Dua

966 Kata
Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya. Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang. Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang. Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana. Rachel benar-benar pergi. Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil berisi bunga lavender masih berdiri di sana, satu-satunya jejak yang tersisa dari kehadiran Rachel. Tangannya terulur, menyentuh kelopak bunga yang mulai layu. Dia ingat betul bagaimana Rachel selalu mengganti bunga itu setiap minggu. Sekarang, tanpa Rachel, bunga-bunga itu mulai kehilangan nyawanya, sama seperti rumah ini. “Sejak kapan, dia keluar dari rumah ini?” gumam Nathan menatap sendu bunga lavender yang mulai layu. Nathan kembali mengamati amplop di tangannya, dia mengeluarkan kertas. Jelas tertera di sana, surat gugatan cerai Rachel padanya. Nathan menatap lembaran kertas di tangannya, dadanya terasa semakin sesak. Tulisan tangan Rachel yang rapi memenuhi halaman pertama, dan di bagian atasnya, jelas tertulis dua kata yang membuat perutnya terasa seperti diaduk, Gugatan Cerai. Matanya menyusuri tiap kata di surat itu, tapi pikirannya melayang ke kenangan mereka. Malam-malam ketika Rachel tertidur di sofa sambil menunggu kepulangannya. Percakapan-percakapan yang selalu ditunda karena kelelahan. Tatapan kecewa Rachel yang selalu ia abaikan dengan dalih Aku akan menebusnya nanti. Tapi sekarang, tidak ada nanti. Nathan menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya ke sofa. “Rachel…” bisiknya, seolah berharap suara itu bisa memanggilnya kembali. “Haruskah seperti ini?” gumamnya dengan suara lirih. *** “Kamu gak pulang?” tanya Laela, adik dari ibunya Rachel. “Tidak, aku nginap lagi di sini, gak apa-apa kan, Tante?” tanya Rachel. “Ya gak apa-apa, Tante ya seneng aja kamu di sini nemenin Tante. Toh, anak-anak Tante pada sibuk semua,” ujar Laela di sana. Rachel tersenyum kecil pada Laela. Wanita itu termenung dengan menatap kosong ke arah kucing yang sedang bermain di depannya. Laela yang memperhatikan Rachel, menghela napasnya sambil bertanya. “Dia sudah kembali, kan?” “Ya. Aku juga sudah memberikan surat gugatan cerai itu. Sekarang hanya tinggal tunggu jadwal persidangan,” jawab Rachel. “Tante tanya sekali lagi. Kamu serius mau bercerai dengan Nathan? Bukannya kalian masih saling mencintai?” tanya Laela. Rachel menundukkan kepala, mengusap jemarinya sendiri seolah mencari ketenangan di sana. Laela menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban yang mungkin masih disembunyikan keponakannya. "Cinta saja tidak cukup, Tante," jawab Rachel akhirnya, suaranya lirih tapi tegas. "Aku sudah terlalu lama merasa sendirian dalam pernikahan ini. Dia yang fokus dengan hal yang dia sukai, sedangkan aku disini menunggu tanpa kepastian dan kesepian,” jawab Rachel terlihat berkaca-kaca di sana. Laela menghela napas, duduk di samping Rachel dan menggenggam tangannya. "Tapi, Rachel... apakah Nathan tahu seberapa dalam luka yang kamu rasakan? Atau dia hanya menganggap ini sebagai keputusan mendadak?" Rachel menggeleng pelan. "Aku sudah memberi Nathan banyak kesempatan, Tante. Aku sudah berbicara, sudah menunggu, sudah berharap. Tapi dia tetap sama, lebih memilih pekerjaan dibanding aku." Kucing di depan mereka berguling malas, seolah tak peduli dengan percakapan berat yang terjadi di antara dua perempuan itu. "Tapi kamu masih mencintainya," kata Laela, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Rachel tersenyum pahit. "Mungkin, tapi apa gunanya mencintai seseorang yang selalu pergi? Aku butuh dia ada disisiku, aku juga ingin anak, tapi dia hanya fokus dengan pekerjaannya. Dan aku semakin merasa diabaikan dan kesepian,” ucap Rachel. Laela tak langsung membalas. Hanya angin malam yang masuk melalui jendela, membawa aroma hujan yang masih tersisa di udara. "Kalau begitu, kamu harus siap menerima apa pun yang terjadi setelah ini," ujar Laela akhirnya. "Jangan sampai ada penyesalan, Rachel." Rachel mengangguk pelan. "Aku hanya ingin mengakhiri ini sebelum aku membenci Nathan." Laela tak bisa membantah. Dia hanya bisa meremas tangan Rachel sedikit lebih erat, berharap keponakannya cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang. "Apa tidak sebaiknya kalian bicara dulu, Hel? Jangan ambil keputusan sendiri, Tante malah makin khawatir melihat kondisimu juga," ujar Laela menghela napasnya. "Apa Nathan tau kondisimu sekarang?" Rachel menggelengkan kepalanya. "Dia gak pernah peduli padaku, Tante. Yang dia pedulikan hanya pekerjaan, dan memberiku uang yang banyak. Hal lain yang aku butuhkan, tidak dia berikan. Aku sadar, aku egois. Tapi, aku hanya ingin merasakan adanya sosok suami di sisiku yang bisa memperhatikan dan mengayomiku setiap saat," ujar Rachel. Laela menatap Rachel dengan sorot mata lembut namun penuh pertimbangan. "Hel, ingin diperhatikan oleh pasangan itu bukan egois. Itu wajar," katanya pelan. Rachel menunduk, memainkan ujung lengan bajunya dengan gelisah. "Tapi aku juga tidak bisa memaksa Nathan untuk berubah kalau dia sendiri tidak sadar apa yang hilang." Laela menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Lalu, kalau kamu benar-benar mengakhiri ini, apa kamu sudah siap dengan semua konsekuensinya?" Rachel terdiam. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, tetapi pertanyaan itu tetap membuat hatinya bergetar. "Aku hanya ingin menemukan kembali diriku sendiri, Tante," jawab Rachel akhirnya. "Aku lelah menjadi istri yang tidak dijadikan rumah, melainkan hanya persinggahan sementara. Aku lelah berbicara dengan dinding yang tak pernah benar-benar mendengarku." Laela menggenggam tangan Rachel, memberikan kehangatan yang tak bisa ia dapatkan dari suaminya sendiri. "Kalau begitu, pastikan kamu kuat, Hel," ucap Laela. "Dan kalaupun kamu memutuskan pergi, jangan pergi dalam keadaan marah atau benci. Pergilah dengan hati yang damai." Rachel mengangguk pelan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya, apakah perpisahan benar-benar satu-satunya jalan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN