03

2500 Kata
Perhatian : bab ini memakai alur mundur.   * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   Hari itu, cuaca Jakarta benar-benar mengasikkan. Mengingat biasanya pukul delapan pagi saja matahari bisa sangat menyengat di permukaan kulit, kali ini tidak begitu. Entah apa maksud Tuhan tapi Dava jelas senang bukan main. Ia baru bangun pukul sepuluh di hari Minggu. Rumahnya yang memang lebih sering sepi karena orang tuanya kini pindah sementara ke Hongkong untuk suatu urusan pekerjaan yang Dava tak mengerti, cowok itu memutuskan untuk olahraga di halaman depan. Dari situlah ia tahu bahwa langit memang sedng cantik. Padahal pukul sepuluh tapi hawanya masih sejuk. Niatnya untuk olah raga benar-benar ia lakukan. Namun hanya sekiatr sepuluh menit saja karena tiba-tiba ia mempunyai rencana lain untuk menghabiskan weekend kali ini. Dengan tubuh atas yang tak berbalut apapun, Dava duduk di kursi meja makan dengan ponsel di tangan. Ia mengetik suatu pesan untuk sang kekasih. To : Giselle Afreea W senggang? ketemuan yuk pengen berduaan sent.   Bukan Gisel namanya kalau pesan dari seseorang akan dibalas cepat sekalipun genting. Bahkan usai Dava mengoles selai pada roti, menghabiskan empat lembar sendiri, minum air putih, kemudian membawa ponselnya menuju lantai dua, dan sampai selesai mandi, Gisel belum juga meemberi balasan. Ia hampir saja nekat melakukan panggilan telepon ketika akhirnya benda persegi panjang itu bergetar. From : Giselle Afreea W kemana?   To :  Giselle Afreea W lo pengennya kemana gue ngikut   From : Giselle Afreea W yeu dasar ya udah gue ke rumah lo aja katanya pengen berduaan? :P   Dava terkekeh geli membaca balasan terakhir dari Gisel. Ia kemudia mengirimi balasan berupa utusan agar Gisel segera datang ke rumahnhya karena Dava rindu berat. Selesai dengan Gisel, Dava mengambil kaosnya asal di lemari. Memilih warna hitam polos untuk ia pakai hari ini dengan bawahan celana rumahan selutut. Ia melipat selimut di kasurnya asal-asalan, karena Dava memang tidak bisa melipat selimut apa lagi membereskan rumah. Ini hari Minggu yang artinya pembantu di rumahnya tak datang. Itu berarti Dava juga harus membersihkan rumah seorang diri. Cowok itu mengamati kamarnya yang berantakan, Sebenarnya ini bukan kali pertama Gisel ke rumahnya, jelas. Rumah Dava adalah saksi bisu yang selalu jadi tempat mereka berdua bermesraan ria tanpa diganggu siapapun. Dava menunduk, mulai memunguti sampah yang berceceran di lantai. Ia memang tak pernah diajarka orang tuanya untuk bersih-bersih sendiri, tapi bukan berarti Dava sejorok itu sampai membiarkan tamu datang ke rumahnya untuk melihat rumah yang lebih bisa disebut kapal pecah. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * ** * * * * * * * * * * * * *  Butuh sekitar lima belas menit lebih sedikit sampai akhirnya rumah Dava sedikit bersih dan nyaman untuk dilihat. Walaupun sedikit. Tepat ketika Dava akan mengambil remote TV di sofa, baru juga membungkuk, suara bel rumahnya berbunyi.“Dav!” Oh, Gisel. Dava melangkah cepat untuk membukakan pintu yang tak sengaja ia kunci dari dalam. Lupa kalau ia akan kedatangan Gisel. “Tumben banget, sih, dikunci?” adalah komentar Gisel ketika Dava baru saja membuka pintu. “Iya, lupa.” Gisel masuk ke dalam rumah seiring Dava yang menutup kembali pintu di belakang punggung gadis itu. Kali ini, ia sengaja mengunci pintu. Tidak ada niat tersembunyi, sih. Tetangga di kawasan rumahnya suka julid kalau ada tamu ke rumah Dava. Jadi dari pada jadi bahan ghibah emak-emak, mending dikunci aja biar gak kelihatan. “Udah makan?” Gisel menaruh satu persatu kantong plastik yang ia bawa di meja makan. Dava mendekat. “Belum. Lo bawa apa, sih, banyak banget?” “Camilan,” Gisel mengeluarkan satu plastik foam dan menyerahkannya pada Dava. “Dan bubur. Gue udah nebak, sih, elo belum sarapan. Ini kan hari Minggu.” “Jadi inisiatif sendiri bawain buat gue?” “Iya.” Dava mengecup pipi Gisel dari belakang. “Makasih.” “Sama-sama.” “Beli cuman satu buburnya?” Gisel menoleh ke Dava yang tahu-tahu sudah duduk anteng di sofa ruang tengah. “Iya. Mau dibeliin lagi?” “Bukan. Elo udah sarapan emangnya?” “Udah.” “Ya udah ini gue abisin sendiri.” Gisel hanya berdeham. Tangannya dengan cekatan mengambil piring di rak dapur, menaruh beberapa camilan hangat yang ia beli disana, kemudian membawanya ke ruang tengah. Gisel mengambil duduk di samping Dava yang asik makan. “Ada film baru gak?” Dava menoleh sekilas sebelum lanjut menyuap. “Ada.” “Jangan yang horror.” Dava nyengir. “Hehe. Nonton yang horror aja, sih, biar elonya mepet mulu sama gue.” “Hih, maunya.” Gisel membuka laptop yang sudah disediakan Dava di atas meja. Ia duduk di atas karpet bulu sedangkan Dava di sofa atasnya. “Jangan duduk situ. Sini aja naik.” “Gak mau. Gini aja.” “Ye, guenya mau deket-deket. Sini.” “Lo nya aja yang sini.” Satu cubitan kencang di pipinya membuat Gisel mengerang. “Duh, sakit!” “Lagian.” Usai Dava menaruh foam bubur ayamnya di meja samping laptop, ia akhirnya menuruti kata Gisel, Dia duduk di samping gadis itu, di atas karpet tebal. Sebenarnya cowok itu mudah masuk angin, tapi karena keinginannya buat mesra-mesraan sama gisel lebih gede dari pada ketakutannya masuk angin, jadi dia milih opsi pertama. Gisel memilih film acak pada berbagai daftar barsi juddul film di salah satu folder milik sang kekasih. “Ini bukan horror, kan?” tanyanya usai menekan tombol play dan backsound film mulai terdengar. “Bukan. Ini, mah, genre fantasy.” “Okay.” Giel menyamankan posisi duduknya. Kaki yang semula ebrsila itu ia ubah jadi merapat dua-duanya. Ia menaru kepala di bahu Dava yang langsung dibalas dengan rangkulan erat. “Mau diambilin selimut?’ tawar Dava. “Enggaklah. Ngapain siang-siang selimutan. Aneh deh.” “Sensi amat lo.” “Ye, emang bener kan? Jakarta siang-siang ngapain pakai selimut coba.” “Iya, iya serah. Udah diem, tuh filmnya udah mulai.” “Mana ada?! Masih prolog.” Dava tak membalas lagi. Ia membelai rambut halus Gisel selagi matanya fokus menonton film yang ia saja tak tahu judulnya apa. Dava bukan tipe manusia yang suka menonton film, to be honest. Kalau bukan ia mempunyai kekasih yang sangat hobi melihat orang memainkan sebuah peran, Dava gak akan susah payah minta ke Agas buat ngirim film-film yang dia punya ke flashdisk nya. “Lo udah pernah nonton belum?” Gisel membuka suara. “Apa?” “Filmnya.” ‘Udah.” Dava bohong tanpa alasan. Padahal boro-boro mau nonton film, dia buka laptop aja males setengah mati. “Jangan spoiler, ya!” ancam Gisel sembari menjauhkan kepala dari pundak Dava. “Lo kan demen banget spoiler.” “Hahaha. Iya-iya.” Ada quotes tak bertuan yang biasa orang-orang temukan di aplikasi Pinterset, i********:, Line atau lainnya yang bilang, “Nonton film berdua sama pacar di rumah adalah sebuah kebohongan besar.” Dan itu terbukti benar kali ini. Sekitar sepuluh atau lima belas menit awal film dimulai, mereka berdua memang serius menghayati alur cerita di layar laptop depannya. Beberapa saat kemudian, Dava yang jelas mulai bosan jadi menciumi kepala Gisel. Beberapa menit kemudian, Dava mulai mengganggu Gisel dengan memanggil-manggil namanya berulang kali. “Sel.” “Hm.” “Gisel.” Gisel berdecak namun tak menanggapi banyak. Ia tetap fokus menonton, tak memperdulikan Dava yang selalu rese setiap kali diajak movie time seperti ini. “Sayang.” Gisel akhirnya noleh dan menyorot Dava dengan tatapan malas. “Apa, sih, Daaaaaaav?” “Bosen gak, sih?” Tuh, kan! Gisel tebak juga apa. “Bosen gimana? Orang konflik filmnya aja baru dimulai. Tuh, tuh, liat lagi seru.” “Ck, males banget.” “Ih, nonton dong makanya! Ini tuh bagus tahu filmnya!” Dava menguap. “Loh, kok—“ Gisel menunjuk telunjuknya ke arah laptop.”Yah, si Anne kok jahat anjir.” “Ya emang dapetnya peran antagonis.” kometar Dava asal. Gisel mengacuhkan Dava. Ia menekuk lututnya, masih dengan raut wajah suram karena film yang ia tonton benar-benar tidak dapat diprediksi. “Anne sinting. Bisa-bisanya ya lo...” “Gue tebak si Anne ternyata selingkuh sama Pangeran Kam—“ Gisel menutup mulutnya di detik selnajutnya. “Tuh, kan, Dav! Gue bilang juga apa!” Dava mengangguk-angguk malas. “Anne, tuh, anjing banget sumpah.” “Hus, gak boleh ngomong kasar.” tegur Dava. Padahal Dava tidak tahu saja kalau ketika di sekolah, Gisel sering mengumpat dan ngomong kasar. Dava sebenarnya sudah tahu, sih, cuman dulu mereka berdua sepakat kalau Gisel akan mengurangi kebiasaan buruknya itu karena Dava gak suka. At least, tidak di depan Dava langsung. Tiba-tiba Gisel menegang ketika sentuhan ringan tangan cowok di sampingnya berada di atas perutnya. Sejak kapan ini cowok tangannya masuk-masuk ke kaos?! Pikir Gisel sebal. “Ck, Dav. Jangan mulai.” “Mulai apa, sih. Orang gue gak ngapa-ngapain.” Fakta lain tentang hubungan dua sejoli ini adalah, Dava dan Gisel gak pernah melakukan sentuhan kulit ke kulit selain berciuman dan memberi kiss mark di leher. Bahkan ketika Gisel tahu dari gosip burung yang beredar bahwa Dava sudah tidak perjaka dan sering keluar masuk hotel bermain dengan para jaang, Gisel masih kekeh tidak pernah mau melakukan lebih dengan sang kekasih. Beruntung Dava menghargai keputusannya. Kecewa? Tidak. Gisel sama sekali tidak kecewa atau pun marah saat mendengar fakta itu. Ia sudah bisa menebak sejak hari pertama mereka berkenalan bahwa Dava memang tipe laki-laki b******n yang suka memasuki liang perempuan semaunya. Malahan, Gisel pernah marah dua hari penuh pada Dava karena cowok itu mengira Gisel tidak perawan. Cewek itu mengakui bahwa dirinya memang bukan perempuan baik-baik. Dia suka mabuk, dia berteman dengan manusia-manusia penuh dosa, dan masih banyak kekurangan yang ia punya lainnya. Tapi ia bisa menjaga diri dengan baik selama ini. Ia sukses menjaga kehormatannya. Itu juga yang jadi alasan mengapa Dava benar-benar bersyukur karena sekalinya ia memiliki kekasih resmi, ia mendapatkan perempuan yang bisa menjaga tubuhnya. Cowok itu tidak bisa membayangkan kalau Gisel sudah pernah disentuh dan dijamah oleh lelaki lain dan itu bukan dirinya. Astaga, mungkin rahang cowok itu akan hancur karena diretakkan Dava walaupun hanya masa lalu. “Dava.” Gisel memperingati lelaki itu. Kini bukan lagi Gisel yang bersandar di pundak Dava karena cowok itulah yang asik menaruh kepala di cerukan lehernya. “Udah, janagn nonton terus.” Mendengar Dava merengek, Gisel jadi terkekeh. Ia melirik filmnya yang jadi tak menarik untuk dia. Tangannya terangkat mengusap lembut leher sang kekasih. “Kenapa, sih? Mau apa?” “Pacaran aja.” “Lah?” Gisel tertawa. “Kita udah pacaran emang.” Dava menjauh dari leher Gisel, kini kedua tangannya merangkum kedua pipi cewek itu. Mencuri satu kecupan di bibir. “Dav, gue mau nonton loh?” “Hehe, gak usah.” Satu kecupan lagi di bibir. “Dav, stop. Duh.” Satu kecupan lagi di pipi kanan. “Lo tuh gak bosen apa ya ciuman mulu?!” Satu kecupan kini hadir di pipi kiri. “Dav!” “Apa, sih, Sayang?” “Gue mau nonton...” Gisel memajukan bibir bawahnya ke depan, merengut minta dikasihani. Tapi yang ada Dava malah mengikuti gestur bibirnya. Ia ikut merengut, memasang tatapan puppy eyes untuk ditunjukkan pada perempuan di depannya. “Gue maunya cium...” Dan Gisel tak punya wkatu lagi sekedar untuk berkata tidak karena yang selanjutnya terjadi adalh cowok itu sudah menerkam bibirnya. Kecupan berubah menjadi ciuman basah, lumatan-lumatan kecil dapat ia rasakan. Wajahnya terus didorong oleh Dava. Cowok itu menekan ciumannya lebih dalam, merasai saliva gadis itu di dalam mulutnya. Pelan tapi pasti, tangan Dava kembali masuk ke dalam kaos longgar Gisel seiring kecupannya jatuh turun ke leher sang gadis. Membuat Gisel melenguh ketika gigitan hadir di rahangnya. Satu usapan seringan kapas hadir di bawah p******a Gisel membuat nafas gadis itu tercekat. Tak pernah terbayangkan ia kana berada diposisi ini. Ia tak pernah membayangkan bahwa Dava akan seberani ini. “D-Dav..” Gisel mencoba mendorong bahu cowok itu. “Dava, enggak.” Masih dengan kepala Dav ayang bersandar di atas d**a cewek itu Dava bergumam. “Gue boleh megang?” Gisel melirik Dava di bawahnya. “Kalau gue bilang enggak?” Tapi bukan Dava namanya kalau enggak menyebalkan. Dia mengecup d**a Gisel dari luar kaos dan bergumam lagi. “Megang, ya?” Lagi da lagi, Gisel tidak sempat menjawab karena kemudian terkejut dengan sensasi ketika tangan Dava merambat dari arah bawah, menyusup di balik bra yang dipakainya, enyentuh langsung kulit disana. Ada yang menggelitik dan berdesir. Tapi Gisel sungguh asing dengan ini. Asing namun candu, Gisel tahu perlahan demi perlahan, kewarasannya akan hilang. Apa lagi ketika ia tahu bahwa Dava sudah melepas kaitan belakang bra-nya, walaupun kaos Gisel masih rapi tak terlepas dari tubuhnya. Satu remasan diberikan oleh Dava selembut mungkin. Cowok itu mengecupi lehernya lagi selagi tangannya aktif merasakan kehangatan benda bulat disana. “This is so cute.” ujar Dava yang tidak dibalas dengan sepatah katapun oleh sang empu. Walaupun batinnya memprotes. Cute apanya?! “I want to taste it. Every inch. Of. Your. Body.” “Dav?!” Dava mengerjapkan matanya polos. “Please?’ “T-tapi...” “Gue janji lo gak bakal kecewa sama rasanya.” “Hah?” “You know i love you, right?” “I know but i—“ Dava menjauh. Tahu bahwa sang kekasih akan menolaknya. Ia mencoba menetralkan nafasnya yang sudah terengah padahal belum juga memulai apapun. Dava harus mencoba mengerti. Bagaimanapun kehormatan seorang wanita memang bukan hal yang sepele. Apa lagi ini milik Gisel, kekasihnya sendiri. “Okay.” Tapi kalimat itu membuyarkan kesadaran Dava. Cowok itu menatap netra indah sang kekasih. “W-what? What?!” “Okay, le’s do it. I love you so let’s do it.” “No. Sayang, you don’t have to be like this i—“ “Now or never?” Dan begitulah awal dari semuanya terjadi. Hari itu adalah hari pertama Gisel kehilangan mahkotanya untuk Dava Garda Erlangga. Ia memberikan segenap kepercayaannya untuk lelaki itu. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN