3. Renungan malam

1078 Kata
Acara Pertunangan sudah selesai. Bima dan kedua orang tuanya, juga sudah kembali menuju kediamannya masing-masing. Menyisakan kesibukan para maid, serta rona bahagia yang membingkai wajah kedua orang tua Dea. Di balkon kamarnya, Dea terdiam memandangi suasana langit. Langit malam bertabur bintang di sana-sini, dengan bulan sabit yang tampak malu-malu, di ujung barat daya sana. Indah. Tetapi, tidak dengan suasana hatinya. Gadis berusia dua puluh empat tahun itu tampak memejamkan matanya. Merasakan dinginnya angin malam, yang berembus pelan menerpa kulitnya. Menembus gaun tidur satin, yang turut melambai-lambai, sepanjang ia berdiri di sana. Rambut hitam-panjangnya terurai. Menari-nari, mengikuti gerakan angin yang menyapa dirinya. Kedua tangan Dea meremas besi pembatas balkon dengan erat. Menumpahkan berbagai rasa, yang berkecamuk di dalam hatinya. Ada perasaan kesal bercampur amarah, yang senantiasa menyelimuti dirinya. Terbungkus oleh rasa bersalah, pada seorang pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya, di luar sana. "Maafkan aku, Nath," ucapnya, bermonolog. "Maafkan aku ...," imbuhnya kemudian, dengan helaan napas panjang. Setelah menghabiskan beberapa waktu lamanya hanya dengan berdiam diri di sana, Dea pun memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Menutup pintu kaca, namun membiarkan gordennya tetap dalam keadaan terbuka. Beralih ke atas ranjang, Dea lalu meraih ponselnya. Memeriksanya. Berharap ada panggilan, atau setidaknya balasan pesan dari Nathan, untuknya. Tapi, tak ada. Dea lalu menggulirkan layar ponselnya turun ke bawah. Menampilkan kontak nama Nathan di sana. Pria yang sudah dipacarinya, selama hampir tiga tahun belakangan ini. Untuk sesaat, Dea hanya terdiam memandangi foto profilnya. Sebelum akhirnya, memutuskan untuk melakukan panggilan telepon. Tut ...! Tut ...! Tut ...! Di detik selanjutnya, yang terdengar di telinga Dea, justru pesan balasan operator yang mengatakan bahwa nomor ponsel yang sedang dihubunginya, tengah berada di luar jangkauan. Dea tidak menyerah. Dicobanya lagi, untuk melakukan panggilan yang sama. Namun lagi-lagi, hanya balasan suara operator saja, yang didapatinya. Membuat gadis itu mengembuskan napas panjang, dengan mata terpejam. Rasanya, seperti ada sebongkah batu besar yang kini tengah menghimpit dadanya. Sesak. Sudah beberapa hari ini, Nathan mengabaikannya. Menghindarinya. Hal yang sebenarnya sangat ia sayangkan, mengingat lamanya hubungan mereka. Tentu saja, ia sangat mengharapkan adanya perjuangan Nathan, untuk mempertahankannya. Hal yang sudah sewajarnya ia dapatkan, dari pria yang selama ini ia cintai dan mencintai dirinya. Namun, semenjak mengetahui rencana konyol Bima yang mendadak ingin menikahinya, Nathan menghilang. Tanpa mau mendengarkan sedikit pun, penjelasan darinya. Dan itu membuatnya gelisah. Tok! Tok! Tok! "Sayang?" panggil Monika, dari luar sana. "Kamu sudah tidur?" tanya Monika. Namun, Dea bergeming. Tak berminat sedikit pun, untuk menjawab suara panggilan ibunya. Tok! Tok! Tok! "Sayang?" ulang Monika, sekali lagi. Hening. Hingga tak berapa lama kemudian, terdengar derap langkah kaki yang menjauh, dari balik daun pintu. Dea pun lantas menggeserkan tubuhnya. Menyamankan posisi tidurnya di atas ranjang, lalu menarik selimut untuk menutupi separuh bagian tubuhnya. Gadis itu memandangi langit-langit kamarnya yang temaram, bercahayakan bulan. Membiarkan lampu kamarnya padam, tanpa berniat untuk menyalakannya sedikit pun. Sejenak, Dea terdiam. Merenungi beberapa kejadian yang telah mengubah hidupnya, dalam beberapa hari terakhir. Dan itu semua, disebabkan oleh Bima. Mengingat nama Bima, membuat dirinya merasa semakin kesal saja. Ingin sekali rasanya, ia mencabik-cabik pria itu hingga habis. Ia benar-benar tak habis pikir. Bima yang sudah ia kenal sejak kecil itu, tiba-tiba saja mengutarakan keinginan untuk menikahi dirinya. Padahal setahu Dea, selama ini Bima tidak pernah tertarik sedikit pun, padanya. Hubungan mereka bahkan tidak bisa dibilang akur. Mengingat dirinya dan Bima, yang seringkali bertengkar, setiap kali mereka bersama. Kecuali di kantor, tentu saja. Karena bagaimanapun juga, Bima adalah Atasannya. Perusahaan tempatnya bekerja adalah milik keluarga Nugraha. Dan Bima adalah satu-satunya Pewaris di sana. Mengernyitkan keningnya, Dea lalu menyadari satu hal. Bahwa Bima, bahkan tidak pernah sekalipun, menyatakan cinta padanya. Hingga pada satu minggu yang lalu, pria itu tiba-tiba saja datang menemuinya. Lalu dengan seenak jidatnya, mengatakan akan segera menikahi dirinya. Membuat ia berfikir, sepertinya Bima sudah benar-benar kehilangan kewarasannya. Atau bisa jadi, sedang salah meminum obatnya. Padahal selama ini, pria itu tahu betul jika dirinya tengah menjalin hubungan dengan Nathan. Bahkan Bima pun cukup mengenalnya. Dan seakan tak cukup sampai di situ, parahnya, permintaan itu justru disambut dengan hangat oleh kedua orang tua Dea, Daniel dan Monika. Membuatnya menjadi tak berkutik, sedikit pun. I know you want me I made it obvious, that I want you too So put it on me Let's remove the spaces between me and you Now rock your body Dam'n, I like the way that you move So, give it to me! Oh ... Oh .... Dering lagu dari Enrique Iglessias, menyadarkan Dea dari lamunan panjangnya. Menerbitkan seulas senyum, pada sudut bibirnya. Berharap bahwa itu adalah panggilan dari Nathan, untuknya. Tak menunggu waktu lama, ia pun bergegas mengulurkan tangannya ke atas nakas. Secepat mungkin meraih ponselnya, dengan tak sabar. Hingga sedetik kemudian, senyum itu pun lantas memudar. Berganti dengan helaan napas, yang terdengar begitu berat dari sang empunya. Bibir Dea mengerucut. Memandangi layar ponselnya, tanpa minat. Mendapati nama Bima di layar ponselnya, adalah hal yang sama sekali tidak ia harapkan. Untuk beberapa saat lamanya, Dea hanya terdiam. Membiarkan panggilan itu terus berdering, hingga tak lama kemudian berhenti dengan sendirinya. Panggilan itu berakhir. Namun, di detik selanjutnya, ponsel itu kembali terdengar berdering. Here's the situation Been to every nation Nobody's ever made me feel the way that you do .... Dengan nama yang sama; Bima. Membuat Dea memejamkan matanya, menahan rasa kesal. Gadis itu pun mengulurkan tangan kanannya. Meraih kembali ponselnya, tanpa minat. "Halo?!" ketus Dea, begitu panggilan itu ia jawab. "Kamu belum tidur?" tanya suara bariton, dari seberang sana. Terdengar begitu khas, di telinga Dea. Tanpa basa-basi. "Belum!" jawab Dea, singkat. Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya terdiam. Sibuk berkelana, dengan pikiran masing-masing. "Jadi, kamu meneleponku hanya untuk mengatakan itu?" cibir Dea, kemudian. Gadis itu tampak menyapukan pandangan mata pada langit-langit kamarnya, dengan dengkusan kecil. "Aku hanya ingin memastikan, kalau kamu tidak akan terlambat datang ke kantor, besok pagi." Mulut Dea pun menganga. Tak habis pikir, dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Memperkuat anggapan, bahwa Bima memang sangat layak untuk dipertemukan dengan spesies-spesies menyebalkan tingkat Dewa, lainnya. "Tenanglah, aku tidak akan mengambil cuti, hanya karena kakiku sakit!" ketus Dea seraya memutar bola matanya, kesal. "Itu bagus!" timpal Bima. Demi Tuhan, ingin sekali rasanya Dea menjitak kepala Bima, sekarang juga. "Ada lagi, yang ingin kamu katakan?" tanya Dea, akhirnya. Tak sabar, ingin mengakhiri panggilan itu dengan segera. "Tidak. Tidurlah. Ini sudah malam." Dan panggilan itu pun terputus. Membuat Dea lagi-lagi melongo, mendapati Bima yang memutuskan panggilan itu dengan sepihak. Mencebikkan bibir, gadis itu pun terdengar mengumpat kesal. "Dia selalu saja menyebalkan!" *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN