4. Panutan

1544 Kata
"Bu Anggi, Terimakasih! Uang bonusnya sudah masuk ke rekening saya kemarin. Semalam saya mau langsung kasih tahu Ibu, tapi takut mengganggu." Anggi yang baru saja tiba di kantornya, langsung menoleh pada salah satu bawahannya. Wajahnya tersenyum cerah, wajah khas orang yang baru saja gajian. Anggi tersenyum, langkahnya dia pelankan saat hendak sampai di meja kerjanya. "Syukur kalau begitu. Saya kan sudah bilang kalau itu memang hak kalian dan kalian berhak mendapatkan nya." Dira mengangguk. Dia sempat menunduk dengan wajah yang tampak ragu. "Begini, Bu. Saya dan teman-teman berniat untuk mentraktir Ibu makan siang sebagai rasa terimakasih karena Ibu sudah mau membantu agar bonus kami keluar. Mungkin memang traktiran dari kami enggak akan seberapa, tapi kami harap Ibu mau menerimanya. Anggi sudah duduk di kursi kerjanya saat dia mendengar ucapan Dira. Awalnya dia merasa hal itu tidak perlu, karena baginya apa yang dia lakukan untuk para bawahannya adalah hal yang sudah seharusnya. Itu adalah tanggung jawabnya sendiri. "Kalian bisa pakai uang itu untuk keperluan kalian saja," tolak Anggi. Tapi wajah Dira justru tampak kecewa setelah mendengar ucapannya. Gadis yang baru bergabung bersama dengan timnya selama enam bulan itu, tampak sangat berharap bahwa Anggi akan menerima ajakannya. Mama setelah menghela napas pelan, akhirnya Anggi mengangguk. "Oke, kalau memang kalian berniat seperti itu. Saya akan ikut." Tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri, Dira sampai bersorak. Sales Marketing itu kemudian buru-buru menutup mulutnya saat sorakannya membuat semua staf Marketing yang ada di ruangan itu menoleh. "Maaf, Bu. Saya akan kasih tahu teman-teman yang lain. Kami akan kirimkan alamat restoran nya nanti." Setelah itu, Dira berlari keluar dari ruangan itu. "Masalah Sales kemarin sudah selesai, Bu?" Mengangkat pandangan dari komputer di mejanya yang baru saja menyala, Anggi tersenyum pada Liora, salah satu staf Marketing di bawah tanggung jawabnya. "Sudah. Saya sempat cemas karena katanya, Pak Dirut itu susah diajak berbicara karena orangnya agak pendiam dan dingin, tapi ternyata enggak begitu. Beliau sangat kooperatif saat saya minta waktu untuk berdiskusi." Liora mengangguk. "Iya, Pak Agung memang baik kok, Bu. Makanya saya heran, kok bisa dia cerai sama istrinya. Kurang apa coba? Sudah tampan, kaya pula. Kan susah cari cowok yang begitu." Anggi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan seperti itu. Enggak ada manusia yang sempurna, kita enggak tahu ceritanya bagaimana jadi terlalu lancang kalau kita mengomentari hubungan pribadi beliau tanpa tahu apa-apa." Liora langsung meringis setelah mendengar ucapan teguran dari Anggi. "Iya, Maaf, Bu. Saya jadi terbawa suasana kalau sudah ngomongin Pak Agung. Mungkin banyak yang enggak tahu, tapi Pak Agung itu kan orangnya baik ke semua mantan pacarnya. Saya denger ini dari asisten keduanya Pak Agung, kebanyakan pacar-pacarnya itu selalu minta putus kalau Pak Agung lamar dia. Berarti kesalahannya bukan di Pak Agung tapi di pacar-pacarnya itu kan, Bu?" Sejujurnya Anggi tidak perduli dengan urusan atasannya. Dia bahkan baru pertama kali bertemu dengan Agung sekali ini karena harus mengurusi masalah bawahannya. Hanya saja kabar yang dia dengar adalah bahwa Agung sebenarnya adalah orang yang menyukai sesama jenis, karena dia akan lebih memilih menolong Radi Sekretaris nya daripada menolong pacarnya sendiri. Itu Anggi dengar dari beberapa orang yang ada di dekatnya. Dan ketika Anggi lihat pria bernama Radi itu yang selalu ada di samping Agung, Anggi sedikit merasa bahwa kabar yang beredar selama ini adalah benar. "Sudah, daripada kamu omongin atasan yang bahkan enggak tahu nama kita, mending kamu kerjain aja pekerjaan kamu supaya kamu enggak harus lembur." Liora cekikikan sambil menutupi mulutnya dengan tangan. "Kalau Pak Agung enggak tahu nama saya sih, saya bisa maklum karena kami ketemu saja cuma beberapa kali dan itu pun cuma sekedar papasan. Tapi kalau Pak Agung enggak tahu nama Ibu, itu sih keterlaluan. Ibu kan Kepala Bagian, apalagi dengan penampilan Ibu yang--" Anggi hanya menarik senyum tipis saat sepertinya Liora kelepasan berujar tentang penampilannya. Dirinya bukan tidak tahu bahwa masih banyak orang-orang yang membicarakan tentang penampilannya di belakang punggungnya, tapi Anggi tidak ambil pusing. Baginya, itu adalah hak mereka. Sama halnya dengan Anggi yang berhak mengenakan pakaian jenis apapun dan dengan warna apapun juga. Jadi selama tidak ada yang mengusik Anggi secara terang-terangan, Anggi tidak masalah. "Maaf ya, Bu. Bukan maksud saya.." "Enggak masalah, Ra. Saya nyaman berpakaian seperti ini jadi saya enggak masalah sekalipun orang-orang membicarakan saya. Jangan dipikirkan." Walaupun Anggi sudah mengatakan seperti itu, namun Liora masih terlihat merasa bersalah. Anggi menarik napas, mengedik ke arah meja kerja wanita itu. "Saya beneran enggak apa-apa. Jadi kamu bisa kembali bekerja." Baru lah setelah mendengar ucapan Anggi itu, Liora mengangguk sekilas dan kembali ke meja kerjanya. Helaan napas berat Anggi, keluar setelah itu. * "Pimpinan LM kembali menghubungi secara langsung ke telepon kantor, Pak. Katanya, beliau tidak bisa menghubungi ke ponsel Bapak." Agung berdecak pelan sambil membuka lembaran dokumen yang ada di hadapannya. "Jelas saja enggak bisa hubungi saya, saya sengaja memblokir nomornya." Radi tidak bisa untuk tidak terkejut saat mendengar ucapan bosnya. Siapa lagi yang berani memblokir nomor selevel pimpinan perusahaan kalau bukan Agung? "Jadi saya harus bagaimana, Pak? Beliau meminta waktu untuk bertemu dengan Pak Agung. Katanya, setidaknya beliau meminta agar Bapak meluangkan waktu untuk makan Siang atau makan malam." Meninggalkan berkas yang sedang dia periksa, Agung kini duduk bersandar santai di kursi kerjanya. "Kenapa ya orang tua itu terobsesi banget sama saya? Padahal anaknya itu udah punya pacar yang sekelas artis terkenal, sedangkan saya cuma duda yang diperbudak buat jalanin perusahaan milik Papanya. Memang apa istimewanya saya dibandingkan dengan pacar anaknya yang masih kinyis-kinyis itu?" Radi masih tetap memasang wajah datar setelah mendengar keluhan dari bosnya. "Saya tidak tahu alasannya apa karena saya tidak dekat dengan keluarga pimpinan LM." Sontak Agung menghela napas berat sambil menatap malas pada Radi. Kalau saja Radi tidak kompeten dalam bekerja, pasti sudah sejak dulu Agung memecatnya dan menggantinya dengan Sekretaris yang lebih banyak menunjukkan ekspresi daripada hanya sekedar wajah datar seperti milik Radi. "Jadwal kan saja makan siang saya dengan pimpinan LM besok siang. Sepertinya dia enggak akan berhenti sebelum saya mengiyakan keinginannya." Radi langsung mengangguk tanpa berpikir. "Baik, Pak. Saya akan atur ulang jadwal untuk besok. Dan soal Farel dari bagian Keuangan--" "Berapa banyak yang dia gelap kan?" tembak Agung langsung. Diamnya Radi adalah bentuk jawaban tak langsung bahwa tebakan Agung adalah benar. Lagipula tikus serakah seperti Farel sudah pasti tidak akan mengambil hanya sedikit apa yang bisa ia ambil. "Sudah dua bulan ini dia sengaja memangkas anggaran untuk kepentingan nya sendiri. Bahkan ada laporan bahwa dia selalu meminta traktiran dari bawahannya setiap akhir bulan. Saya mendengar itu dari salah satu bawahannya." Rasanya Agung geram sekali mendengar laporan dari Radi. Orang seperti Farel adalah orang yang menganggap bahwa senioritas adalah hal paling penting sehingga semakin dia merasa bahwa dirinya adalah senior, semakin dia senang menginjak orang yang lebih di bawahnya. "Setelah makan siang, bawa dia kembali kesini. Orang seperti dia harus mempertanggung jawabkan apa yang dia lakukan." Sekali lagi, Radi mengangguk tanpa kesulitan. Melirik ke arah jam digital yang ada di atas mejanya, Agung kemudian bangun tanpa membereskan dokumen yang ada di atas mejanya itu. Dia mengancingkan jas nya kemudian berjalan ke arah pintu. "Saya akan makan di restauran samping." Begitu ujarnya untuk memberitahu Radi. Dia keluar begitu saja dan membiarkan Radi yang bertanggungjawab atas kekacauan yang dia buat untuk meja kerjanya. Waktu makan siang masih akan tiba lima menit lagi namun Agung sudah akan menuju ke restauran. Dia lapar karena tadi pagi memilih untuk tidak ikut sarapan bersama dengan keluarganya. Dia hanya malas jika harus berada di meja yang sana dengan Ibu dan Adik tirinya yang selalu saja menjilat Ayahnya agar diberikan posisi yang tinggi di perusahaan milik keluarga mereka. Padahal orang-orang yang tidak berkompeten seperti mereka hanya akan menjadi beban dan juga jalan paling mulus untuk membuat perusahaan hancur. Dan ayahnya sangat mengetahui tentang itu. Itu lah alasan Ayahnya selama ini tidak pernah memberikan kepercayaan pada anak tirinya, karena walaupun Ayahnya itu mencintai wanita yang kini menjadi istrinya, namun perusahaan yang sudah dia bangun sejak dulu tetap menjadi prioritas nya. Maka dari itu Ayahnya lebih percaya jika Agung yang menjalankannya. Tiba di restauran, Agung membuka serbet dan menaruh di pangkuannya. Menu yang dia pilih adalah cumi asan manis dan dua porsi nasi untuk makan siangnya. Sedangkan untuk minumnya, Agung hanya memesan air mineral. Dia merasa keputusannya keluar dari kantor sebelum jam istirahat tiba adalah hal yang tepat karena beberapa menit kemudian saat jam istirahat tiba, restauran langsung ramai oleh banyak karyawan yang juga akan makan siang di sana. Untungnya di saat semua doang baru datang, pesanan Agung malah sudah jadi. Agung tersenyum puas. Lekas menyantap pesanan miliknya. Luar biasa! Makan dalam keadaan lapar adalah sesuatu yang paling nikmat sedunia. "Oh! Selamat siang, Pak Agung!" Tanpa sadar Agung langsung menoleh tanpa lebih dulu menutup mulutnya yang sedang mengunyah. Hal itu membuat sosok Anggi yang ada di depannya, mengulum senyum kecil sebelum kemudian menunduk. "Selamat siang, Bu Anggi! Sepertinya anda juga sedang akan makan siang." Anggi tampak mengangguk. "Saya datang bersama dengan anak-anak yang bonus penjualan nya keluar kemarin. Mereka meminta saya ikut makan siang bersama mereka karena merasa berterimakasih, padahal orang yang seharusnya mendapatkan ucapan terimakasih adalah Pak Agung. Karena Bapak yang sudah membantu mereka." Netra Agung langsung terarah pada banyak anak muda yang kini menempati meja panjang di sisi ruangan. Ternyata mereka adalah anak-anak yang haknya sempat digelapkan oleh Farel. "Tidak masalah. Saya ucapkan, selamat makan siang untuk kalian semua!" **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN