"Jadi bagaimana, Pak Agung? Saya sudah sempat datang ke bagian Keuangan bahkan bertanya langsung kepada Kepala bagiannya, tapi dia berkata bahwa semua sudah sesuai dengan hitungan dan ketentuan dari perusahaan. Padahal jelas-jelas kebijakannya tidak seperti itu. 'Anak-anak' saya juga berani mengharapkan bonus itu karena memang mereka tahu ketentuannya sesuai dengan yang mereka tahu. Dan upah kerja yang diberitahukan oleh pihak keuangan adalah upah dari kebijakan tiga bulan lalu yang kemudian direvisi saat bulan lalu."
Anggi menatap serius pada pria yang duduk tenang di depannya. Selama beberapa hari dia sudah dibuat pusing dengan masalah uang bonus yang tidak sampai di tangan anak-anak bawahannya. Padahal seharusnya mereka mendapatkan apa yang sudah menjadi hak mereka saat tanggal gajian tiba, tapi kemudian yang mereka terima hanya lah gaji pokoknya saja.
"Saya mengerti dengan masalah yang ada. Mungkin ada kesalahan dari pihak Keuangan yang gagal memahami tentang bonus yang sudah diperbaharui bulan lalu. Ibu Anggi tenang saja, saya akan langsung melanjutkan masalah ini kepada divisi yang bersangkutan dan akan memastikan bahwa masalah ini akan selesai dengan baik, bawahan Ibu akan mendapatkan hak sesuai dengan banyaknya penjualan yang sudah mereka lakukan."
Kepala Anggi mengangguk puas. Ini lah kenapa dia bersikeras untuk bertemu langsung dengan Direktur perusahaan, karena jika dia hanya berhadapan dengan para bawahan, mereka akan dengan senang hati mengarang banyak cerita dengan mengatasnamakan kebijakan atasan.
"Kalau begitu, saya tunggu kabar baiknya, Pak. Saya berharap masalah ini bisa diselesaikan dalam minggu ini agar anak-anak saya memiliki semangat kembali untuk menjual banyak produk kita."
Anggi tahu betul bahwa sikapnya agak sedikit tidak sopan, apalagi yang ada di depannya adalah seorang Direktur Utama yang menggaji seluruh karyawan. Tapi demi keadilan, dia harus bertindak setegas ini. Dia tidak ingin masalah ini dianggap angin lalu dan berlarut-larut begitu saja.
Dia sangat yakin bahwa ada oknum yang sengaja ingin menggelapkan bonus yang bukan hak mereka, jika Anggi diam saja maka uang itu akan hilang tanpa ada yang tahu.
"Oke. Saya akan cari tahu masalahnya dulu setelah itu saya akan ambil tindakan."
"Terimakasih, Pak. Maaf jika saya malah meminta waktu untuk bertemu di waktu sibuk Bapak."
Anggi kemudian bangun dari duduknya. Dia mengangguk sopan kepada atasannya itu dan juga seseorang yang berdiri dengan setia di belakang Agung.
"Kalau begitu, saya permisi."
Lekas dia keluar dari ruangan, membetulkan pakaian yang dia kenakan kemudian berjalan kembali ke ruangannya.
Baru sampai pintu, dia sudah dihadang oleh dua bawahannya. Dira dan Jasmine.
"Ibu habis bertemu dengan Pak Dirut ya? Bagaimana, Bu? Apa ada kemungkinan bonus kami akan keluar?"
Wajah mereka terlihat putus asa, seakan di benak mereka sendiri sudah menduga jika bonus mereka akan hilang begitu saja.
Anggi yang melihat itu, mengulas senyum tipis sambil mengusap lengan keduanya pelan.
"Kalian tenang saja. Pak Direktur sudah berjanji akan menindaklanjuti masalah ini sampai tuntas. Kalian sudah melakukan penjualan sejumlah dengan rekapan bonus yang sudah disahkan sendiri oleh Direktur, jadi sudah sewajarnya kalian menerima hak kalian sebanding dengan kerja keras yang sudah kalian lakukan. Untuk saat ini, kita tunggu kabar dari atasan dulu. Semoga ada kabar baik dalam minggu ini."
Seakan mendapatkan harapan baru, dua anak itu langsung tersenyum lebar dan mengangguk.
"Baik. Terimakasih banyak, Bu. Kami sangat berterimakasih karena Ibu mau memperjuangkan hak-hak kami."
Tertawa kecil, Anggi kemudian mengangguk.
"Sudah kewajiban saya untuk memastikan kalian mendapatkan apa yang sudah menjadi hak kalian. Sebagai gantinya, sembari menunggu, saya harap kalian tetap semangat dalam bekerja. Jangan patah arang, saya yang akan pastikan hak kalian sampai ke rekening dengan selamat."
*
"Radi..."
Agung memanggil asisten nya itu tanpa menoleh.
"Iya, Pak?"
"Apakah trend belakangan ini memang seperti itu?"
Mendengar pertanyaan dari Agung selepas Anggi keluar, Radi langsung mengerti dengan maksud pertanyaannya.
"Setahu saya, belakangan memang ada istilah tabrak warna dimana orang-orang memadu padankan warna yang berlainan antara pakaian atasan dan basah. Tapi saya rasa, tidak separah yang dilakukan Bu Anggi tadi."
Agung tak kuasa menahan tawa mendengar ucapan Radi. Dirinya memang buta fashion dan hanya tahu warna-warna tertentu saja, namun Agung masih tahu bahwa warna hijau tua dan kuning kunyit sama sekali bukan perpaduan yang tepat dan juga jauh seru kata serasi.
"Saya sendiri baru tahu bahwa ada orang yang seperti itu. Padahal...dia cantik."
Kalimat terakhir diucapkan oleh Agung dengan lirih. Dia tidak berbohong, sekilas dia bisa tahu bahwa Anggi adalah perempuan yang cantik. Hanya saja entah karena memang buta mode dan buta warna atau mungkin ada alasan lain, tapi penampilan dan pakaian Anggi sangat sangat lah norak dan tidak enak dipandang.
"Baiklah, tolong panggil kan Manajer Keuangan sekarang juga." Agung menunduk, menatap pada jam tangan yang dia kenakan. "Masih ada sekitar setengah jam sebelum saya harus pulang ke rumah."
Tanpa mengatakan apapun, Radi langsung bergerak keluar dari ruangan, meninggalkan Agung yang bangkit dan berpindah ke kursi kerjanya. Sebentar lagi dia harus pulang karena ada acara arisan keluarga, acara yang sebenarnya sangat tidak ingin Agung hadiri karena dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi di sana.
Sayang seribu sayang bahwa dia tidak bisa melawan kehendak sang Ayah yang bertindak sebagai penyelenggara arisan itu. Sebenarnya, arisan itu diadakan pertama kali oleh Ibu kandung Agung sejak bertahun-tahun yang lalu, sehingga setelah Ibu kandung Agung meninggal, Ayahnya lah yang didaulat untuk melanjutkan acara keluarga itu.
Tak berselang lama, pintu ruangannya kembali diketuk dari luar. Agung langsung berseru 'masuk', membuat pintu dibuka dan menampilkan Radi yang datang kembali bersama dengan seorang pria muda berkacamata.
"Selamat siang, Pak Agung."
Agung mengangguk sekilas, mengulurkan telapak tangannya, memberi isyarat agar pria itu mengambil duduk di depannya.
"Maaf tiba-tiba saya memanggil anda di jam kerja yang sibuk ini," kata Agung mengawali ucapannya.
Pria di depannya yang Agung ingat bernama Farel itu mengangguk dengan senyum lebar.
"Tidak apa, Pak. Lagipula berkat kerja tim yang solid, saya tidak merasa kesulitan sama sekali."
Agung hanya mengulum senyum tipis sebagai balasan atas ucapan Farel. Kemudian dia menggerakkan layar tablet nya, menampilkan email yang dikirimkan oleh Anggi, yang sebenarnya dirinya sendiri pun belum membaca secara langsung.
"Ada aduan dari Manajer Pemasaran bahwa hak bonus yang seharusnya diterima oleh anak buahnya, malah tidak keluar saat tanggal gajian. Katanya, yang mereka terima hanya gaji pokok mereka saja."
Baru berkata seperti itu saja sudah membuat raut wajah Farel berubah. Pria itu melotot kaget, perlahan keringatnya sedikit demi sedikit turun dari keningnya.
"Ah..itu. Sebenarnya, Ibu Anggi juga sudah bertemu dengan saya, saya sudah menjelaskan semuanya dan saya berpikir bahwa masalahnya sudah selesai. Saya tidak menyangka bahwa ternyata Ibu Anggi membawa masalah ini pada Bapak. Haha.." Farel tertawa, tangannya terangkat mengusap keringat yang ada di wajahnya. "Bapak tidak usah buang-buang waktu memikirkan hal ini, di divisi saya Ibu Anggi terkenal sebagai wanita judes dan tidak tahu caranya berpakaian dengan benar, maka dari itu ucapannya juga tidak begitu benar. Saya sudah melakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan kantor, makanya lebih baik Bapak tidak usah sampai turun tangan. Bu Anggi itu... Seharusnya tidak melibatkan Bapak yang sibuk."
Agung melirik ke arah Radi yang berdiri di sisi ruangan, biasanya Radi memiliki insting yang kuat sehingga banyak kali Agung menggantungkan beberapa kasus pada Radi. Dan melihat Radi yang menggeleng pelan, Agung langsung tahu bahwa yang bermasalah adalah pria di depannya dan bukan Anggi.
"Prosedur dan aturan mana yang Anda gunakan dalam kasus ini?" tanya Agung.
Tampak Farel meneguk ludahnya kasar, sempat memalingkan wajah ke arah lain.
"Bonus penjualan hanya akan dibayarkan jika mencapai target di tengah bulan. Sedangkan anak-anak Ibu Anggi itu baru mencapai target di akhir bulan."
Agung melepas tawa kecil, membuat Farel langsung terdiam dengan wajah pucat pasi.
"Saya sedikit terkejut karena ternyata Anda tidak mengetahui peraturan yang baru. Apa anda tidak tahu peraturan itu sudah dihapuskan dan diganti satu bulan yang lalu karena dianggap tidak relevan? Pembayaran bonus bisa diberikan jika penjualan mencapai target dalam bulan itu, tidak harus tengah bulan. Harusnya sebagai seorang Manajer Keuangan yang di dalamnya bergantung banyak harapan para karyawan, Anda seharusnya yang menjadi paling hapal dengan peraturan ini. karena jika tidak, maka kejadiannya menjadi rumit seperti sekarang. Bisa-bisa divisi Keuangan dan Pemasaran bisa terjadi konflik internal yang juga merugikan perusahaan."
"Ah."
Mungkin Farel kehabisan kata-kata untuk membalas dan menyanggah ucapan Agung. Sudah jelas bahwa dia salah karena alasan yang dia berikan sama sekali tidak masuk akal. Tidak mungkin bahwa dengan jabatan setinggi itu Farel tidak mengetahui perihal peraturan yang berubah.
"Saya berikan waktu dalam minggu ini untuk menyelesaikan hak karyawan yang belum terbayarkan. Saya menunggu laporannya paling lambat hari jumat ini."
Kata-kata Agung yang tegas membuat Farel tidak memiliki pilihan lain selain mengangguk dan menyanggupi permintaan Agung.
Setelahnya, Farel berpamitan dengan wajah yang tertekuk ke bawah.
"Cari tahu apakah ada kasus korupsi di kasus ini. Sepertinya dia menjadi panik karena hak itu dia pakai sendiri," titah Farel pada Radi.
**