memasang kain elastis memutar di sepanjang bahu sampai batas telapak tangan gadis itu. “Militer bukan hal yang asing untukku, karena keluargaku hhhhh—” Nobelia mengerem napasnya dengan mendadak. Sumpah! Saif begitu dekat dengannya kini seperti telunjuk dan jari tengah. Wajah pemuda itu ada di samping lehernya, hidup, mengeluarkan napas hangat. Agaknya tengah fokus memasang arm sling hingga tak menyadari jika gadis yang sedang “dipeluknya” itu tidak lagi bernapas sejak lima menit lalu. Oh. Fougere Aromatic tercium manis dari tubuh pemuda itu, membawa karakter spicy yang cowok sekali. Cocok untuk seseorang yang menjunjung tinggi sportifitas. Ya, gadis itu menikmati aroma yang menyihirnya, dan seketika, inderanya lumpuh total. Hati serta pikirannya tidak sinkron. Saif amat berbeda. Aroma khasnya dibuka lavender, yang padu bersama jeruk mandarin, lalu terdapat bergamot dan lemon. Kemudian terasa aroma ketumbar, ily, orange blossom, buah juniper, lily of the valley dan geranium. Lalu meninggalkan jejak-jejak wangi cendana, amber, musk, vetiver dan brazillian rosewood di akhir penciuman yang membekas. Nobelia berani menyebut pria itu sebagai objek menyesatkan, dan kata-katanya pun ikut tersesat, “Kamu seperti wangi surga.” Ah—FIX, Nobelia pasti dihipnotis. Gadis itu lantas mengerjapkan mata. Tiba-tiba saja telah bertatapan dengan sepasang mata Saif kembali, Nobelia yang terserang brainless, bertanya-tanya bagian syarafnya yang mana yang sudah mati fungsi karena pria itu. Saif tetiba berbisik, “Tutup bibirmu sekarang juga, atau kamu bakal merasakan ciuman pertama di usiamu yang ke-16 tahun.” Apa? Ciuman apa? Otak Nobelia berslowmotion ria. “Bukan ciuman biasa, tapi—french kiss.” Di Prancis? Nobelia mencerna dengan ke-12 ususnya. Saif makin serius saat bicara, “Kuperingatkan sekali lagi, Nobelia. Kamu mau dilumat habis-habisan, ya?” Dilumat, dilum—oh s**t! Nobelia menangkupkan telapak tangannya yang bebas di mulut. Keningnya berkerat menggemaskan, minta disentil dan dikecup sampai kapok, agar tak lagi menggoda lelaki bujang lewat tingkah lugunya. Dan samar-samar, gerutuan lucu gadis iru pun dicuri dengar oleh telinga Saif. Senyum bulan sabit muncul di bibir pria itu. Bagai pesona hipotesis bintang kembar, menurut Nobelia. Benar deh, begini kronologinya. Senyum itu berisi ia serta Saif yang merupakan dua bintang berukuran yang hampir sama, lalu mereka saling berdekatan—yang salah satu meledak meninggalkan serpih-serpih kecil. Nobelialah serpihan yang memusnahkan dirinya itu, lantas ia terperangkap oleh gravitasi bintang yang sekejap lalu tak ikut meledak—Saif, dan dengan bodoh ia yang terpecah mulai mengelilingi Saif. Saif nyeletuk, “Tadi, aku memang benar-benar ingin menciummu. Tapi aku sadar, perlu banyak langkah agar aku bisa mendapatkannya dengan cara yang terhormat.” “Contohnya?” Stupid, woman! Nobelia sekarang tengah merutuki kelenturan mulutnya sendiri. Dan Saif menjawabnya dengan yakin, “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkuur halaan.” Suara itu seperti jenis Lysergic Acid Diethylamide—atau sebuah zat halusinogen. Yang dapat menyebabkan timbulnya halusinasi. Nobelia, adalah salah satu penikmat zatnya, mampu melihat dan mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak riil. “Baru kucium kamu sampai lemas.” Tutup Saif. “Dalam mimpimu!” Sembur Nobelia, mata bulatnya melotot. Saif bak Woody Woodpacker yang tak habis-habisnya mengumbar tawa. Ada kesenangan tersendiri ketika Nobelia menjengkel karena ulahnya. Saif masih sempat membetulkan arm slingnya di bagian siku, “Gadis Daisy, Ibnu Qudamah rahimahullah pernah berkata bahwa kaum salaf terdahulu merasa senang bila ada orang yang mengingatkan kesalahan mereka. Sedangkan kita di zaman ini, yang paling kita benci adalah orang yang mengingatkan kita pada kesalahan kita.” Saif memberi sebuah jeda, menyentil sudut hati Nobelia. “Hal ini yang menunjukkan tanda lemahnya iman manusia, sebagaimana yang telah tertulis pada Mukhtashar Minhajul Qhasidin.” “Itulah yang dinamakan sebagai sebuah fenomena evolusi, kritikan yang membangun malah dianggap sebagai ajang mencari-cari kesalahan, bahkan dicap sebagai sarana pemecah belah. Seakan orang bebas melakukan apa yang ia pandang baik, padahal kebaikan adalah yang dipandang oleh syariat. Seorang manusia yang ikhlas lebih mementingkan kebenaran daripada harga dirinya. Seseorang yang berjiwa taslim segera rujuk dari kesalahannya. Ia justru menerima kritikan dengan jiwa yang lapang. Dadanya tidak merasa panas menerimanya, namun ia malahan mendoakan orang yang mengingatkannya.” Saif mengakhiri penjelasannya dengan—begitu indah. Aneh, saat percakapan mereka itu melesat-lesat seperti kereta listrik, begitu mudahnya mereka mengganti topik pembicaraan. “Kamu—mengkritisiku?” Nobelia berbisik. Saif berdiri, siluetnya yang memantul mengisi tenda nampak agung dan kokoh. Pria itu menyugar rambut hitamnya ke belakang kepala, berlama-lama mengusap bagian tengkuk. “Tidak. Hanya lain waktu, aku ingin melihatmu makin manis ketika kamu hanya perlu mengangguk mendengar orang lain mengingatkanmu.” Sikap Saif memancarkan reaksi sebuah amfetamin. Stimulan yang merangsang sistem syaraf pusat di tubuh Nobelia menjadi bekerja lebih cepat. Tatapan pemuda itu mengaburkan akal, “Luluhkan hatinya untukku, sebagaimana Kau telah meluluhkan besi untuk Daud alaihissalam, karena sungguh dia takkan berbicara kecuali segala yang lahir dari Izin-Mu. Ubun-ubunnya dalam genggaman-Mu, dan hatinya di atas garis TanganMu, untuk kemudian dilabuhkan kepadaku.” YA? Seolah membaca kebingunan Nobelia, Saif mengulas senyum tipis, “Sebuah mantera, untuk mengikatmu suatu hari nanti.” YA? Saif mengayunkan lengannya ke saku, “Buat aku jatuh hati lebih dalam padamu.” Dan tiba-tiba, dunia ini dipenuhi oleh tanda tanya yang amat besar. Namun jawabnya menghilang bersama sosok pria itu. Nobelia terhenyak dalam sunyi malam. Lantas kedatangan Hilary yang ceria mengaburkan semuanya. *** “Sudah shalat maghrib?” Rasanya aneh mendengar pertanyaan itu, “Eh, maksudku sudah mengqadanya?” Nobelia mengangguk, menyeruput pelan-pelan kopi panas dari tutup termos. Terpaksa menggunakan tangan kiri. “Sudah kok—digabungkan dengan isya,” Gadis itu menjawab pendek, betah menerawang ke kejauhan sana. Titik fokus yang juga dicari Pandjie, hamparan kabut tipis yang mengambang di udara. “Apa kamu baik-baik saja?” “Tentu, eh—selain bahu saja sih,” Nobelia meringis ketika mengedikkan bahu, lupa kalau bagian itu terasa sakit jika ia gerakkan mendadak. “Aku kira, aku bakal mengalami cedera parah akibat terjatuh dari tempat yang tinggi. Tapi Allah menyelamatkanku lewat keteguhan makhluknya.” Sesuatu yang terselip di dalamnya mungkin membangkitkan sebuah rasa cemburu. Cemburu yang terasakan oleh Pandjie, misalnya? Nobelia melirik Pandjie, mengingat-ingat sejauh mana ia mengenal cowok itu. Kalau tak salah mengkalkulasikan sepertinya sejak SMP. Pandjie bukan cowok dingin yang kadar kedinginannya mengalahkan kulkas tiga pintu, kok. Pandjie membangun tembok 10 meter antara dirinya dan dunia di luar sana. Close book, perlu dipelajari lebih serius kalau ingin tahu banyak hal tentang dia. Ada apa sih dengan banyaknya garis kesenduan di wajahnya itu?  Nobelia tergerak ingin menyentuh apapun itu sisi misterius Pandjie. “Kamu sudah membuat planning sehabis lulus sekolah nanti?” Nobelia tiba-tiba bertanya. “Entah, mungkin—melanjutkan study ke Jepang.” Kali itu Pandjie dengan cepat bergumam, pupil matanya menyipit memandang rindang pepohonan yang dibungkus oleh gulita itu. “Bukan rencana yang matang memang, tapi aku tidak mau membiarkannya mengalir seperti air. Sebab, air selalu jatuh ke tempat yang lebih rendah.” Hening sejenak, pagar-pagar yang membatasi, yang terbuat dari susunan bambu berbunyi nyaring ketika Pandjie mengetuk-ngetukkan jemarinya. “Kamu sendiri bagaimana?” “Aku?” Nobelia tertawa pendek. “Aku pasti lakukan apa yang ingin kulakukan, aku bukan tipe perempuan yang melakukan apa yang dibebankan oleh orang lain. You know I mean. Aku berharap bisa menghabiskan waktu buat belajar dari alam dan unsur-unsur yang memenuhinya.” Gadis itu mereguk kopi, tak sempat menoleh pada Pandjie yang kini menahan cekikikan. “Kamu kan Cnidaria air laut, yang hidupnya secara berkoloni.” Cowok itu pun nyeletuk. “Tsk, itu Obelia.” Nobelia memberengut kesal, bibir bawahnya longsor sesenti. Payah dalam eksak bukan berarti ia buta Biologi. Yang dimaksud Pandjie itu, lho—kelasnya hydrozoa yang tinggal pada kerangka bercabang sebagai polip individu. Makhluk yang biasanya ditemukan di semua habitat laut kecuali laut tinggi Arktik dan Antartika. “Berarti kamu juga mengatai aku punya jaring saraf sederhana tanpa otak atau ganglia, dong?” Ternyata, Pandjie juga bisa menyebalkan, ya? Pandjie tertawa, tawanya hangat seperti nyala api unggun, “Obelia tak tinggal di laut dalam, ia memiliki struktur tubuh yang sederhana dengan dua lapisan jaringan sejati; yaitu epidermis dan gastrodermis. Lapisan seperti jeli yang disebut mesoglea di antara dua lapisan tersebut. Mereka memiliki sistem pencernaan tidak lengkap dengan satu lubang yang kerap digunakan untuk konsumsi makanan dan mengusir limbah.” “Huh, mudah banget menertawai orang. Nggak tahu kalau perempuan itu super sensitif?” Kesal Nobelia. “Apa lagi persamaannya denganmu selain nama kalian hampir sama?” Pandjie pura-pura berpikir, abai pada kebetean Nobelia. “Oh ya, begini nih; Obelia tidak hidup di laut yang super dalam, kamu juga. Kalian sama-sama ekstrovert, dan suka membaur bersama lingkungan, koloni, teman, serta sahabat.” Pandjie tersenyum kala Nobelia meliriknya. Tahu jika gadis itu amat penasaran. “Obelia punya struktur tubuh sederhana; kamu juga, dua lapisan itu sejatinya sisi baik, dan sisi buruk. Yang berada di mesoglea atau hati, baik dan buruk itu diproses di sana, dan semua itu tergantung kamu mau memilih mana yang ingin ditunjukkan.” Pandjie menumpukan bobot tubuh ke pagar bambu, menghirup aroma malam. “Lalu pencernaan yang tidak lengkap, yang digunakan buat mengkonsumsi dan mengusir limbah berbahaya. Obelia atau kamu, kita semua ini adalah makhluk hidup yang tak sempurna, kita punya kecacatan. Tapi kamu menggunakan ketidaksempurnaan yang dimiliki manusia itu dengan baik, juga mampu memilah dan mengusir hal-hal buruk yang nantinya berdampak tidak bagus bagi dirimu. Dengan kata lain, kamu punya pertahanan diri.” Begitulan penjelasan dari Pandjie. Gemuruh angin melewati kini mereka, mengibarkan phasmina Nobelia yang jatuh dari pundaknya dengan cukup nakal, “Aku merasa tidak pantas kamu umpamakan dengan cara seperti itu.” Nobelia mengambil oksigen, dan baru ia sadari bahwa bukan hanya bau malam yang ikut terhirup. Tapi juga wangi Kharisma Pandjie. Berbeda dengan Saif, Pandjie memiliki aroma campuran pahit manis aquatic yang tercium jelas dari kombinasi patchouli, rockrose dan cedarwood dari parfumenya. Nobelia rasa wewangian itu lebih cocok dihirup ketika pagi, karena mengingatkannya pada harum embun. Pandjie menyahut setelah beberapa menit diam, “Aku tidak peduli kamu setuju atau tidak. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang ada di dalam pikiranku sekarang, Bee.” “Bee?” Alis Nobelia bertautan, hampir tak ada spasi di sana. Pandjie memanggilnya apa tadi? “No—be—li—a. Be—e, bee ; bi—nama untuk seekor lebah. Kamu mengingatkanku pada lebah.” Pandjie mengulum senyum. Sementara rahang Nobelia jatuh beberapa senti. “Ya Allah, sekarang aku merasa bukan lagi manusia jadinya, berkat kamu.” Nobelia pun mengerjap-ngerjap dengan amat polos, aneh dengan segala pemikiran Pandjie yang absurd itu. “Lebah itu cinta kebersihan, juga tak mengambil yang bukan haknya—sebab lebah hanya menghisap saripati sebuah bunga. Lebah hanya mengambil yang inti, sesuatu yang halal untuknya. Lebah juga tidak bersifat destruktif, sama seperti kamu yang senang merawat makhluk hidup. Mereka memiliki harga diri, tak akan pernah mengganggu orang lain selama harga dirinya dihormati. Namun bila harga dirinya didzalimi, ia siap sedia untuk menyengat para pengganggunya.” Pandjie memandang paras Nobelia dari samping, apa yang ia katakan tentang lebah pada dasarnya ialah isi hatinya yang dalam untuk gadis itu. “Lebah hanya mengeluarkan hal yang bersih, dan bermanfaat, mereka juga memiliki lingkungan sosial yang terstruktur, punya peran dan job desk masing-masing serta menguasainya dengan baik. Bagi lebah, kerja sama lebih penting daripada kompetisi, mereka juga tidak paranoid seolah kedudukannya bakal digeser. Pekerja keras sejati—pokoknya lebah itu spesial, deh.” Nobelia tertawa dengan riang, terlalu banyak ngomong jangan-jangan mulut Pandjie bakalan berbusa sepuluh menit kemudian, “Jangan bilang kalau aku juga spesial seperti mereka itu, kalau kamu bilang iya, aku nggak segan-segan menyengat kamu, lho—sebab sudah bicara tidak jujur kepadaku.” “Wah,” Pandjie memundurkan punggung defensif atas pernyataan itu. Kelopaknya menyipit hampir segaris. “Kamu menyengat kalau dipuji, ya?” “Tergantung, sih” Nobelia memerlihatkan deretan gigi bagian depannya yang putih. “Tapi aku paling suka kamu bilang Obelia dan Nobelia itu sama-sama tidak sempurna.” Tertawa lagi, suara keduanya pun bersatu membentuk simfoni malam. Dan bagi Pandjie, dia seperti menemukan potongan puzzle yang hilang dalam hidupnya. Namun di lain sisi, bukan itu yang dirasakan oleh Nobelia. Perasaan mereka berdua begitu kontradiktif. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN