bc

Te Quiero (Masih Mencintaimu)

book_age18+
1.2K
IKUTI
4.1K
BACA
love-triangle
family
second chance
badboy
goodgirl
drama
sweet
bxg
city
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Bertemu Ardan setelah empat tahun berlalu seperti membuka kenangan sembari menghancurkan dinding pertahananku untuk move on darinya. Perhatian, kasih sayang, dan kesabarannya membuatku kembali mencari sisa harapan kami yang dulu sempat pupus. Di sisi lain, bertemu Arion seorang prajurit marinir sekaligus pasien di ruang perawatan bedah seperti memaksaku untuk menghadapi kenyataan bahwa tidak semua lelaki berseragam seperti dirinya itu bisa menorehkan luka.

Aku bimbang. Inginku bersama lelaki yang kuinginkan tapi apa dayaku ketika kedua orangtuaku memaksa bahwa aku harus bersama lelaki yang mereka butuhkan. Aku berusaha keluar alur yang dibuat oleh kedua orang tuaku namun semua yang kulakukan hanya membuat luka lamaku semakin menganga lebar hingga perih itu tidak bisa dirasakan kembali.

Aku kecewa pada lelaki yang pernahkan datang dalam kehidupanku, aku kecewa pada kehidupan keluargaku, dan aku kecewa mengapa Tuhan harus membuat semuanya rumit.

Ardan, mengapa untuk memilikimu harus sesulit ini?

cover by : DepaCBS

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
Surabaya, 10 September 2012 Hujan lebat mengguyur hampir seluruh kota Surabaya, disertai angin kencang hingga menyebabkan beberapa titik sudut kota besar ini tergenang banjir. Tak luput pula jalanan yang kulalui dari arah Wonokromo menuju Kebonsari membuat rok navy-ku terkena cipratan air. Mengumpat dan menyetir pelan motorku ke pinggir kiri jalan serta menghindari pengendara lain yang seenaknya sendiri. Sesekali pula merutuki mantel kelelawar yang membuat baju seragam tidak selamat dari pengendara kendaraan yang bar-bar. Sungguh musim hujan adalah musim yang paling kubenci, namun musim kemarau pun sama. Aku merasa tidak begitu cocok tinggal di kota yang terkenal dengan cuacanya yang begitu panas.  Kubelokkan motor matic merah ke arah kiri, memasuki latar parkiran sebuah toko obat bernama Apotek Ayo Sehat dengan cat tembok warna putih yang lampu warna-warninya menyala terang mengelilingi banner apotek. Kulambaikan tangan kanan kepada temanku yang sedang berdiri di belakang etalase obat paten dengan muka masam.  "Kok bisa basah semua?" tanya Septi sambil membenarkan jilbab ungu kesayangannya saat kakiku memasuki apotek melalui pintu samping kiri. Kuangkat kedua bahu dengan malas sambil menaruh tas kuliah di ruang karyawan yang letaknya dekat dengan etalase obat generik, setelah itu langsung mandi. Setidaknya aku harus menaikkan mood dalam bekerja setelah selesai mandi nanti. Bukan kebiasaanku membawa masalah ke dalam pekerjaan, terutama cuaca sialan ini. Di apotek ini, aku bekerja sebagai asisten apoteker hampir tujuh bulan dengan memanfaatkan ijasah SMK dan STR yang akan habis masa berlakunya tahun depan. Bekerja di sini, awalnya hanya part time untuk mengisi liburan kuliah di semester lima bidang keperawatan. Namun, karena jadwal kuliahku tidak seberapa padat seperti awal semester satu, aku pun nekat mengirim surat lamaran tanpa sepengetahuan orang tua. Tapi, sepintar apa pun kita menyembunyikan sesuatu, orang tua pasti tahu. Awalnya, ibu merasa tak suka bahkan marah-marah karena tidak ingin aku terlalu kecapekan seperti awal semester satu dulu. Sering terkena flu dan sariawan hingga pusing yang berputar menjadi penyakit langganan. Biaya kuliah yang semakin mahal, sedangkan aku hanya diberi uang saku seratus ribu untuk seminggu yang benar-benar tidak cukup untuk mahasiswa. Maka tidak salah, 'kan jika aku bekerja tanpa ijin?  Lagipula, aku juga membutuhkan uang tambahan untuk biaya skripsi dan wisuda tahun depan yang jumlahnya tidak sedikit. Aku tidak mungkin meminta uang lagi  untuk penelitian skripsi, selagi orang tuaku bekerja keras membanting tulang untuk membiayai kuliah. Selama ada bakat terpendam dan ijasah yang menganggur di rumah, aku mau melakukan apa saja yang penting halal. Selesai mandi dan berpakaian seragam batik berwarna merah maroon serta memakai make up tipis. Aku dan Septi tukar informasi dari shift pagi ke shift sore seputar pendapatan pagi, pengeluaran uang kasir,  hingga barang-barang baru datang yang belum diberi label harga. Apotek Ayo Sehat hanya memiliki empat karyawan, yang otomatis dalam satu kali jaga, hanya ada satu orang. Untung saja, tempat tidak terlalu ramai seperti toko obat ternama lainnya, setidaknya kami tidak pernah kewalahan. Usai Septi pergi dan suasana apotek yang sepi, dengan cekatan aku pun memberi label serta meng-input data barang masuk ke dalam komputer. "Mbak...." Menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang lelaki bertubuh sedikit berisi, berkaos abu-abu, dan berambut hitam tebal yang sedikit basah sedang menggendong anak laki-laki. Usia anak yang menangis itu mungkin tiga tahun. Dia meletakkan payung bercorak bunga di atas kursi kayu di sisi kanan, kursi yang biasanya digunakan orang-orang untuk menunggu obat racikan. "Iya, ada yang bisa dibantu?" tanyaku ramah seraya berdiri dari kursi, mendekati pelanggan. "Saya cari tablet vitamin yang bentuknya hewan-hewan ada?" tanya lelaki itu lalu memandang anak lelaki yang digendongnya. "Yang mana, Le?  Maman nggak tahu lho bentuknya vitaminmu?" Aku terdiam merasa canggung tiap kali ada bapak dan anak atau ibu dan anak berdebat seperti ini. Apalagi sampai si anak menangis histeris karena tidak dituruti keinginannya. Tanpa menunggu lama,  kukeluarkan beberapa merk tablet vitamin dengan aneka rasa. Kujelaskan pada anak lelaki itu bentuk-bentuk tablet tanpa membuka kemasannya. Dia pun terdiam lalu menunjuk salah satu merk dengan rasa anggur. "Empat belas ribu, Pak," ucapku. Lelaki itu menaikkan sebelah alis tebalnya memandangku dengan ekspresi terheran-heran. Sebelah tangan kanannya, mengambil dompet hitam yang sudah lusuh lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. "Terima kasih, Pak," kataku seraya menyerahkan uang kembalian. Dia tersenyum sekilas lalu pergi seraya memegang payung, namun kurasakan dirinya sesekali memandangiku saat mengembalikan botol vitamin ke etalase semula. Ketika tubuh lelaki berada di seberang jalanan yang basah akibat hujan yang masih enggan untuk berhenti, barulah giliranku memandangi si pemilik payung bunga dengan tatapan aneh. Agak risih jika ada orang asing yang memandang perempuan tiada henti, apalagi dia menggendong anak-anak.  Seperti tidak ada pemandangan lain, batinku. #### "Mel,  dapat salam dari Ardan," sahut Septi saat aku datang ke apotek di hari Sabtu siang. Kulengkungkan sebelah alis lalu bertanya, "Ardan? Siapa?" "Ck, pura-pura nggak tahu," ejek Septi sambil menyalakan komputer kasir. "Aku memang nggak tahu. Udahlah,  aku mau rekap laporan resep BPJS dokter Sapto," ujarku sedikit kesal. Beberapa hari ini memang cukup aneh, tidak sekali dua kali, lelaki bernama Ardan sering menitipkan salam melalui teman kerjaku hingga dua minggu berturut-turut. Aku sungguh tidak tahu siapa Ardan,  bagaimana wujudnya, dan apakah aku pernah bertemu dengannya. Dan perempuan mana yang tidak besar kepala jika ada pemuja rahasia yang misterius seperti ini? Sungguh dia benar-benar sukses membuat penasaran sekaligus mendebarkan jantung yang sudah lama tidak seperti ini. Ah,  dasar jomlo! "Ardan bilang, kamu jahat kalau nggak tahu dia, Mel." Kali ini Ares yang mengejekku saat kami bertemu untuk operan jaga sore di hari Rabu. Aku mendecak. "Jika dia memang jantan kenapa tidak langsung saja? Jangan main asal nitip salam dong. Bikin kesel tau!" Ares tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Dia menimpali kalimatku bahwa aku akan terkejut begitu mengetahui siapa Ardan. Perempuan bermata bulat itu berjanji bahwa dia akan menyampaikan unek-unekku pada sosok Ardan. Bibirku mengerucut, aku sudah tidak peduli, toh lelaki itu harus jantan jika ingin mendekati perempuan bukannya menitip salam dan bersembunyi di balik batu seperti pecundang.  Ekspektasi di kepala ternyata tidak sesuai dengan realita, hingga tiga hari setelah menatang Ardan melalui Ares,  nyatanya lelaki yang selalu bilang titip salam itu tak juga muncul. Sudah bisa kutebak, tidak semua laki-laki mau memberikan bukti, hanya janji yang sulit ditepati. Pada akhirnya, kebanyakan makhluk jantan seperti Ardan akan berakhir ghosting saja. Kutopang dagu sambil menatap layar komputer dan mengerjakan tumpukan faktur penjualan dari PBF* dengan pikiran hampa. Di luar ini semua, sebenarnya aku penasaran kenapa ada lelaki yang mau sekadar titip salam padaku. Padahal jika diingat-ingat penampilanku tidak menarik perhatian, apalagi aku selalu datang dengan mengenakan seragam mirip SMP dari kampus. Mukaku juga tidak cantik dengan pipi chubby dan berjerawat meski badanku cukup kurus di kelasnya. Kulitku tidak seterang teman kerjaku yang putih bersih seperti porselen. Tapi, aku juga tidak ingin terlalu percaya diri. Siapa tahu bukan,  titip salam dari Ardan hanya sekadar intermezzo. "Mbak...." Aku menoleh sambil berdiri ketika lelaki tempo hari datang seorang diri tanpa anak kecil yang digendongnya. Aku tersenyum lalu berkata, "Ada yang bisa saya bantu?" Dia tersenyum malu-malu sambil menggaruk kepalanya yang berambut cukup lebat dan menyentuh kerah baju hitamnya. "Ngg ... saya ... cari..." kedua matanya menyusuri obat di etalase di belakangku. "Vitamin lagi?" tanyaku tak sabaran. Dia menjetikkan tangan kanannya. "Iya itu. Saya lupa." Kuambil botol vitamin dengan merk sama. "Empat belas ribu, Pak." Ekspresi itu datang lagi. Dia melihatku dengan menaikkan sebelah alisnya. "Emang saya keliatan kayak bapak-bapak?" tanya lelaki itu dengan nada tak suka sambil memberiku selembar uang dua puluh ribu yang sedikit kotor. Aku tidak menjawab karena takut salah. Tapi sejujurnya aku ingin membenarkan. Penampilan dia memang terlihat mirip lelaki beranak satu. Lihat saja sekarang, dia memakai sarung kotak-kotak berwarna coklat tua,  kaos oblong hitam, rambutnya berantakan, dan itu sudah diperjelas saat dia menggendong anak laki-laki. Kupikir mungkin dia menikah muda,  makanya tidak mau dipanggil bapak-bapak. Kuserahkan uang kembalian kepadanya. "Terima kasih." Sebelum aku kembali ke meja komputer, lelaki itu kembali memanggilku. Aku menoleh namun sedikit terkejut saat wajahnya merona seperti anak perempuan yang baru saja bertemu kekasihnya. "Saya boleh...." Aku mendekat ke etalase. Kutatap matanya dengan kedua mata bulatku. Dia menunduk malu sambil menggaruk kepala lagi. Apa dia sudah mandi? Pikirku. Sedari tadi dia terus menggaruk kepalanya. "Saya boleh minta nomernya?" pintanya dengan intonasi cepat. Tubuhku membeku. Beberapa detik kugunakan untuk menelaah ucapan lelaki bersarung ini. Mengerjapkan mata lalu melihatnya lagi. Dia menatapku dengan penuh harap. "Untuk nambah teman," tambahnya sambil meringis memperlihatkan gigi gingsulnya. Dia beneran bapak-bapak, kan?  Kenapa minta nomerku? Kok aku jadi takut? Mana Septi beli nasgor lama sekali pula. Aku menimang. Sudah lama aku tidak membagikan nomerku kepada lelaki lain kecuali teman sekolah dan kuliah. Lagipula untuk apa dia meminta nomerku? Alasan menambah teman terdengar sangat klise apalagi dia sudah punya anak.  Pikiran menjadi selingkuhan bergentayangan di otakku. Ingin menolak tapi ... tiba-tiba muncul ide lain. "Punya aplikasi Line?" Dia mengangguk. "Punya." "Scan aja barcode punyaku." Kuambil ponsel dan membuka barcode di aplikasi berwarna hijau itu. Kami berdua bertukar barcode. Dia tersenyum saat line kami sudah berteman. "Maaf ya mbak," kata lelaki itu. "Nggak apa-apa kan kalo saya nge-chat?" Aku tersenyum. "Nggak apa-apa." Dia mengulurkan sebelah tangan kanannya. "Ardan. Kamu?" Seketika itu juga tubuhku disiram satu ton es batu. Aku terkejut bukan main mendengar dia menyebutkan kata Ardan. Suaranya yang baru saja terdengar kini menggema di kedua telinga, seluruh aliran darah di tubuh mendadak mengalir cepat dengan jantung yang dipompa dengan kekuatan penuh. Begitu pula dengan keringat dingin yang membasahi kedua tangan, rasanya tempat ini mendadak membekap udara di sekitarku hingga kutak bisa bernapas bebas. Sialan, batinku, sekarang giliran kakiku terasa lemas tak bertulang. "Ardan. Kamu?" Dia mengulang kalimatnya lagi. Bibirku tidak bisa membuka, harusnya mudah mengucapkan satu nama, tapi pikiranku mendadak tidak berfungsi. Hatiku meronta-ronta, mengutuk diri agar segera sadar bahwa di hadapaku bukanlah orang lain. "Amel." Kubalas uluran tangannya cepat. Dia tersenyum begitu manis sedangkan diriku untuk menatapnya saja tak mampu. Jadi, ini lelaki yang bernama Ardan itu?  Ya Tuhan,  inikah rasanya bertemu dengan seseorang yang mengagumi diriku? Tapi, dia bapak-bapak, Mel! batinku berteriak.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Long Road

read
148.2K
bc

Touch The Cold Boss

read
242.0K
bc

CEO and His Cinderella

read
56.7K
bc

MY DOCTOR MY WIFE (Indonesia)

read
5.1M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

MANTAN TERINDAH

read
10.0K
bc

Bad Prince

read
518.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook