Satu
Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam.
Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu.
"Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.
Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."
Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."
Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"
Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi.
Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rachel, seperti keraguan, perasaan, atau harapan kecil bahwa Rachel akan berubah pikiran. Tapi dia hanya menemukan kepastian dalam sorot mata istrinya.
"Rachel…"
Rachel menarik napas panjang, menahan detak jantungnya yang tak beraturan. "Ayo bercerai, Kapten."
Nathan menatap amplop itu tanpa menyentuhnya. Hujan di luar semakin deras, menambah kesan dingin yang menggantung di antara mereka.
"Kamu yakin ini yang kamu mau?" suaranya lebih lembut, nyaris berbisik.
Rachel mengangkat dagunya. "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku lelah, Nathan. Aku lelah menunggumu pulang hanya untuk melihatmu bersiap pergi lagi."
Nathan mengembuskan napas panjang. "Kamu tahu pekerjaanku bukan sesuatu yang bisa kutinggalkan begitu saja."
Rachel tertawa kecil, getir. "Dan aku juga bukan seseorang yang bisa terus menunggu tanpa kepastian."
Nathan mengusap wajahnya, mencoba meredam perasaan yang bergejolak. "Jadi, ini tentang kepastian? Rachel, aku mencintaimu. Itu tak pernah berubah."
Rachel menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Cinta itu indah, Nathan, tapi aku butuh lebih dari itu. Aku butuh seseorang yang hadir, bukan hanya seseorang yang sesekali pulang untuk kemudian pergi lagi. Jujur saja, lima tahun pernikahan kita, aku hanya mendapatkan kehampaan dan kesepian yang tak berujung," ucap Rachel dengan tatapan mata yang berkaca-kaca.
Sunyi menggantung di antara mereka. Di luar, pesawat-pesawat terus lepas landas, menciptakan kebisingan yang ironis, persis seperti hidup mereka. Nathan yang selalu terbang, dan Rachel yang selalu tinggal.
Nathan akhirnya mengambil amplop itu. Jemarinya terasa berat saat membukanya. Matanya menyapu isi dokumen, sebelum akhirnya menatap Rachel lagi.
"Kalau aku memintamu untuk mempertimbangkannya lagi… apa itu sia-sia?"
Rachel tersenyum, tapi kali ini ada luka di dalamnya. "Jika kamu bisa memberiku satu alasan untuk bertahan, Nathan… dan mungkin aku akan mempertimbangkannya."
"Apa alasan karena aku mencintaimu, tidak cukup?" tanya Nathan.
Rachel tersenyum pahit di sana. "Kamu sangat tau apa yang aku inginkan, Nathan."
Nathan terdiam. Kata-kata menggantung di tenggorokannya, tapi tak ada yang keluar.
Rachel menghela napas. "Aku mengerti."
Lalu, tanpa menunggu jawaban, dia berbalik pergi, meninggalkan Nathan yang masih berdiri dengan amplop perceraian di tangannya. Rachel menyeka air mata yang luruh membasahi pipinya.
Dia pikir, pernikahan itu akan terasa indah, tapi kenyataannya, hanya rasa sepi dan kehampaan yang terus dia terima hingga saat ini.
Nathan berdiri terpaku di tempatnya, memandangi punggung Rachel yang semakin menjauh. Amplop putih di tangannya terasa lebih berat dari seharusnya, seolah membawa seluruh beban yang selama ini ia abaikan.
Dia ingin berlari, ingin memanggilnya kembali, tapi kakinya seperti tertanam di lantai bandara.
Rachel tak menoleh sedikit pun saat melewati pintu keluar. Mantel cokelatnya berkibar tertiup angin malam, meninggalkan jejak kenangan yang tak bisa Nathan hapus begitu saja.
***