Perhatian : Bab ini masih menggunakan alur mundur. Baca bab sebelumnya agar tahu jalan cerita dan tidak terjadi kesalahpahaman. Terimakasih.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Dava menyingkirkan rambut berantakan yang menutupi wajah cantik Gisel usai pergulatan mereka. Gadis itu langsung tertidur usai keduanya mencapai klimaks. Jelas, ini pertama kalinya bagi Gisel, wajar jika gadis itu kelelahan.
Satu kecupan ia berikan di dahi Gisel usai mengusap keringat di sana.
Dava tidak berbohong saat ia bilang bahwa perasaannya berubah setelah kejadian ini. Cowok itu bahkan tak percaya ketika Gisel bilang ia mempercayai Dava dan mau memberikan mahkotanya. Mengaapa Dava bisa seberuntung ini? Apa yang ia lakukan di kehidupan selanjutnya hingga ia mendapat perempuan setulus Gisel?
Rasa tertarik yang berubah jadi rasa nyaman, berkembang menjadi rasa sayang, kini semuanya sudah jelas bahwa Dava punya cinta untuk sang kekasih. Mereka berdua saling mencintai dan itu adalah hal yang tak perlu diragukan.
“I love you.” bisik Dava tepat sebelum ia ambruk di atas tubuh Gisiel tadi.
“Apa i love you-nya lo kasih karena kita baru ngelakuin itu ?”
Dava menggeleng, membawa tubuh mereka lebih dekat dengan mengeratkan tangan di pinggang si perempuan. “I am truly madly deeply in love with you.”
Gisel tertawa. “Kayak pernah denger. Itu lagu, ya?.”
“Emang lagu,” Dava meringis. “Tapi kan emang begitu adanya.”
“Iya, iya.”
“Iya apa?”
“Iya, i love you too.”
“Gisel.”
“Hm?”
“Mulai sekarang jangan pakai lo-gue,” ujar Dava tiba-tiba. Tangannya masih aktif mengusap pelipis gadisnya agar terpejam. “Gak enak didenger.”
“Iya, diusahain.”
“Coba tes dulu.”
Gisel tertawa. “Apa, sih, pakai tes-tes segala?”
“Serius. Coba dulu, sih.”
Gisel berdeham. “Aku mau tidur sekarang.”
“Anjir kok geli?!” Dava terbahak. “Iya, iya, aduh jangan ngambek. Cup, cup.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Sebenarnya, Dava punya janji buat ke apartemen Agas kumpul sama yang lain. Tapi ketika ia bangun dan mendapati Gisel tak ada di sampingnya, namun terdengar suara gemricik di dalam kamar mandi, Dava jadi tergoda untuk masuk ke sana dan bergabung dengan Gisel.
What Dava wants, Dava gets.
Jadi tak perlu ditanay apakah keinginan cowok itu terpenuhi. Jelas jawabannya iya. Sekalipun Gisel bilang bahwa ia masih merasa perih di sekitar paha dalam apa lagi kewanitaannya, Dava merayu dengan jurus andalannya. Memasang tampang minta dikasihani.
“Ayo, dong.”
“Dav...”
“Sekali doang. Janji.”
“Kamu, mah, suka janji tapi nanti juga ingkar.”
Dava meringis. “Beneran gak mau kamu?”
“Ck. Iya, iya. Sekali, ya. Awas kamu sampai minta lagi.”
Mereka berdua keluar dari kamar mandi sekitar satu jam kemudian. Gisel menyuruh Dava menyelesaikan mandinya lebih dulu karena gadis itu ingin berlama-lama berendam di bath up. Gisel baru selesai ketika jam dinding di kamar Dava menunjukkan pukul tujuh malam.
“Dav, kok belum ganti baju?” tanya Gisel heran. Kekasihnya malah berada di kursi dengan menghadap kaca ebsar yang tak terttup gprden dan emngarahkan pandangan ke arah gitar yang dipangku. Cowok itu bahkan tak memakai baju. Dengan beberapa kali emmetik gitar, Dava mengangkat kepala. Menemukan Gisel sedang berjalan mendekat.
“Bentar.”
“Katanya mau ke Agas?”
“Iya, bentaran,” Dava kembali mengatur senar gitarnya. “Duduk dulu coba disitu.”
Dagu Dava mengedik ke arah kasur. Menyuruh Gisel mengamatinya. “Dengerin aku mau nyanyi apa.”
“Aku mau ganti baju.”
“Entaran. Dengerin dulu ini.”
Gisel menurut akhirnya. Ia duduk di tepi ranjang dengan satu kaki berada di atas kakinya yang lain.
“Aku kalau dengerin lagu ini inget kamu.”
Gisel mengangkat alisnya tinggi tak percaya. “Hm?”
“Serius.”
“Apa judulnya? Cepet, aku mau denger.”
Dava memetik senarnya, merangkai sebuah nada hingga suara merdunya keluar dari bibir. “Saw so many pretty faces before I saw you.”
Dava melirik Gisel yang langsung menerbitkan senyum, tahu benar lagu milik Justin Bieber yang pernah terkenal pada masanya.
“Now all I see is you. Don't need these other pretty faces like I need you and when you're mine in the world.”
“There is gonna be one less lonely girl.”
Tepuk tagan kecil terdengar dari Gisel. “Cie, sok sweet banget lo.”
“Hidih?” respon Dava namun tawa keluar di ujung. “Beneran itu, mah. Sekarang liat cewek secantik Kendall Jenner aja kayak gak ngaruh, loh.”
“Halah, bull s**t macem apa itu?”
“Ye, kamu kapan sih bisa percaya kalau aku ngomong tuh.”
“Hahaha. Beneran ya kalau ada Kendall ke Jakarta kamu gak bakalan dateng ke fanmeeting?”
“Anjir.”
Gisel berdiri akhirnya. Ia membuka ward robe disana, mengambil satu kaos dan celana jeans miliknya sebagai outfit hari ini.
“Kamu jadi ikut, kan? Ke Agas.”
Gisel mengangguk. “Beneran gak papa ya tapi aku gabung sama kalian? Emangnya gak bakal ganggu?”
“Halah, santai.”
“Ada yang bawa cewek juga gak temen-temen kamu?”
“Deril kali.”
“Deril itu...” Gisel mengingat-ingat. “Yang paling tinggi? Yang pernah ketemu kita di Mall sama ceweknya?”
”Iya, yang itu.”
“Oh, oke.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Giselle Afreea W’s point of view
Ini pertama kalinya gue diajakin kumpul sama temen-temen Dava. Sebelumnya gue cuman pernah ketemu sama Deril—iya, kalau gak salah namanya Deril dan ceweknya— waktu itu aja gak sempet kenalan dan basa-basi karena gue emang lagi ngejar film di bioskop yang jadwal tayangna udah mepet banget.
Seneng? Seneng dong.
Setelah enam bulan pacaran sama Dava, akhirnya gue dikenalin sama anak tongkrongannya. Di usia remaja kayak gue, kalian juga pasti bakalan ngerasain hal yang sama. Sesederhana memperkenalkan kekasih ke depan teman-temannya, itu bisa bikin si cewek seneng.
Itu juga yang dilakuin Dava sekaarng.
Usai sepuluh menit mengendarai mobil ke apartemen slaah satu temennya yang gue lupa namanya siapa, akhirnya kita sampai juga.
Disana, di atas lantai tak beralaskan apapun di ruang tengah, sekumpulan manusia sedng duduk melingkar. Ada tiga laki-laki dan dua perempuan yang satu pun gak ada yang gue tahu namanya. Bahkan muka Deril yang kayaknya sekelibat bisa gue inget, ternyata sekarang juga lupa dia yang mana.
“Nah, ini dia dateng orangnya.” seru salah satu kawan Dava.
“Panjang umur lo, Dav, baru juga kita kelar gosipin.”
Gelak tawa mengisi ruangan seiring Dava menuntun tangan gue buat masuk dan bergabung sama yang lain.
Kata orang, muka gue judes abis kalau belum kenal. Kali ini gue harap gue bisa pasang wajah seramah mungkin untuk menghindari bad first impression mereka semua. Bukan apa-apa, tapi kan kasian Dava sendiri kalau siapa tahu temennya ada yang gak suka sama gue cuman karena ngira gue anti sosial dan gak mau bergaul sama mereka.
“Ini cewek lo?” cowok dengan kaos putih bergambar band legenda Queen menyulurkan tangan mengajak berjabat. “Gue Agas.”
Oh, ini yang punya apartemen.
“Gisel.” jawab gue sambil senyum.
“Udah kenal belum sama yang lain?” Agas ngomong lagi. dari sini, gue bisa nyimpulin dia adalah tipe cowok yang demen SKSD alias sok kenal sok deket. Pembawaannya sok asik banget walaupun kayaknya emang asik. “Nih. Ini, yang mukanya kayak kulkas ini, namanya Andi. Woi, Ndi, udah kenal belum lo?”
“Udah pernah liat fotonya.”
Gue mengernyit. Dava juga.
“Kan dulu dia sempet dijodohin ama gue, njir.”
Hah?
Oh, iya!
Gila.
Gue langsung ketawa canggung. “Oh, hai. Gue Gisel.”
Cowok itu mengangguk-angguk. “Andi.”
“Yang ini Deril. Yang ini Shara. Mereka pacaran.” Agas nunjukkin satu-satu mukanya. Kita sama-sama berjabat tangan.
Gak bohong, tapi ceweknya Deril bener-bener cantik. Gue bahkan sampai beberapa kali ngeliatin dia. Mau cewek itu menguap, lagi bengong, ngakak, cantiknya bener-bener alami. Gak main-main.
Kok bisa, ya, ada cewek secantik Shara?
Apa lagi dia juga ramah banget. Beberapa kali ngajak gue ngobrol dan bercanda.
Gue mnghela nafas pelan, agak berterimakasih sama Tuhan karena temen-temen Dava, cowok gue—so far, mereka baik.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Mendengar Agas yang mengajak Dava untuk pergi ke kelab, Gisel menoleh pada laki-laki di sampingnya. “Kamu mau iyain?”
Dava mengangguk, ia menghisap batang rokoknya dalam-dalam sebelum menghembuskannya pada arah yang berlainan dengan Gisel. “Mau ikut?”
“Pengen, sih.”
“Tapi?”
“Tapi, kayaknya aku gak bisa. Soalnya aku udah keluar dari pagi, kan. Ini udah jam setengah sepuluh malem.”
“Takut dicariin sama orang rumah?”
Gisel mengangguk lagi. “Tapi bentar, deh. Coba aku ijin gak pulang, siapa tahu boleh.”
Dava setuju.
Gadis itu mengetik dengan cepat pada ponselnya, mengirimi pesan pada sang Mama.
From : Giselle Afreea W
Ma, Papa udah tidur belum?
“Udah dibales?” tanya.
“Belum. Baru di-read.” Gisel menjawab, “eh, ini baru dibales.”
From : Mama Galak
Belum
Masih nonton bola
Baru Gisel akan kembali mengetik balasan, ponselnya kembali bergetar tanda bahwa ia baru saja menerima pesan masuk.
From : Mama Galak
Kamu dimana?
Main jam 10 pagi sampai jam 10 malem belum pulang juga
“Gimana?” suara Dava menginterupsi Gisel yang sedang memikirkan balasan yang etapt, setidaknya ia berusaha meminimalisir kemarahan sang mama.
“Dicariin. Katanya kenapa aku gak pulang-pulang.”
“Bales coba. Ngomong kalau mau sekalian nginep di rumah temen.”
Gisel terkikik geli. “Bisa-bisanya kamu ngajarin pacar sendiri buat bohong.”
Dava ikut tertawa. “Kamu sendiri yang bilang mau ikut aku.”
“Ya udah, dosanya kamu yang tanggung, nih, pokoknya.”
To : Mama Galak
Aku kayaknya mau nginep aja di rumah temen
From : Mama Galak
Kenapa nginep? Kamu gak punya rumah sendiri?
Gisel mendengus. Emak-emak kayaknya selalu begini, deh, kalau anaknya izin nginep di rumah orang lain.
To : Mama Galak
Males aja, udah malem. Sekalian besok ya, Ma?
From : Mama Galak
No.
Pulang sekarang.
Ditungguin Papa.
Gisel berdecak kesal. “Dav.”
“Hng?” Dava emnoleh dengan masih mengunyah kacangnya. “Kenapa? Gak dibolehin?”
“Iya, disuruh pulang,” Gisel merengek. “Duh, padahal pengin ikut. Aku lama tahu gak kesana.”
Dava tertawa, ia mengacak rambut Gisel gemas. “Ya udah gak apa-apa, kapan-kapan sama aku. Lagian aku cuman sama Agas kesana.”
“Berarti ini aku pulang? Beneran gak ikut kamu?”
“Ya iya,” Dava berdiri dan menaikkan celananya. “Ayo aku anterin pulang.”
“Hah? Gak usah. Kan gak searah.”
“Gak papa, Sayang.”
“Aku naik taksi aja biar kamu bisa langsung berangkat sama Agas.”
Dava emnggeleng tanda tak setuju dengan ide sang kekasih. Cowok itu menoleh ke belakang, ke arah Agas yang sedang menenteng bola basket entah buat apa.
“Gas, berangkatnya sekalian nganterin cewek gue balik, ya.”
Agas menoleh ke Gisel. “Lah, gue kira lo ikut?”
Gisel menggeleng. “Enggak.”
“Oh, ya udah. Sabeb, dah, Dap.”
“Tuh.” ujar Dava pada Gisel. “Agas, mah, disuruh nemenin keliling satu kelurahan juga mau-mau aja. Ayo, beresin tuh tas kamu. Eh, powerbank-ku kamu bawa, kan, ya tadi?”
“Iya.”
“Oke. Kirain ketinggalan di rumah.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Jauh juga rumah lo,” komentar Agas ketika akhirnya mobil berhenti di pom bensin, lagi. “Ini beneran disini berhentinya?”
Gisel meringis. “Iya.”
‘Oh, lo tinggal di pom?” Agas bergurau saja. Tapi Dava langsung berdecak kesal. “Lo bacot sekali lagi, geu suruh turun disini.”
Agas yang berada di jok belakang langsung mengoceh menggerutu sendiri.
“Aku balik dulu, ya? Gas, gue balik duluan.”
“Yoi. Ati-ati banyak begal, Sel.”
Gisel hanya tertawa. Ia sudah siap membuka pintu ketika suara Dava kembali terdengar. “Ciumnya mana?”
Sebenarnya, ini adalah hal yang sangat lumrah. Dava dan Gisel selalu berciuman rutin sebelum keduanya berpisah. Entah hanya berupa kecupan atau lumatan basah. Tapi kalau ada orang ketiga di antara mereka begini, ada pihak yang bisa melihat langsung— Gisel benar-benar tak tahu dengan cara bekerja otak Dava.
“Heh, jamban!” Agas langsung protes. “Lo mau cipokan disini?! Di depan gue?!”
“Kayak gak pernah liat orang cipokan aja lo.” balas Dava kesal. Bener, dong. Di kelab malam, apa lagi milik Jakarta, banyak orang yang bahkan walaupun tidak saling mengenal saja bisa saling pangku-pangkuan dan berciuman seperti mereka hanya berdua dalam ruangan.
“Temen apaan lo— anjing.”
Protes kedua dari Agas terhenti ketika dilihatnya Dava langsung menarik Gisel mendekat, membawa wajahnya bertabrakan dan menemukan bibir keduanya. Hanya singkat memang. Tapi tidak bisakah Dava ini punya sedikit belas kasih untuk Agas? Dia ini jomblo, loh.
“Hati-hati, ya.” kata Dava sebelum kembali mengecup bibir Gisel. “See you tomorrow.”
Gisel meringis kecil saat menemukan Agas yang sudah tiduran di jok belakang. “Gak liat gue gak liat!”
“Kamu jangan pulang subuh. Dua jam aja cukup, kan?”
“Noted.”
“Bye.”
“Bye.”
“Ya Allah, Agas mau punya pacar detik ini juga!” teriak makhluk asing di belakang yang membuat Dava langsung mendengus geli.
“Pindah ke depan, Gas. Gue ogah berasa kayak supir.”
“Cot.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Di tengah hiruk pikuknya kelab malam bertitel Swill yang kini dikunjungi Agas Zidane Althaf dan Dava Garda Erlangga, ponsel adalah benda yang tak pernah lepas dari tangan Dava. Cowok itu sedang duduk sendirian. Agas-- seperti biasa, sedang asik berjoget ria dan mencari mangsa di lantai dansa.
Satu untaian senyum kecil terbit di bibir Dava tatkala ia menemukan post story baru di akun i********: Gisel. Gadis itu sedang mendengarkan lagu yang tadi siang Dava nyanyikan.
Giselle Afreea W is listening to One Less Lonely Girl by Justin Bieber
Dava langsung memencet tombol kometar disana. Jemarinya mengetik.
Dava Garda Erlangga
tidur sayang
udah malem, jangan begadang
Tak butuh waktu lama hingga balasan masuk dari Gisel muncul di notifikasi.
Giselle Afreea W
hehe, iya. ini juga mau tidur.
good night
Dava Garda Erlangga
i love you
Dasar bucin.
Dava mengutuki diri sendiri. Dia adalah laki-laki berhati keras selama ini. Dan semenjak mengenal Gisel, sifat Dava seperti melunak seiring berjalannya waktu. Mereka baru berpisah setengah jam yang lalu, tapi lihat, Dava malah sudah merindukan gadisnya lagi.
How many I told you's and start overs
And shoulders have you cried on before?
How many promises be honest girl?
How many tears you let hit the floor?
How many bags you packedJust to take 'em back tell me thatHow many either or's ( but no more )
If you let me inside of your world
There had be the one less lonely girl
Saw so many pretty faces ( before I saw you you )
Now all I see is you
I am coming for you ( I am coming for you )
Do not need these other pretty faces like I need you
And when you are mine in the worldThere is gonna be one less lonely girl ( I am coming for you )
I am gonna put you first ( I am coming for you )
I will show you what you are worth ( that is what I am gonna do )
If you let me inside your world
There is gonna be one less lonely girl
Christmas was not merry, fourteenth of February
Not one of 'em spent with you
How many dinner dates set dinner plates and
He did not even touch his food
How many torn photographs are you taping back
Tell me that could do not see an open door
I can fix up your broken heart ( heart )
I can give you a brand new start ( start )
I can make you believe
I just wanna set one girl free to fall
Free to fall ( she is free to fall )
Fall in love with me
Her hearts locked and nowhere to get the keyI will take her and leave the world with one less lonely girl
"Only you shawty."
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *