Undur Diri

1339 Kata
Yowes ben tak lakoni nganti sak kuat-kuate ati Pesenku mung siji, sing ngati-ati Isoku mung mendem esuk tekan sonten Mergo sadar diri kulo, dudu sinten sinten Yowes ben mung tak pendem roso sing ono ing njero dodo Tetep tak dongakno mugo urip mulyo Isoku mung nyuwun mugo ora getun Cekap semanten maturnuwun -Dalan Liyane- Menjadi bagian keluarga besar Raihan adalah salah satu anugerah tersendiri bagi Laras. Mengingat di keluarganya hanya terdiri dari dua bersaudara, berbeda dengan Raihan yang merupakan putra sulung dari lima bersaudara. Sehingga membuat Laras selalu betah jika sedang berkumpul bersama keluarga besar Raihan. Hari ini, Raihan mengajak Laras bersama ketiga anaknya pergi ke kampung halaman Raihan di Lampung. Selain menghadiri acara lamaran adiknya, Raihan juga bermaksud untuk membicarakan perihal hubungannya dengan Laras kepada keluarga besarnya. "Papa ... Papa ... Itu kapalnya gede bangeeeet ..." seru Aidan yang duduk di kursi penumpang depan, kala mobil yang mereka tumpangi memasuki kawasan Pelabuhan Merak dan akan menyeberangi Selat Sunda menuju Pulau Sumatera. "Iya, Nak. Nanti mobil kita masuk ke kapal itu. Tuh, kayak gitu ..." Raihan menunjuk sebuah kapal yang sedang me-loading mobil penumpang. "Waaah ... Kereeen ..." pekik bocah SD itu dengan mata berbinar. "Horee ... Horee ..." kini duo kembar yang dikucir kuda pun ikut berlompatan kegirangan di jok belakang bersama Laras. Perempuan berjilbab marun itu hanya tersenyum getir, karena ia sadar, ini adalah momen terakhirnya bisa berkumpul menjadi satu keluarga utuh bersama Raihan dan ketiga anaknya. ***** "Bu ... Pak ... saya mau bicara sesuatu." Raihan membuka suara saat semua sudah berkumpul di ruang tengah, kecuali ketiga anaknya yang sedang bermain gadget bersama adik bungsunya, Radit, di kamar. Laras sudah menyiapkan hati untuk momen ini, ia berjanji dalam hati tak ingin terlihat lemah di depan keluarga besar Raihan. Ia juga tak mau dikasihani atas nasib buruknya menjadi seorang janda tiga anak. "Saya dan Laras ... sudah sepakat untuk berpisah." Kalimat Raihan sontak membuat seisi ruangan terkejut, terutama Ibu Hesti, Ibunda Raihan. Ketiga adik Raihan yang perempuan segera menghambur ke arah Ibu Hesti yang tiba-tiba napasnya tersengal dan memegangi dadanya. "Ibu ... " pekik seisi ruangan kompak, Laras pun tak kalah panik. Ayah Raihan hanya menggeleng, melihat kekacauan di rumahnya akibat ulah Raihan. "Sini ... sini ... biar Mas bawa ke kamar," dengan sigap Raihan membopong ibunya masuk ke kamar. Ketiga adiknya gerak cepat memberi pertolongan pertama. Rasti, adik pertama segera mengambil minum air hangat. Resti, kembaran Rasti, segera membuka jilbab dan melonggarkan pakaian ibunya. Dan Rania yang baru saja dilamar kekasihnya, sibuk mengipas untuk memberikan udara segar. Laras pun tak ketinggalan memijat kaki wanita yang masih menjadi ibu mertuanya. "Ibu ... minum dulu, Bu," Rasti sudah datang dengan segelas air putih hangat di tangan. Perlahan Resti dan Rania mencoba membangunkan Ibu Hesti agar bisa duduk dengan punggung bersandar pada bantal di kepala ranjang. Ibu Hesti akhirnya menurut dan meneguk air putih hangat hingga tinggal setengah. Napasnya sudah berangsur teratur, tapi tubuhnya masih lunglai. Hatinya terasa mencelos, napasnya mendadak sesak saat mendengar kalimat yang dilontarkan putra sulungnya. "Kamu kenapa, Le? Kalian ada apa?" Ibu Hesti akhirnya buka suara, meski dengan susah payah dan suara bergetar. Laras hanya diam, menunduk. Ia ingin Raihan lah yang menjelaskan duduk perkara rumah tangganya. Karena dari awal, memang Raihan yang bersikeras meminta untuk berpisah. "Kami sudah sepakat, Bu. Kami sudah nggak bisa melanjutkan pernihakan ini. Tapi, Raihan janji akan tetap tanggung jawab menafkahi anak-anak. Dan Laras juga setuju. Iya, kan, Ras?" Kini semua menoleh ke arah Laras, termasuk Pak Abidin, Ayah Raihan yang sudah berdiri di ambang pintu, ikut menyimak. Ingin rasanya Laras berteriak 'tidak setuju!', tapi apa daya Raihan sudah membuangnya seperti sampah setelah mendampingi prajurit itu selama satu dekade. Laras hanya mengangguk lemah dan senyum yang dipaksakan. Sekuat tenaga perempuan berjilbab itu menahan cairan luka yang bisa meluncur kapan saja dari pelupuk matanya. "Mbak Laras ... " Rania yang duduk di samping Laras menarik kakak ipar kesayangannya ke dalam pelukan. Akhirnya pertahanan Laras jebol, air bah kini tumpah membanjiri pipinya. Bukan, bukan menangisi kepergian Raihan. Tapi, kehangatan keluarga besar ini lah yang membuat Laras merasa begitu berat hati. Laras pun menangis di pelukan adik iparnya. Si kembar Rasti dan Resti pun ikut menghampiri dan menyatukan diri dalam pelukan. Ketiga adik Raihan itu mentransfer kekuatan untuk ibu dari ketiga keponakannya yang lucu. "Sudah kamu pikirkan baik-baik semua ini, Raihan?" suara bariton Pak Abidin menginterupsi isak tangis di dalam kamar. "Sudah, Pak," jawab Raihan mantap, yang membuat Ibu Hesti semakin melemah. "Memangnya nggak bisa pakai cara lain selain bercerai?" Ibu Hesti masih penasaran. Raihan hanya menggeleng. Laras dan ketiga adik Raihan masih sibuk menyeka air mata dengan tisu. "Laras ..." panggil Ibu Hesti. "Iya, Bu ..." Laras mendekati nenek dari ketiga anaknya. "Maafin Ibu sama Bapak yah ..." kini Ibu Hesti menarik Laras dalam pelukan. Lagi-lagi hati Laras melemah jika melihat ibu mertuanya menangis tersedu. Ia pun kembali menumpahkan segala rasa yang menyesakkan d**a di pelukan wanita yang sudah ia sayangi seperti ibu kandungnya sendiri. "Maafin Ibu sama Bapak nggak bisa didik Raihan dengan baik ..." dua perempuan beda generasi itu masih terisak bersama. Raihan hanya diam terpaku. Pak Abidin mengehela napas dan menggeleng berkali-kali. Sementara ketiga adik perempuan Raihan masih saling berpelukan dengan tangan sibuk menyeka cairan bening. "Ibu nggak boleh ngomong gitu ... Ibu sama Bapak sudah hebat, bisa membesarkan anak yang hebat dan membanggakan kayak Mas Raihan." Laras mengusap air mata di pipi ibu mertuanya. "Maafin Raihan, ya, Nduk," Laras mengangguk dan mencium tangan Ibu Hesti. "Ibu jangan sedih, kan Ibu masih tetep jadi Ibunya Laras, neneknya Aidan, Shifa sama Shafa. Nanti ... Laras tetep akan ajak anak-anak main ke sini ketemu kakek, nenek sama om dan tante-tantenya." Laras tersenyum, senyum yang membuat Ibu Hesti semakin merasa bersalah dan terenyuh. "Kalau Ibu sama Bapak dan adek-adek kangen sama Aidan, Shifa dan Shafa juga boleh kok maen ke Jakarta." Lagi-lagi senyum tegar Laras justru menambah luka di hati ibu paruh baya itu. "Justru Laras yang minta maaf sama Bapak, sama Ibu dan adek-adek. Laras minta maaf belum bisa jadi istri yang baik buat Mas Raihan ..." keduanya kembali berpelukan dengan isak yang tertahan. ***** "Terima kasih, sudah mau bantu nenangin Ibu." Laras terperanjat saat sebuah suara bass menginterupsi dunia khayalnya. "Belum tidur?" tanya Raihan, yang hanya dijawab gelengan kepala tanpa menoleh. Keduanya kini berdiri di balkon kamar Raihan yang menghadap pemandangan pegunungan gelap. Kamar yang dulu menjadi saksi kehangatan keluarganya setiap berkunjung ke Lampung. Malam ini, sengaja Laras ingin menikmati momen terakhirnya sebagai menantu di tengah keluarga besar Bapak Abidin dan Ibu Hesti. Karena kelak, jika Laras kembali berkunjung lagi ke sini, tentu statusnya hanya sebagai tamu. Apalagi jika Raihan nanti sudah menemukan penggantinya, pasti kamar ini bukan lagi menjadi haknya. "Minggu depan aku mau ngomong sama Mas Alvin sama Mama juga." Laras memejamkan mata dan mencengkram pagar balkon kuat-kuat yang menjadi sandarannya. Berharap bisa menopang tubuhnya yang kian melemah. Perempuan berjilbab bergo itu tak kuasa membayangkan bagaimana reaksi Kakak dan Mamanya jika Raihan mengatakan niatannya untuk berpisah. Melihat reaksi Ibu Hesti yang sempat pingsan dengan napas tersengal saja sudah membuat Laras begitu ngeri dan ketakutan yang amat sangat. Laras tak mau Mamanya justru semakin terpuruk karena mendapat berita duka atas kandasnya pernikahan putri kesayangannya. Padahal, Mamanya baru saja kehilangan belahan jiwanya. "Apa nggak bisa ditunda dulu sampai selesai acara 40 harian Papa?" kini Laras menoleh ke kanan, berharap ada sedikit rasa iba untuknya yang masih dilanda duka kehilangan sosok ayah tercinta. Raihan menggeleng dan berkata, "lebih cepat lebih baik, Ras." Hati Laras kian terasa perih, rasanya tak ada lagi yang bisa diharapkan dari rumah tangganya bersama Raihan. 'Ya, lebih cepat, lebih baik, lebih cepat juga aku menyembuhkan diri,' gumam Laras dalam hati. "Tidur lah, udah malem," Raihan lalu berlalu meninggalkan Laras sendiri di balkon, sejenak laki-laki tinggi tegap itu berhenti di sisi ranjang lalu menciumi anak-anaknya. Setelahnya ia berlalu di balik pintu. "Kuatkan hamba, Yaa Allah ..." lirih Laras berdoa. Ia sudah ikhlas jika ini memang ketetapan takdir yang harus dijalani. Ibu muda itu hanya bisa pasrah dan meminta kekuatan agar mampu melewati episode di lembar cerita hidupnya selanjutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN