2. Kegagalan telak

1157 Kata
Dea memekik tertahan, dengan kedua mata terpejam. Mendapati bagaimana dirinya yang dengan begitu mudah, sudah berpindah tempat, berada di dalam gendongan Bima. Membuat gadis itu seketika merasa seperti melayang, hingga refleks melingkarkan sebelah tangannya pada leher Bima. Sementara tangan yang lain masih setia menggenggam tali heels, yang berwarna senada dengan gaunnya malam itu. Membuka matanya, Dea pun lantas berdecak. "Awas aja kalau jatuh!" ancamnya, kesal. "Dasar cerewet!" balas Bima, yang seketika dihadiahi satu pukulan pada punggungnya. Membuat pria itu justru terkekeh kecil. Meninggalkan area taman, Bima pun beralih menapaki satu-persatu tangga teras. Memasuki ruang tamu, kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju ruang tengah kediaman keluarga Mananta. Dan mendapatkan beberapa pasang mata, yang seketika menatap dirinya dan Dea, dengan pandangan penuh tanya. "Lho ... kenapa, Sayang?" Satu pertanyaan, akhirnya meluncur dari mulut Monika. Mewakili rasa penasaran, dari setiap orang yang tengah berada di sana. Perlahan, Bima pun menurunkan Dea. Memberikan sebelah lengannya, sebagai tempat untuk bersandar. "Dea jatuh, Ma," terang Dea, tak sepenuhnya berbohong. "Mungkin karena heels-nya, Tante," sela Bima, menutupi. Membuat Dea mendongakkan kepala-memandang kepadanya, dengan isyarat, 'Kenapa enggak terus terang aja?!' Monika memandang putrinya, dengan kening berkerut kecil. Mendapati memar pada kedua lutut Dea yang tengah menenteng sepasang heels berwarna merah di tangan kirinya, seketika saja membuat Ibu dari Dea itu merasa cemas. "Oh, iya. Sepertinya, Tante kemarin salah memilih ukuran. Terlalu tinggi, heels-nya," sesal Monika, seraya menatap heels bermodel stiletto dengan tinggi dua belas sentimeter tersebut. "Enggak apa-apa, San. Yang penting kan, sekarang udah ada Bima yang jagain Dea. Bim ... anterin dong, Deanya ke dalem. Masa dibiarin begitu. Obatin sana, lukanya!" Kali ini, yang berbicara adalah Bertha. Ibu dari Bima. "Ah ... iya, San. Enggak perlu khawatir lagi, sekarang. Udah ada Nak Bima," timpal Monika kikuk, mendengar Bertha menyebutnya besan, untuk pertama kali. Calon besannya itu, memang selalu bisa mencairkan suasana. Sedangkan Dea, hanya bisa meremas ujung gaun selututnya dengan pasrah. Merutuki nasib, yang semakin memprihatinkan, menurut dirinya. "Bima permisi dulu Om, Tante," pamit Bima, dengan menggamit lengan kiri Dea, untuk membawanya berpindah menuju ruang tengah yang terletak di dalam. Yang seketika diangguki dengan senyuman manis, oleh Daniel dan Monika. "Kita enggak salah pilih, ya Pa," ucap Monika, sembari menoleh kepada suaminya, Daniel Mananta. "Tentu saja, Ma." Daniel mengangguk. Mengusap punggung tangan istrinya, yang melingkar pada lengan kanannya. "Jadi, bagaimana Rumah Sakitnya? Lancar?" Sebuah pertanyaan, yang kemudian terlontar dari Jimmy Nugraha, papa Bima. "Sejauh ini, baik. Apalagi, sekarang sudah ada Vano. Lumayan membantu. Jadi, Papanya yang sudah mulai tua ini, bisa sedikit beristirahat," jawab Daniel, yang kemudian diangguki dengan senyuman, oleh Jimmy. "Wah, hebat ya. Masih muda begini, sudah punya tanggung jawab besar di Rumah Sakit. Ck, kalau Tante punya anak perempuan, udah diambil menantu nih, sama Tante," puji Bertha, tak menutupi kekagumannya. "Biasa aja, Tante. Semuanya berkat kerja keras Papa. Saya hanya meneruskan saja," balas Vano, sembari tersenyum. "Vano ini, pada dasarnya memang sudah punya ketertarikan di bidang kesehatan. Jadi, saya tinggal mengarahkan saja," timpal Daniel. Sejenak, mereka larut dalam obrolan ringan nan hangat, seputar bisnis keluarga mereka. "Tadinya, saya juga menginginkan Dea agar menjadi bagian dari Rumah Sakit keluarga saja. Mengelola Rumah Sakit itu berdua dengan Kakaknya. Tapi, anak itu benar-benar susah diatur!" tutur Daniel, seraya memijit pelipisnya yang seketika berdenyut pening. Membuang napasnya dengan kasar. "Biarkan saja," sahut Jimmy, seraya tersenyum. Meneguk sejenak, minuman berwarna merah di tangan kanannya. "Terkadang, anak juga punya pilihannya masing-masing. Tidak perlu terlalu dipaksakan," imbuh Jimmy, membela calon menantunya. Membuat Daniel seketika terkekeh. Mengakibatkan Dea yang mencuri dengar pembicaraan mereka dari ruang tengah lantas berandai-andai, jika saja calon papa mertuanya itu tahu, bahwa dirinya sekarang sedang dipaksa. Hiks. "Betul, itu. Lagian, di kantor kan ada Bima juga. Jadi, bagus buat mereka berdua. Biar makin deket, sebelum hari Pernikahan mereka," sahut Bertha, lantas berpaling kepada Monika di seberang mejanya. "Iya kan, San?" "Ah ... iya, San," balas Monika, sembari mengulum senyum. Sementara itu ... di ruang tengah, Dea menggerutu kesal, mendengar percakapan mamanya dengan mama Bima, terkait perjodohan yang diperuntukkan untuk dirinya dan Bima. Sambil sesekali mengernyitkan kening-menahan perih, gadis itu mengamati bagaimana Bima, yang tengah membersihkan luka di kedua lututnya. Meneteskan obat merah, meniupnya, kemudian menutupnya dengan menggunakan plester. "Jangan marah-marah terus, nanti cepet tua!" tukas Bima, seraya meletakkan kembali kotak P3K ke atas nampan yang dibawa salah seorang maid di rumah Dea. Membiarkan maid itu berlalu, meninggalkan mereka berdua. "Awas ya, Bim. Kalau sampai kamu berani macem-macem sama aku, aku bakal aduin kamu sama Nathan!" ancam Dea, berang. "Aduin aja. Bentar lagi, juga kalian putus!" ketus Bima kemudian, membuat Dea tak tahan, untuk tak melemparkan bantal sofa kepadanya. Dan, satu bantal sofa pun melayang. Disusul dengan bantal kedua, lalu ketiga. Namun, tak ada satu pun yang tepat sasaran. Bima terlampau gesit, untuk sekadar berkelit dan menghindari serangan bantal Dea. Membuat pria itu justru terkekeh senang, mendapati Dea yang melampiaskan rasa kesalnya, padanya. Untuk sejenak, Dea berhenti. Mengatur napasnya yang memburu. Merasa bahwa tidak ada satu pun, usahanya yang berjalan dengan lancar. Sejak awal, Bima memang sudah mengacaukan semuanya. Menyebabkan setiap rencananya berakhir dengan sia-sia. Percuma. Bima pun berjalan memutari sofa. Mengambil segelas air putih dari atas meja, lantas menyodorkannya tepat ke hadapan Dea. "Minum dulu. Pasti capek, manjat pagar tinggi gitu. Ck, cantik-cantik jelmaan tarzan!" "Ini juga gara-gara kamu!" sungut Dea, lantas menerima gelasnya. Menghabiskan isinya, kemudian menyerahkannya kembali kepada Bima, tanpa malu-malu. "Gimana Sayang, kakinya udah baikan?" tanya Monika yang tampak menyusul, kemudian mendudukkan dirinya tepat di samping Dea. Mengamati atmosfer yang tercipta di antara putrinya dengan Bima, juga pada bantal-bantal sofa yang tampak berceceran di mana-mana. Bingung. "Udah!" jawab Dea singkat, merasa kesal dengan Mamanya. Sementara Bima yang tampak duduk di sofa seberang meja, hanya tersenyum kecil. "Makasih, ya Nak Bima. Maaf nih, Tante jadi ngerepotin," ucap Monika, beralih pada Bima. "Enggak kok, Tante. Enggak ngerepotin. Udah jadi tugas saya buat menjaga Dea, mulai dari sekarang. Tante tidak perlu lagi merasa khawatir," tukas Bima, dengan nada tenang. Monika pun tersenyum semringah, mendengar penuturan calon menantunya yang tampak begitu bersungguh-sungguh. Tanpa ia sadari, bahwa di sampingnya, putrinya justru melemparkan tatapan tajamnya, pada pria itu. Menekuk muka, menyiratkan raut wajah tak suka. "Ya, udah. Tante tinggal dulu, ya. Kalian istirahat aja dulu di sini. Tante mau ke depan dulu," pungkas Monika, kemudian. Menepuk kecil punggung tangan putrinya, ia lalu beranjak meninggalkan ruang tengah dan beralih kembali ke depan. Bergabung bersama suami, beserta kedua calon besannya di sana. "Dengar ya, Bim. Sampai kapan pun, aku nggak mau nikah sama kamu. Liat aja, nanti aku bakalan bawa Nathan buat ngegagalin semua rencana konyol kamu ini!" ancam Dea, seraya menatap Bima dengan tatapan tajam. Bima pun berdiri. Mengayunkan langkah, kemudian menekuk sebelah kakinya tepat di hadapan Dea. Di detik selanjutnya, pria itu lantas terlihat meraih jemari tangan kanan Dea. Menggenggamnya. "Aku bisa pastiin, cincin ini akan selalu ada di jari manis kamu. Selamanya. Selama aku menginginkannya!" tegas Bima, penuh keyakinan. Membuat Dea tanpa sadar menahan napasnya. Menundukkan kepalanya, Bima lalu mengecupkan bibirnya lembut, pada punggung tangan Dea. Menyeringai. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN