5. Makan siang

1534 Kata
"Bu, bukannya itu Pak Agung yang Dirut kita?" Anggi yang tengah duduk di antara Sales lapangan, mengangguki pertanyaan Jasmin. "Benar," jawabnya. Lalu anak-anak itu saling pandang, dengan ragu berbisik pada Anggi. "Boleh enggak sih, Bu, kalau kita ajak Pak Agung buat makan siang bersama?" Anggi langsung terdiam. Sejujurnya dia sendiri tidak memiliki pemikiran seperti itu, lebih tepatnya dia tidak berani untuk mengajak Agung makan siang bersama dengannya. "Mending enggak usah. Barang kali Pak Agung juga sudah memiliki janji makan siang dengan orang lain. Kita akan terlihat enggak sopan kalau sampai mengajak dia makan siang bersama." Untungnya, Anak-anak mau mengerti dengan penjelasan dari Anggi sehingga mereka kemudian hanya sibuk memilih pesanan makanan mereka tanpa mengindahkan keberadaan Agung di sana. Agak sungkan juga untuk makan bersama dengan atasan langsung mereka. Namun baik anak-anak itu maupun Anggi, mereka sama-sama tidak menyangka akan makan siang di tempat yang sama dengan atasannya itu. Yang lebih membuat canggung adalah karena mereka makan beramai-ramai, sedangkan Agung hanya duduk seorang diri sambil memegang tablet di tangannya. "Kayaknya Pak Agung memang makan sendirian ya, Bu?" Kali ini, Anggi menghela napas pelan kemudian bangun dari kursinya. Dia memberanikan diri untuk mendatangi meja Agung, niatnya adalah sekedar menyapa. "Pak, Bapak makan sendirian?" Agung mendongak, kemudian tersenyum tipis. "Sebenernya saya akan makan siang dengan Sekretaris saya, tapi barusan dia mengabarkan bahwa dia harus makan siang di tempat lain. Jadi tebakan Ibu tepat, saya memang makan sendirian." Ah. Anggi semakin merasa tidak nyaman dengan kenyataan itu. Dia bingung antara menemani Agung makan siang atau mengajak Agung bergabung dengan yang lain. "Pak, apa Bapak ada kecenderungan tidak suka makan sendirian?" Tentu saja mendengar pertanyaan darinya, Agung kebingungan. "Memangnya kenapa?" Anggi melipat bibirnya, tampak ragu untuk melanjutkan apa yang hendak ia katakan. "Kalau memang ada yang seperti itu, saya akan menemani Bapak makan. Atau kalau Bapak mau, Bapak bisa bergabung bersama dengan kami." Mata Agung langsung melihat ke arah meja panjang yang tadi ditempati oleh Anggi dan anak-anak nya. "Bukankah kalian sedang mengadakan semacam sukuran? Saya tidak enak kalau harus ikut bergabung. Lagipula, bawahan Ibu pasti juga enggak akan merasa nyaman kalau saya ada di sana." Anggi tidak bisa membantah, karena dia juga berpikir seperti itu. Anak-anak itu tidak akan nyaman jika ada atasan mereka bergabung di meja itu. Apalagi atasan yang satu ini bukan atasan sembarangan. "Kalau begitu, kalau Bapak memang tidak keberatan biar saya yang temani Bapak makan di sini. Ah, saya akan bayar sendiri. Bapak tenang saja." Sejenak Agung terlihat diam, tidak langsung merespon ucapannya. Tapi kemudian sebuah senyum yang mengusik Anggi, terbit di wajahnya. "Saya enggak keberatan. Justru saya merasa tidak enak karena harus menganggu acara makan-makan Ibu dengan bawahan Ibu." "Ah, soal itu. Saya sebenarnya belum memberitahu mereka kalau saya akan makan dengan Bapak. Tapi saya yakin mereka akan mengerti kalau saya memberitahu mereka." Wajah Agung tampak terkejut mendengar ucapan Anggi. Namun Anggi tidak lama menikmati keterkejutan atasannya karena setelah itu dia langsung berbalik badan dan bertemu dengan bawahannya. "Guys! Sory banget karena saya enggak bisa makan satu meja sama kalian. Saya enggak enakan lihat Pak Agung makan sendirian karena Sekretaris nya ada urusan, makanya saya berniat makan di meja Pak Agung." Anak-anaknya langsung mengangguk tanpa keberatan. "Enggak apa-apa, Bu. Tapi nanti biarin kita yang tetap bayarin pesenan Ibu ya?" Sejenak diam, Anggi akhirnya tersenyum sambil mengangguk. "Oke, kalau begitu." Dia sempat melambai kecil pada para bawahannya, lalu bergegas kembali ke meja dimana Agung duduk. Pria itu tampak tenang, melipat kedua tangannya di atas meja lalu tersenyum saat Anggi datang dan duduk di hadapannya. "Semuanya Oke?" Anggi mengangguk. "Mereka bisa maklum." Karena mereka berdua sudah sama-sama membuat pesanan makanan, maka selanjutnya tidak ada obrolan di atas meja itu. Anggi memutuskan untuk makan bersama dengan Agung yang baru dia temui satu kali karena merasa itu adalah hal yang sopan dengan tidak membiarkan atasan makanan sendirian. Tapi ternyata keputusannya malah menciptakan suasana canggung yang tidak main-main. Lalu sesuatu terjadi. Sejak tadi Anggi tidak menyadari karena dia harus berinteraksi dengan Agung dan juga dengan anak-anak nya secara bergantian, tapi setelah keadaannya menjadi hening, semuanya mulai terlihat dan terdengar dengan jelas. Dimana ada beberapa orang yang menoleh ke arahnya sambil berbisik-bisik kemudian tertawa. Ini bukan hal yang baru bagi Anggi, dia sudah sering menghadapi situasi ini puluhan kali, atau bahkan ratusan kali karena penampilannya yang 'berbeda' daripada orang lain. Namun yang mengganggunya saat ini adalah karena dia sedang duduk bersama dengan Agung. Dia tidak mau kalau sampai Agung merasa dipermalukan karena kehadiran nya. Matanya terangkat, menatap ke arah Agung yang kembali fokus pada tablet di tangannya. "Pak, sepertinya Bapak akan lebih nyaman kalau duduk sendirian daripada sama saya. Atau apa saya perlu memanggilkan satu anak saya untuk menemani Bapak makan disini?" Walaupun dia tidak ingin mengatakannya, namun tidak duduk dengan dirinya akan lebih baik bagi Agung. "Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu? Ibu berubah pikiran untuk menemani saya makan disini?" Sesaat Anggi menatap paras atasannya itu. Dia pikir Agung adalah orang yang peka, tapi kenapa dia berbicara seakan tidak tahu dengan keadaan yang sekarang? Keadaan dimana dia menjadi pusat perhatian bukan karena ketampanannya, tapi karena pria setampan dirinya harus duduk bersama dengan wanita aneh seperti Anggi. "Semua orang sedang menertawakan saya dan menertawakan Bapak yang duduk dengan saya." Alis pria itu terangkat naik. "Kenapa?" "Bapak benar-benar tidak tahu?" "Memangnya ada hal apa yang membuat saya harus tahu?" Tanpa sadar, Anggi menghela napas berat. Wajahnya datar saat kemudian dia mengatakan, "Karena saya berpenampilan aneh. Bagi banyak orang, cara saya berpakaian sama sekali tidak terlihat normal." Agung diam, matanya balas menatap serius pada Anggi. "Apakah Ibu sendiri juga berpikir demikian? Tentang penampilan Ibu sendiri selama ini." Bibir Anggi bergerak terkulum, kemudian menjadi menipis. "Saya punya alasan kenapa saya berbuat seperti ini, Pak. Karena itu saya sudah terbiasa. Saya bicara seperti ini karena saya tidak mau Bapak mengalami hal yang seperti ini, menjadi pembicaraan orang lain karena duduk dengan saya." Tangan Agung terlipat di atas meja. "Jadi disini, yang terpenting adalah pendapat saya, bukan?" Anggi diam. "Dan saya tidak merasa keberatan ataupun saya tidak perduli dengan apa yang orang bicarakan tentang saya. Maka, masalah ini saya anggap selesai dan kita bisa makan dengan tenang, kan?" Mendengar ucapan Agung yang tanpa beban, Anggi akhirnya memutuskan untuk tidak perduli juga. "Oke," katanya setuju. * Sore hari, Agung yang seharusnya sedang menekuni banyak berkas tentang surat persetujuan pembangunan rumah bersubsidi, justru hanya memandang kosong pada layar komputer nya menyala. Lalu untuk kesekian kalinya dia menghela napas berat. Menganggu Radi yang sejak tadi memperhatikan atasannya itu dari luar ruangan yang terbuka. "Apa Pak Agung sedang sakit?" Radi menoleh pada Yunita, Asisten pribadi Agung yang duduk bersebelahan meja dengannya. "Tidak tahu. Tapi sepertinya, iya. Baru pertama kali Pak Agung bersikap seperti itu. Orang yang bahkan satu hari setelah cerai masih bisa ikut seminar, justru terbengong-bengong seperti itu sekarang. Apa namanya kalau bukan sakit?" Yunita mengangguk. "Apa saya perlu membelikan obat?" Belum sempat Agung menjawab, sinyal panggilan dari Agung menyala. Segera dia bangkit dan berjalan masuk ke dalam ruangan atasannya itu. "Ada yang bisa saya bantu, Pak? Apa Bapak perlu obat?" Mendengar pertanyaan dari Radi, Agung mengerutkan alisnya. "Obat untuk apa?" "Bapak tampak sakit, jadi saya pikir Bapak memerlukan obat untuk membuat Bapak kembali sehat." Alih-alih menjawab, Agung malah menarik napas berat kemudian duduk bersandar di sandaran kursi. "Menurut kamu, apa alasan seseorang sengaja membuat buruk dirinya sendiri dan menanggung ocehan atau caci maki dari orang lain?" Radi terdiam, dia memandang Agung selama beberapa saat. "Bukankah hal yang tadi Bapak sebutkan terasa tidak normal? Itu berarti, siapapun orangnya harus menemui tenaga profesional untuk berkonsultasi." Lalu Radi mengeluarkan ponsel pribadi dari dalam jas yang dia pakai. "Kebetulan saya punya kenalan seorang Psikolog andal. Apa Bapak berniat membuat janji dengannya?" Agung menatap Radi dengan malas. "Bukan saya yang seperti itu. Apa selama ini kamu melihat saya sengaja berperilaku buruk sehingga orang-orang menghina dan mencaci maki saya?" "Mungkin untuk saya dan orang-orang di kantor ini, tidak. Tapi saya tidak tahu bagaimana dengan mantan-mantan pacar Bapak." Agung langsung berdecak. Berbicara dengan Radi membuatnya kehilangan dua tahun masa hidupnya. Rasanya lelah sekali. "Ya sudahlah. Kamu boleh pergi." Tangan Agung memijat pelipisnya. Dia juga bodoh karena memikirkan masalah ini yang jelas bukan masalahnya. Hanya karena makan siang satu kali dengan Anggi, pikirannya jadi memikirkan perempuan itu terus menerus. Bukan memikirkan dalam artian yang romantis, Agung hanya heran saja bagaimana apa alasan Anggi hingga sengaja mengenakan pakaian yang mencolok setiap harinya. Awalnya, Agung berpikir bahwa Anggi adalah orang yang buta fashion sehingga dia mengenakan apapun yang disukainya tanpa perduli itu cocok atau tidak. Namun melihat reaksi gadis itu yang sadar bahwa dirinya menjadi pembicaraan orang lain karena caranya berpakaian, itu berarti Anggi tahu bahwa apa yang dia pilih adalah hal yang aneh dan dia tetap melakukannya. Bukannya itu bisa dibilang dia sengaja membuat buruk citranya di depan orang lain dengan cara berpakaian aneh? "Tapi kadang ada orang-orang yang tidak suka mendapatkan perhatian orang lain, Pak. Sehingga mereka yang merasa bahwa perhatian dari orang lain adalah sesuatu yang melelahkan, akhirnya membuat diri mereka sendiri menjadi bahan gunjingan daripada menjadi sosok yang bertabur pujian. Tapi bagaimana pun, semua orang pasti memiliki alasannya sendiri." Agung terkejut, dia pikir Radi sudah pergi meninggalkan ruangannya. Namun kalimat yang diucapkan oleh Radi ada benarnya juga. Anggi pasti memiliki alasannya sendiri. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN