bc

Aishiteru Gus Kenzo

book_age18+
4
IKUTI
1K
BACA
comedy
like
intro-logo
Uraian

Kisah cinta Safiyya dan Gus Kenzo bukanlah kisah cinta biasa. Dia, seorang mahasiswi yang cerdas dan mandiri, menolak keras dijodohkan. Namun takdir mempertemukannya dengan Gus Kenzo, seorang pria yang mampu mengusik hatinya. Konflik batin Safiyya antara keinginan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri dan tekanan dari keluarganya menjadi inti cerita ini. Akankah Safiyya mampu melawan takdir, atau justru menemukan cinta sejati dalam perjodohan yang tak pernah ia inginkan?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bayang-Bayang Perjodohan
Mentari pagi menyinari kamar Safiyya, menerobos celah tirai jendela. Udara sejuk khas kota Malang menyapa kulitnya, namun tak mampu menenangkan debaran jantung yang tak menentu. Hari ini, pertemuan dengan calon suaminya akan berlangsung. Sebuah pertemuan yang sejak awal ia tolak mentah-mentah. Safiyya, mahasiswi cerdas jurusan Hukum Universitas Brawijaya, tak pernah membayangkan hidupnya akan diatur oleh orang lain. Ia selalu percaya pada kekuatan dirinya sendiri, pada kemampuannya untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Buku-buku hukum tertata rapi di mejanya, seakan-akan mencerminkan keteraturan pikirannya yang kini kacau balau. Rencana masa depannya, yang ia bayangkan penuh dengan cita-cita dan perjuangan, kini dibayangi oleh bayang-bayang perjodohan yang dipaksakan oleh keluarganya. Keluarga terhormat, dengan tradisi dan aturannya yang kaku. Safiyya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Bunyi ketukan pintu membuyarkan lamunannya. "Safiyya, sayang, sudah siap?" suara ibunya terdengar lembut namun tegas dari balik pintu. Safiyya bangkit dari tempat tidur, matanya menatap bayangan dirinya di cermin. Ia terlihat pucat, namun tetap tegar. "Ya, Bu," jawabnya, suaranya sedikit gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Hari ini, ia akan menghadapi takdir yang telah ditetapkan untuknya. Hari ini, ia akan bertemu dengan Gus Kenzo, pria yang akan menjadi suaminya. Namun, di lubuk hatinya, Safiyya masih berharap pada sebuah keajaiban, sebuah jalan keluar dari perjodohan yang tak pernah ia inginkan. Ia ingin menentukan nasibnya sendiri. Ia ingin memilih cintanya sendiri. Safiyya menuruni tangga dengan langkah gontai. Di ruang tamu, ibunya sudah menunggu dengan senyum yang terasa dipaksakan. Di sampingnya duduk seorang pria paruh baya, berwajah ramah, yang diperkenalkan sebagai Bapak Malik, ayah Gus Kenzo. Suasana terasa tegang, hanya diselingi obrolan basa-basi yang terasa hampa. Safiyya berusaha bersikap sopan, namun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, pintu terbuka dan seorang pemuda masuk. Tinggi, gagah, dengan sorot mata yang tajam namun ramah. Itulah Gus Kenzo. Safiyya tertegun. Ia tak menyangka Gus Kenzo akan setampan ini. Ia berbeda dari bayangannya selama ini. Bayangan tentang seorang pria tua yang kaku dan otoriter. Gus Kenzo menyapa dengan senyum hangat, menyapa kedua orang tua Safiyya dengan hormat, lalu pandangannya jatuh pada Safiyya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Safiyya merasa sedikit tenang. Ada kehangatan, bukan paksaan. "Assalamu'alaikum, Mbak Safiyya," sapa Gus Kenzo, suaranya lembut. "Waalaikumsalam," jawab Safiyya, masih sedikit terbata-bata. Percakapan mengalir, awalnya canggung, namun perlahan menjadi lebih cair. Gus Kenzo ternyata pandai bercerita, humoris, dan memiliki pandangan hidup yang modern. Ia tak seperti yang dibayangkan Safiyya. Ia tak memaksakan kehendaknya, justru ia mendengarkan Safiyya dengan penuh perhatian ketika Safiyya mengungkapkan keraguannya tentang perjodohan ini. Ia menjelaskan bahwa ia juga tak ingin terikat dalam sebuah hubungan yang tak didasari cinta. Ia ingin mengenal Safiyya lebih dalam, dan berharap Safiyya juga bisa mengenal dirinya. Untuk pertama kalinya, Safiyya merasa sedikit ragu dengan penolakannya. Mungkin, perjodohan ini bukanlah akhir dari segalanya. Mungkin, di balik semua tekanan dan paksaan, ada sebuah kemungkinan untuk menemukan cinta sejati. Namun, keraguan masih menghantuinya. Ia masih harus mempertimbangkan banyak hal. Pertemuan ini hanya sebuah awal, sebuah babak baru dalam pergulatan batinnya. Apakah ia akan mampu melawan takdir, atau justru menemukan cinta dalam perjodohan yang tak pernah ia inginkan? Pertanyaan itu masih menggantung di udara, mengiringi senja yang mulai menyelimuti kota Malang. Pertemuan itu berakhir dengan suasana yang lebih hangat dari yang diperkirakan Safiyya. Gus Kenzo mengantar orang tuanya pulang, dan sebelum pergi, ia meminta izin untuk bertemu Safiyya lagi. Kali ini, bukan dalam suasana formal seperti tadi. Ia ingin mengajak Safiyya jalan-jalan, sekedar ngobrol santai, tanpa tekanan dari keluarga. Safiyya setuju, meskipun masih dengan keraguan yang membayangi. Sepulang orang tua Gus Kenzo, Safiyya duduk termenung di sofa. Ibunya menghampiri, menawarkan teh hangat. "Bagaimana, Sayang? Apakah kamu merasa lebih tenang sekarang?" tanya ibunya lembut. Safiyya menatap ibunya, ia ragu-ragu. Ia tak ingin mengecewakan ibunya, namun ia juga tak bisa begitu saja menerima perjodohan ini. "Bu," katanya pelan, "Gus Kenzo... ia berbeda dari yang saya bayangkan. Ia baik, dan..." Safiyya terdiam, mencari kata-kata yang tepat. "...ia menghargai pendapat saya." Ibunya tersenyum lega. "Itu bagus, Sayang. Berikan kesempatan pada Gus Kenzo. Kenali dia lebih baik. Jangan langsung menolak sebelum kamu benar-benar tahu siapa dia." Safiyya mengangguk pelan. Ia masih bimbang, namun hatinya sedikit lebih tenang. Pertemuan tadi telah sedikit mengikis tembok penolakannya. Mungkin, ibu benar. Mungkin, ia perlu memberikan kesempatan pada Gus Kenzo, memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk mengenal lebih dekat pria yang akan menjadi calon suaminya itu. Mungkin, di balik bayang-bayang perjodohan yang menakutkan, ada secercah harapan untuk menemukan cinta sejati. Namun, ia tetap harus berhati-hati. Ia tak ingin terjebak dalam sebuah hubungan yang hanya akan membuatnya menderita. Ia harus tetap teguh pada pendiriannya, tetap berpegang pada prinsipnya untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Babak baru telah dimulai, dan Safiyya siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Namun, di dalam hatinya, sebuah rasa penasaran dan sedikit harapan mulai tumbuh. Beberapa hari kemudian, Gus Kenzo menjemput Safiyya untuk jalan-jalan. Mereka berencana mengunjungi sebuah taman kota yang terkenal dengan keindahannya. Safiyya memilih mengenakan baju kasual, menghindari kesan formal yang membuatnya merasa terkekang. Saat Gus Kenzo datang, ia terlihat santai dengan kaos dan celana jeans, senyum ramah terukir di wajahnya. "Assalamu'alaikum, Mbak Safiyya. Siap jalan-jalan?" sapa Gus Kenzo. "Waalaikumsalam. Siap," jawab Safiyya, mencoba tersenyum. Sepanjang perjalanan, Gus Kenzo mengajak Safiyya berbincang tentang berbagai hal. Mereka membicarakan tentang cita-cita, minat, dan pandangan hidup masing-masing. Safiyya terkejut dengan pemikiran Gus Kenzo yang terbuka dan modern. Ia tak seperti bayangannya tentang seorang kiai muda yang kaku dan konservatif. Gus Kenzo ternyata memiliki jiwa muda yang penuh semangat dan idealis. Ia juga sangat menghargai pendapat Safiyya, menghormati pilihan dan keinginannya. Di taman, mereka duduk di sebuah bangku di bawah pohon rindang. Gus Kenzo mengeluarkan buku sketsa dan pensil dari tasnya. "Saya suka menggambar," katanya, "Ini hobi saya." Safiyya penasaran. Ia melihat Gus Kenzo menggambar dengan penuh konsentrasi, menorehkan garis-garis halus di atas kertas. "Gambar apa itu?" tanyanya. "Ini gambar Masjid Agung," jawab Gus Kenzo, "Saya suka menggambar bangunan-bangunan bersejarah." Safiyya terkesima. Ia tak pernah membayangkan Gus Kenzo memiliki bakat seni seperti ini. Seolah-olah, ia menemukan sisi lain dari Gus Kenzo yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sisi yang lebih lembut, lebih humanis. Sisi yang membuatnya semakin penasaran. "Kamu jago menggambar," puji Safiyya, "Gambarmu bagus." Gus Kenzo tersenyum. "Terima kasih. Kamu juga punya bakat seni, kan?" Safiyya menggeleng. "Tidak, saya lebih suka membaca dan menulis." Gus Kenzo mengangguk. "Saya tahu. Saya sudah membaca beberapa artikelmu di majalah kampus. Tulisanmu bagus, tajam, dan kritis." Safiyya tersipu. Ia tak menyangka Gus Kenzo memperhatikannya. Ia merasa sedikit gugup, tapi juga senang. Gus Kenzo ternyata memperhatikannya, menghargai bakatnya. Pertemuan ini semakin membuat Safiyya penasaran. Ia semakin ingin mengenal Gus Kenzo, mengungkap sisi-sisi lain dari dirinya. Mungkin, perjodohan ini bukanlah akhir dari segalanya. Mungkin, di balik bayang-bayang perjodohan yang menakutkan, ada sebuah kemungkinan untuk menemukan cinta sejati. Matahari mulai terbenam, menghasilkan warna jingga kemerahan yang menawan di langit senja. Gus Kenzo mengajak Safiyya untuk menikmati keindahan senja dari sebuah bukit di dekat taman. Mereka duduk berdampingan, terdiam, menikmati panorama alam yang indah. Safiyya merasa nyaman berada di samping Gus Kenzo. Ia tak lagi merasa tertekan, tak lagi merasakan ketakutan yang selama ini menghantuinya. Gus Kenzo membuatnya merasa tenang, nyaman, dan aman. "Mbak Safiyya," kata Gus Kenzo, suaranya lembut, "Saya ingin jujur. Saya memang setuju dengan perjodohan ini, tapi saya juga ingin mengenalmu lebih dekat. Saya ingin membangun hubungan yang didasari cinta, bukan paksaan." Safiyya tertegun. Kata-kata Gus Kenzo menyentuh hatinya. Ia merasa dihargai, dipahami. Untuk pertama kalinya, ia merasakan getaran perasaan yang tak biasa. Perasaan yang membuatnya sedikit gugup, sedikit takut, tapi juga menyenangkan. Perasaan yang baru pernah ia rasakan. "Saya juga ingin jujur," jawab Safiyya, "Saya tak menyangka akan menemukan seseorang seperti kamu. Kamu berbeda dari bayangan saya selama ini. Kamu membuat saya merasa tenang, nyaman, dan aman. Tapi, saya masih harus mempertimbangkan banyak hal. Saya tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan." Gus Kenzo mengangguk, mengerti. "Saya mengerti. Saya akan memberimu waktu untuk berpikir. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa saya serius dengan perasaan saya. Saya ingin menjalani hidup bersamamu, menjalani setiap tantangan bersama, menjalani setiap kebahagiaan bersama." Safiyya tersenyum, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia merasakan sebuah harapan baru bersemi di hatinya. Harapan untuk menemukan cinta sejati, cinta yang tak pernah ia bayangkan akan datang melalui perjodohan. Mungkin, takdir memiliki rencana lain untuknya. Mungkin, di balik bayang-bayang perjodohan yang menakutkan, ada sebuah kemungkinan untuk menemukan kebahagiaan. Safiyya menatap Gus Kenzo dengan tatapan yang penuh harapan. Ia menginginkan sebuah keajaiban, sebuah jalan keluar dari pergulatan batinnya. Ia menginginkan cinta sejati, cinta yang mampu menaklukkan semua keraguan dan ketakutannya. Babak baru dalam kisah cinta Safiyya dan Gus Kenzo baru saja dimulai. Babak yang penuh tantangan, penuh ketidakpastian, tapi juga penuh harapan. Apakah mereka akan mampu menemukan cinta sejati di tengah pergulatan batin dan tekanan keluarga? Atau, apakah perjodohan ini hanya akan menimbulkan luka dan penyesalan? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan itu. Namun, satu hal yang pasti, kisah cinta mereka baru saja mulai ditulis, dan babak-babak selanjutnya akan menentukan takdir hubungan mereka.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.7K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.1K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.1K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.9K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook