Menata Hati

1176 Kata
Tak ada lagi cinta Yang ada hanya luka Kini, biarlah aku yang menepi Untuk menata hati -Laras- "APA?! SERIUS? Beneran, Ras?" Suara Windy di ujung telepon begitu nyaring saat Laras menceritakan kondisi rumah tangganya. "Iya serius, Win. Masa aku bohong?" "Tapi kenapa, Ras? Selama ini kalian baik-baik aja, kan? Tahun lalu kalian baru pulang umroh, loh. Jangan bilang Raihan kecantol valak, ya!"  "Valak?" Laras mengernyit tak paham maksud Windy, sahabatnya.  "Iya, Valak!" "Valak bukannya hantu di film The Conjuring?" "Ya elah, bukan Laraaaas ... Valak itu plesetan pelakor." "Oh. Hh ... aku juga nggak tau, Win. Mas Raihan cuma bilang udah nggak bisa nerusin hubungan ini karena nggak ada cinta buat aku, Win." "Apa dia bilang?! Nggak cinta?" "Iya, Mas Raihan cuma bilang kalau setelah empat bulan nikah udah ngerasa nggak cocok sama aku. Yah, kamu tahu sendiri, kan, Win, kami nikah karena perjodohan. Dia bilang udah berusaha buat cinta sama aku, tapi nggak bisa." "Heh? Dia bilang apa? Empat bulan udah nggak cocok? Helooo ... nggak cocok dan nggak cinta tapi jadi anak itu gimana konsepnya, Buambaaaang?!" Windy semakin berapi-api. Bagaimanapun Windy tahu persis Laras, sahabat karibnya selama bekerja di bank itu begitu menurut saat orang tuanya menjodohkannya dengan Raihan. Bahkan Laras mengambil keputusan berani untuk meninggalkan mimpinya berkarir di industri perbankan demi mengabdi sebagai istri korp pasukan khusus.  Namun, kini Windy tak percaya nasib buruk yang menimpa sahabatnya. Padahal dulu, Laras pun sama sekali tak punya rasa untuk Raihan. Karena Laras sudah punya lelaki yang dicintai. Tapi, demi baktinya pada orang tua, Laras pun memutuskan berpisah dengan kekasihnya dan menerima pinangan Raihan.  Windy pun jadi saksi, betapa Laras benar-benar belajar menjadi seorang istri yang baik melayani suami secara lahir dan batin. Hingga akhirnya tumbuh benih cinta di hati Laras untuk Raihan. Tapi apalah daya, selama ini cintanya ternyata hanya sepihak. "Terus keluarga udah tahu?" Laras menggeleng seolah Windy bisa melihatnya.  "Aku belum siap, Win. Aku nggak tega lihat Mama kalau sampai tahu anak perempuannya ditalak. Padahal, Papaku aja belum genap 40 hari meninggalnya. Kuburan Papa masih basah, Win ...." kini Laras tak bisa lagi membendung tumpahan aliran bening yang sedari tadi ia tahan. Bukan, bukan air mata untuk Raihan. Tapi untuk mendiang Ayah dan juga Ibunya. Ia merasa menjadi anak yang kurang berbakti pada orang tua karena telah mengecewakan mereka. Perceraiannya dengan Raihan pasti akan menorehkan luka baru bagi Ibunya yang baru saja ditinggal pergi selamanya oleh Ayah. "Mas Alvin?" Windy menanyakan kakak Laras.  "Belum ada yang tahu selain kamu, Win. Aku pengennya biar Mas Raihan aja yang bilang dan kembaliin aku ke keluargaku. Sama kayak waktu dia dan keluarganya datang kerumah minta aku jadi istrinya." "Iya, lah! harusnya juga gitu! Dia yang mulai, dia juga yang mengakhiri. Harusnya dia gentle dong, ngomong langsung sama Mas Alvin sama Ibu. Kesel banget gue, Ras! Pengen gue tonjok beneran si Raihan itu. Maunya apa sih?" Emosi Windy masih membara. "Si Raihan mau cari yang kayak gimana lagi coba? lo tuh udah jadi istri sempurna, full time momy, jago masak, pinter fotografi, hobi dekor rumah, rajin berkebun. Duh ... istri idaman banget deh. Gue aja iri sama lo, Ras. Heran, si Raihan kok bisa-bisanya nggak cinta sama lo! Gue yakin ada cewek lain deh!" "Nggak boleh nuduh gitu, Win. Kan, belum ada bukti. Lagian selama ini Mas Raihan masih baik kok ke aku sama anak-anak. Nggak ada yang aneh-aneh." "Ck! namanya maling mana ada yang ngaku, Ras? Eh, btw, lo pernah ngecek isi HP Raihan nggak? riwayat chatnya, galerynya, panggilan terakhirnya, gitu. kali aja ada yang mencurigakan atau ada nama sama foto cewek?" "Nggak pernah, Win. Lagian Mas Raihan itu orangnya tertutup, aku juga nggak tahu password HP-nya apa, dan ... nggak pengen tau juga, sih." "Ya, ampun ... Dania Larasati ... sepuluh tahun kalian ngapain aja? kok bisa-bisanya password HP laki lo sendiri nggak tau ..." "Ya, memang kenapa? memang harus banget tahu? Toh, Mas Raihan juga nggak pernah ngecek HP aku. Ya, aku sih percaya sama dia, Win." "Iya, lo percaya, tapi tuh prajurit cebong apa iya bisa jaga kepercayaan lo? nggak ada jaminan, Ras!" Laras menghela napas mendengar celotehan Windy. Kadang ucapan Windy yang ceplas ceplos memang cukup masuk akal. Selama ini, Laras memang sangat menjaga privasi Raihan, ia tak pernah menyentuh barang pribadi milik suaminya seperti handphone dan dompet. Kecuali memang diminta Raihan  untuk mengambilkannya. "Terus, rencana lo gimana sekarang, Ras?" "Kayaknya aku harus mulai cari rumah kontrakan, Win. Bantuin cari ya, kalo bisa yang lokasinya nggak jauh dari sekolah anak-anak, biar hemat ongkos." "Lah, kok jadi lo yang nyari kontrakan? bukannya kata lo Raihan udah pergi, punya tempat tinggal sendiri?" "Ini kan rumah dinas, Windy, kalau aku udah bukan jadi istri prajurit ya nggak ada hak lagi dong aku tinggal disini." "Hh ... Laras ... Laras ... gue nggak ngerti lagi hati lo terbuat dari apa sih? kok bisa kuat banget?" "Alhamdulillah, made in Allah, Win." "Iya, sih bener. Maksud gue, kenapa lo bisa kuat banget ngadepin ini semua? Belum sebulan bokap lo meninggal, sekarang lo ditalak sama suami dengan alasan nggak cinta, sedangkan kalian udah punya anak tiga. Gue nggak tahu deh, kalau itu gue yang ngalamin bakal sekuat lo atau nggak." "Setiap orang punya ujian dan episode hidupnya masing-masing, Win. Doain aja biar aku tetep kuat dan anak-anak tetep bisa bahagia walaupun orang tuanya nggak utuh lagi." "Iya, Ras. Pasti ... selalu gue doain buat kalian. Nanti gue sekalian cariin rumah baru buat kalian yah, mau sekalian sama tuan rumah yang ganteng dan tajir nggak? hihihi." "Apaan sih, Win? baru juga tiga hari aku ditalak, masa iddah aja belum habis. Nggak kepikiran buat kesana." "Namanya juga usaha, Ras. Yang penting status lo sekarang kan single. Raihan juga nggak berhak larang lo buat kenalan sama cowok lain, kan. Aha! kayaknya gue punya deh stok nasabah duren plus tajir, Ras. Tar gue kenalin, yah." Windy malah antusias ingin mengenalkan Laras dengan nasabahnya. "Windy Maulidaaa ... udah deh fokus cariin aku rumah dulu." "Hihihi ... Iya ... Iya ... Bunda Aidan. Besok sabtu gue maen deh, kangen juga sama Aidan dan si kembar." "Iya, sini maen yah, ajak Arshila juga. Anyway, makasih banyak ya, Win, udah mau dengerin curhatan aku dan mau bantuin cari rumah kontrakan," ucap Laras tulus. "Anytime, Ras." Laras pun mengakhiri panggilan dengan Windy. Ini adalah malam ketiga Laras menjanda. Sengaja ia menelepon sahabat cablaknya untuk meringankan beban berat yang kini ia pikul sendiri. Anak-anaknya sudah terlelap, dan kini Laras merasakan hampa di kamarnya. Dielusnya kasur di sisi kanan yang biasa Raihan tiduri.  Tak terasa bulir bening kembali meluncur dari pelupuk matanya. Bayangan wajah Almarhum Ayahnya, Ibunya, Kakaknya yang pasti akan sedih dan kecewa berkelebat bagai potongan cuplikan film horor baginya. Namun, cepat atau lambat keluarganya harus dan pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan biduk rumah tangganya.  Esok, Laras harus bisa bangkit memulai hidupnya yang baru menjadi single parent dan kembali menata hati yang telah hancur berkeping. Ibu muda tiga anak itu yakin akan temukan indah dan bahagia di depan sana.  "Maafin Laras, Pa, Ma, Mas Alvin. Laras nggak bisa jaga amanah Papa." Laras menangis tergugu memeluk diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN