Perhatian : Bab ini masih menggunakan alur mundur. Tokoh utama sedang kilas balik ketika masih enam bulan berpacaran. Baca bab sebelumnya agar tahu jalan cerita dan tidak terjadi kesalahpahaman. Terimakasih.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Tempat biasa yang dimaksud Gisel adalah sebuah kafe di dekat SMA Pertiwi. Gisel yang baru membuka pintu kafe menemukan Dava yang langsung berdiri usai menangkap keberadaannya. Gisel tahu cowok itu pasti sedang deg-degan sendiri. Terlihat dari Dava yang tersenyum kaku padanya ketika ia akhirnya mendaratkan p****t untuk duduk di kursi yang berseberangan dengan Dava. Perempuan yang siang ini memakai dress floral didominasi warna merah magenta dn hitam itu menahan diri untuk tidak menyemburkan tawa.
Sedangkan di sisi lain, Dava memang sedang gugup setengah mati. Tangannya tak berhenti saling menggosok, takut salah bicara.
“Kamu udah pesen?” tanya Gisel santai, tangannya melambai pada pelayan disana.
“Enggak usah, aku udah ma—“
“Gak mungkin,” potong Gisel, matanya melirik sekilas pada Dava yang menatapnya takut-takut. Demi Patrick yang kepalanya lancip, Gisel ingin tertawa sekarang. “Ini masih jam segini dan kamu mau bohong bilang udah sarapan? Makan sama apa emang? Eh, atau dijajanin sama cewek di foto kemarin?”
”Astaga, Sayang, enggak gitu,” Dava berdecak. “Apa, sih, tiba-tiba nyrempetnya kesana?”
“Pesen kayak biasa berarti ini, ya?”
Dva mengangguk. “Terserah. Aku gak bisa mood makan selama kamu belum dengerin penjelasan aku soal foto kemarin.”
Pelayan yang sedari tadi menunggu Gisel memilih makanan dengan telaten mencatat semua pesanan Gisel.
“Ada lagi, Kak?” tanya pelayan tersebut ramah.
“Udah, itu aja.”
“Baik, silahkan ditunggu.”
“Terimakasih, Mbak.”
Usai pelayan pergi, Gisel menegakkan punggungnya. Ia menaruh kedua tangan di atas meja, menatap lurus pada Dava.
“Jadi gimana?”
Dava menghela nafas. “Dengerin aku sampai abis, ya. Baru boleh motong.”
“Hm.”
“Kemarin itu, Felisia—“
“Oh, namanya Felisia?”
“Sel, kamu janji gak motong, ,loh.”
Gisel melirik sinis. “Oke, lanjut.”
Dava menceritakan kejadian dari awal hingga kahir. Tanpa mengurangi atau menambah. Benar-benar apa adanya. Dia menggunakan intonasi sehalus mungkin, berusaha menata kalimat agar tak sampai salah, takut Gisel semakin marah.
Di akhir kalimat, usai Dava menjelaskan semuanya, ia langsung menghela nafas. Capek sendiri ngomong sepanjang itu. Ia menatap Gisel was-was. Menunggu responnya.
“Kamu... gak percaya sama aku?”
Ujung bibir Gisel tertarik, sangat kecil, hampir tidak kelihatan kalau saja Dava rabun dekat. “Sebenernya aku udah tahu.”
“Hah? Apanya?”
“Ya itunya. Behind the scene-nya.”
Dava masih mengernyit tak paham. “Udah tahu ceritanya?”
Gisel mengangguk. Kemudian meringis. “Hehe. Agas tadi pagi, tuh, nelpon aku. Dia kayak panik banget.”
“Telpon gimana?”
Gisel masih bergelung dengan selimut tebalnya di pukul setengah tujuh pagi saat suara salah satu pekerja di rumahnya mengetuk pintu kamar Gisel. Mau tak mau, cewek itu jadi beranjak dari tidurnya dan membukakan pintu. Dengan mata masih tak bisa terbuka lebar, ia menanyai Bi Sum.
“Ada apa, Bi? Aku masih ngantuk banget kalau Mama mau ngajakin sarapan bareng sekarang.”
“Bukan, Non. Ini ada telepon dari teman Nona Gisel.”
“Hm?” Gisel mengingat-ingat siapa yang biasanya telepon pagi-pagi. “Namanya siapa, Bi?”
Gisel kira Dava. Karena jika benar cowok itu, maka Gisel tak heran karena sang kekasih pasti punya niat menjelaskan soal kemarin. Tapi mana berani Dava melakukan panggilan lewat telepon rumah?
“Kalau gak salah namanya, teh, Agam.”
“Hah?” Gisel makin bingung. “Agas maksud Bi Sum?”
“Oh, iya! Agas!”
Gisel sangat clueless kenapa teman pacarnya itu menelepon ia sepagi ini. Apa lagi ke telepon rumah keluarganya.
“Halo?”
“Hoi, Sel.”
Oh, benar. Memang suara Agas.
“Kenapa?”
“Gue telepon elo ke nomer w******p, lo-nya centang satu. Sori jadi telepon ke nomor rumah.”jelas Agas panjang lebar. “Pasti elo sengaja matiin hape buat ngehindarin Dava, ya?”
Tepat sekali. “Enggak.” bohongnya.
“Haduh, Sel. Gak usah bohong, deh. Ini gue nelepon elu buat jelasin soal kemarin. Jadi gue, tuh, mabok kemarin. Gue akuin kalau gue lagi hang over, gue emang t***l. Setolol kemarin pake ngirimin elu fotonya Dava sama Felisia.”
Gisel diam tak menjawab apapun.
“Lo gak usahlah marah sama Dava. Dia sama Felisia, tuh, gak ada apa-apa. Dulu emang mereka pernah tidur bareng, tapi juga tidurnya sebatas menggunakan alat kelamin, gak pakai perasaan. Gak ada cinta-cintaan di antara mereka,” Agas mengambil nafas sesaat. “Kemarin juga Felisianya aja yang cabe, nempel-nempel ke Dava. Cowok lo risih, sampai akhirnya aja Felisia jatuh ke lantai gara-gara didorong Dava.”
“Hm.”
“Lah hm doang. Serius ini, mah. Dava, tuh, b***k cinta sama elo. Gak mungkinlah milih selingkuh di belakang lo. Apa lagi sama cabe kayak Felisia. Tenang aja, atuh.”
“Kok gak bilang dari tadi aja kalau kamu udah tahu semuanya?” tanya Dava usai mendengar cerita Gisel. “Tahu gitu aku gak capek-capek jelasin ke kamu kaya k lagi ngerap tadi. Apa lagi aku, tuh, kesini deg-degan tahu, Babe. Sumpah, takut kamu marah. Eh, ternyata kamunya gak kenapa-kenapa.”
Gisel terkekeh. “Iya enggak apa-apa, dong. Kapan lagi aku bisa lihat kamu panik begini?”
“Aku sering, ya, panik gara-gara kamu.”
Satu usapan lembut hadir di pipi Dava hanya sekilas. “Iya, deh. Maaf, deh.”
“Ya enggak perlu minta maaf juga,” Dava mencium punggung tangan gadis itu. “Jadi baikan, nih?”
“Iya, doooong.”
Dava tertawa renyah. “Gemes banget aku sama kamu, tuh.”
“Aku emang gemesin, sih.”
“By the way, kamu tadi ke sini sama Pak Hendri?’
Gisel mengangguk dua kali. “Ho-oh. Mau sama siapa lagi emang?”
“Kirain bawa mobil sendiri.”
Percakapan keduanya terhenti ketika pelayan datang membawa berbagai makanan dan minuman yang dipesan oleh dua sejoli tersebut. Sembari menunggu pelayan selesai menurunkan satu persatu piring, Gisel membalas kalimat Dava sebelumnya. “Kalau aku bawa mobil sendiri, pulang dari sini kita jadi nyetir sendiri-sendiri, dong?”
“Emangnya kita abis dari sini mau kemana?”
“Emangnya gak mau kemana-mana dulu?” Gisel tanya balik. Ia menoleh sebentar ke arah kanan, mengulas senyum untuk dua pelayan laki-laki dan perempuan di sana. “Terimakasih, ya.”
“Sama-sama. Selamat menikmati.”
Dava menghidupkan ponsel untuk melihat jam berapa sekarang, karena tadi ia benar-benar terburu-buru kesini, ia lupa tak membawa jam tangan. “Iya, sih. Aku maunya keluar sama kamu dulu. Kemana ya tapi? Kamu lagi pengen kemana?”
“Ke salon.”
“Mau ngapain? Perasaan baru lusa kemarin kamu creambath, sekarang mau creambath lagi?”
“Bukan. Aku mau ganti warna.”
“Hah? Damn it, ganti warna? Ini masih sekolah intensif, loh, Babe?”
“Iya. Kenapa, sih, kok kaget? Ini aja rambutku cokelat juga gak pernah masuk BK, kan?”
“Kalau coklatnya, kan, emang rambut kamu asli warna gitu. Ya jelas gak pernah kena teguran,” Dava menyeruput cokelat hangatnya. “Emang kamu mau ganti warna apa?”
“Lilac lucu kali, ya? Kan warna lilac sekarang lagi musim.”
Dava hapir menyemburkan minumannya dari mulut ke Gisel. Ia tersedak sendiri. Bukannya berlebihan atau apa, tapi menggunakan rambut berwarna lilac ke sekolah SMA Pertiwi yang tata tertib sangat mengikat hinga menukik leher, memangnya kekasihnya ini tidak takut atau bagaimana, sih?”
“Dav..” Gisel tertawa. “Aku enggak cat rambut ngeblok, kali ah. Cuman ombre dalem doang.”
“Ombre dalem? Gimana itu?”
“Liat aja nanti.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Butuh waktu hingga dua jam lamanya bagi Dava menunggu kekasihnya di salon entah sedang diapakan oleh para waria di dalam sana. Seumur hidup, atau setidaknya selama enam bulan berpacaran dengan seorang Giselle Afreea Wicaksana yang sangat suka ke salon untuk merawat rambut itu, Dava tak pernah mau jika disuruh menunggu di dalam. Sekalipun beberapa kali Giselle memaksa Dava untuk melakukannya. Tentu hal ini dilakukan bukan tanpa alasan.
Yang pertama, Dava pernah digoda oleh waria ketika ia menemani ibunya ke salon saat masih kelas tiga seragam putih biru alias SMP. Sebenarnya waria tersebut tidak bermaksud lebih atau bermacam-macam, waria tersebut adalah pegawai salon kesayangan sang ibu. Tapi usai dagunya dicolek kala itu, Dava langsung bergidik ngeri dan geli sekujur tubuh. Astaga, bagaimana bisa laki-laki yang kaki dan tangannya penuh bulu, otot lengannya sangat besar, dan berkumis mau-maunya menjadi waria yang di bagian d**a diberi busa setebal spring bednya. Belum lagi wajah menuh make up menor yang bukannya membuat mereka terlihat cantik, yang ada membuat anak ekcil di mall berlari ketakutan dan menangis mengadu pada ibu.
Yang kedua, Dava tidak suka menunggu lama-lama. Sekalipun itu untuk Gisel. Membayangkan bahwa ia akan menghabiskan dua jam bosan tanpa kegiatan berarti, ia mungkin bisa mati karena terlalu lama duduk dan mengecek ponsel. Itu memang benar. Munafik kalau ada laki-laki yang bilang mereka suka menemani kekasih mereka ke salon. Minimal waktu yang diperlukan saja satu jam. Bayangkan Dava harus menghabiskan tiga ribu enam ratus detik disana tanpa melakukan apa-apa.
Jadi setelah laki-laki tampan itu mengantar Gisel ke salon yang letaknya di dalam mall dan memberikan dompetnya agar Gisel saja yang bawa, Dava meninggalkan salon dan memilih ke food court. Ia mengambil duduk di balkon mall da merokok disana.
Baru ia menghabiskan seperempat batang rokok, suara teriak seseorang dari jarak jauh membuat Dava menoleh kaget.
“Woi, Dav!”
Dava sebenarnya tak perlu menoleh untuk mengenali siapa pemilik suara besar bak bass itu. Tetapi namanya juga kaget, jadi ia langsung menoleh dan memanjangkan leher.
Dari arah depan, Deril menarik Shara untuk ikut dengannya menghampiri Dava.
“Kaget gue ada yang teriak manggil nama.” gerutu Dava sambil melakukan tos ala cowok bersamaa sohibnya tersebut. Ia juga menyalami Shara. “Dari mana kalian berdua?”
“Abis nonton.”
“Nonton bola?”
“Nonton filmlah, g****k,” Deril menarik kursi di sampingnya untuk Shara. “Ngapain di mall nonton bola. Lo kira lapangan futsal?”
“Iye, santai elah. Kebanyakan ngegas lo.”
“Lo sendirian, Dav?” Shara kini membuka suara usai dari tadi mengamati perdebatan tidak penting antara dua laki-laki di hadapannya.
“Enggak, sama Gisel. Dia lagi di bawah. Nyalon.”
Shara mengangguk-angguk sebagai tanggapan.
“Ril, gue ke toilet dulu ya?” Shara meminta izin. “Dav, gue ke toilet.”
“Yoi.”
Deril menahan lengannya. “Kenapa gak dari tadi, sih, pas gue ke toilet.”
“Biar apa?” tanya Dava dengan alis naik turun. Dasar Dava, pikirannya pasti kemana-mana.
Deril menatap jengah ke arah sahabatnya. “Maksud gue biar sekalian gue tungguin.”
“Orang kebeletnya baru sekarang.” jawab Shara sebelum akhirnya berdiri dan membawa tas sling bag-nya.
Deril mengamati punggung Shara yang berlari kecil ke arah luar food court. Karena tak ada yang bisa dibicarakan, Dava memilih bermain dengan ponselnya. Ia asik sendiri sebelum kemudian Deril bersuara lagi.
“Heh, Dav.”
“Hm.”
“Jangan sok ganteng lo ham hem ham hem.”
Dava mengacungkan jari tengah. “Paan, sih, anjing.”
“Gue jadi kepo.”
“Paan?”
“Soal lo sama Gisel.”
Dava menukik alisnya. “Heh, Ril, lo jangan kayak cewek deh, ngomong setengah-setengah. Cepetan buru langsung to the point aja.”
Deril menyeringai geli. Ia berdeham sok keren. “Lo udah ngapain aja sama Gisel?”
Dari dalam hati Dava, bohong jika ia bilang tidak langsung menangkap maksud dari kalimat Deril. Ia bisa saja menjawab jujur dan apa adanya, tapi ia tak mau. Apa yang terjadi antara dirinya dan kekasihnya, Giselle, ia tak mau orang luar tahu Sekalipun kabar buruk seklaipun.
Dava bukan tipe orang yang suka mengumbar-umbar hubungan. Bukan tipe orang yang suka mencurahkan isi hatinya pada orang lain. Dava selalu memgang prinsip bahwa orang lain tak pernah benar-benar tahu dan paham apa yang ia rasakan. Jadi untuk apa capek-capek cerita ke orang lain sedangkan mereka saja tak bisa membantu Dava menemukan solusi? Cukup Deril, Agas, dan Andi tahu bahwa ia dan Gisel sudah berpacaran. Tak perlu mereka tahu sudah melakukan apa sajakah ia dengan Gisel.
Lagi pula ini tentang tubuh Gisel, miliknya. Bagimana bisa ia menceritakan hal sesensitif ini pada orang lain? Pada laki-laki lain? Ia menyayangi Gisel dan ia tak mau orang lain tahu dalamnya gadis itu.
“Kepo lo.”
Adalah jawaban Dava akhirnya.
Deril otomatis mendengus. Ia merampas bungkus rokok di tengah meja milik Dava, mengambil stau batang disana.
“Elah, pasti udah elo apa-apain, kan?”
“Rahasia negara, lah. Cewek gue ini yang kita omongin. Masa mau gue umbar-umbar?”
Deril hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, sok paham. Ia menghembuskan rokoknya ke atas sebelum menatap Dava serius.
“Gue pernah denger dari Agas tentang Gisel.”
Dava mengernyit. “Agas?”
“Eh, Andi maksud gue. Salah sebut.” Deril memberikan cengirannya pada Dava.
“Dia ngomong apa?”
“Gak ngomong banyak, sih.”
“Iya apa?”
“Dia bilang, dia dikasih tahu bokapnya kalau Gisel tuh disayang banget di keluarganya. Lo tahu kalau dia punya strict parents?”
Dava mengangguk.
“Terus kata Andi, dia agak was-was gitu pas tahu elo pacaran sama Gisel.”
Kening Dava semakin mengerut.
“Takut aja kalau lo sampai ngelakuin kesalahan. Bokap nyokapnya Gisel overprotektif. Andi cuman gak mau lo sampai berurusan sama keluarga Gisel kalau lo apa-apain Gisel.”
“Ngapa-ngapain gimana?”
“Nyakitin dia... misalnya.”
Dava mengangguk-angguk.
Ia paham benar apa yang dikhawatirkan oleh Andi padanya.
Keluarga Giselle Afreea Wicaksana adalah keluarga terpandang. Tidak ada yang tidak tahu Wicaksana. Apa lagi kekasihnya adalah anak dan cucu tunggal dari kedua belah pihak keluarga. Itu adalah alasan utama mengapa Gisel sangat disayang dan dijaga sedemikian rupa.
Tapi apa yang harus dikhawatirkan jika ia saja tidak memiliki niat untuk menyakiti hati Gisel? Benar, kan?
Laki-laki itu belum sempat menjawab dan menjanjikan apapun ketika akhirnya Shara datang ke meja mereka, rupanya sudah kembali dari kamar mandi. Di samping Shara, ada Gisel yang asik tertawa mendengar cerita Shara.
Loh, kok mereka bisa barengan?
Tapi pertanyaan yang paling dia ingin tanyakan bukan itu. Tapi...
“Loh, kok rambutnya masih item?”
Gisel menepis tangan Dava yang hendak menyentuh rambutnya.
“Emang gak keliatan kalau gak diginiin,” cewek itu mennarik kedua sisi rambutnya, menguncir setengah rambutnya dengan jemarinya. Dava langsung ber-oh ria ketika ia mendapati warna lilac yang tersembunyi dibalik rambut hitam Gisel.
‘Ada-ada aja, sih, modelnya.”
Gisel senyum sombong. “Bagus kan, tapi?”
Dava mengangguk dan mencubit hidung cewek itu. “Iyalah. Kalau dari orok cantik, mah, diapa-apain juga cantik.”
“Retweet.” Gisel menjentikkan jari tanda setuju.
“Eh, Shar, gak kepingin nyalon juga?” tanya Gisel pada Shara yang sebenarnya sedang berbincang dengan sang kekasih.
“Gue?”
Gisel mengangguk sambil menyeruput minuman milik Dava.
“Baru kemarin udah creambath, sih.”
“Gak pengin hair cut atau semir rambut gitu? Kayak gue.”
Mata Shara berbinar sesaat, sepertinya sudah hendak menanyakan lebih lanjut karena tertarik. Tapi Deril langsung menyerobot.
“Gak, gak. Gak ada hair cut hair cut, apa lagi ngecat rambut.”
“Hih, apa sih!” Shara menepis tangan Deril yang membekap mulutnya. “Suka-suka gue, dong.”
“Rambutnya udah bagus begini, Ca.”
“Elo, kan, belum tahu gue mau hair cut atau ngecat gimana. Mana bisa elo nilai cakepan gini?”
“Udah kebayang kali di kepala gue,” Deril membela diri. “Lagian lo mau potong gimana, coba, gue tanya? Kayak dora terus disemir merah?”
“Ya enggak gitu juga!”
Kedua pasangan itu malah berdebat sendiri. Saling ngeyel mempertahankan opini masing-masing. Gisel saling melirik dengan Dava, mungkin sedang berbicara lewat ikatan batin seperti ini:
“Ini anak dua kenapa malah berantem, yak?”
“Tahu, tuh.”
“Ayo pulang aja, deh.”
“Yeu.”
Dava berdeham agak kencang membuat Deril dan Shara langsung diam.
“Eh, guys,kayaknya gue sama Gisel harus cabut sekarang, deh. Kita pamit duluan, ya?” Dava tiba-tiba berdiri dan mengantongi korek dan rokoknya. Ia juga menyerahkan ponselnya pada Gisel, menyuruh kekasihnya untuk memasukkan ke dalam sling bag Gisel.
“Lah, tiba-tiba banget?” Deril bersuara.
Shara ikut bertanya. “Gak makan dulu kalian? Belum pesen makanan apa-apa gini.”
“Gue sama Dava udah sempet makan, kok, sebelum kesini,” jawab Gisel jujur. “Tadi kita sempet ke kafe sebelum ke mall.”
“Oh, gitu? Ya udah hati-hati, ya!” Shara berpelukan sesaat dengan kekasih Dava tersebut.
“Oke, siap. Kapan-kapan main bareng, oke?”
Shara mengangguk semangat sambil mengacungkan dua jempolnya pada Gisel.
“Bye!”
“Bye-bye!”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Kadang Gisel juga merasa kesal secara tiba-tiba karena Dava bukan tipe laki-laki yang suka keluar rumah. Maksud Gisel, Dava lebih suka ke tempat-tempat indoor dan buka outdoor. Sedangkan Gisel adalah kebalikannya.
Dava lebih suka mengajak Gisel ke rumahnya, atau ke rumah teman-temannya, atau nongkrong di kafe indoor, dan tempat-tempat semacam itu. Padahal Gisel lebih ingin mendaki gunung bersama Dava, atau ke pantai, atau air terjun, atau penampakan alam lainnya.
Seperti saat ini, sepanjang perjalanan di mobil, Gisel sudah merayu Dava untuk menemaninya hunting foto ke kebun bunga matahari yang baru saja dibuka minggu lalu. Tempatnya sangat i********:-able dan famous di Jakarta. Tapi itu juga yang dijadikan alasan oleh kekasihnya.
“Makanya, Babe. Pasti lagi rame-ramenya disana, tuh. Males gak, sih? Udah enakan di rumah aja. Gak panas, gak rame. Iya, kan? Bener kan aku?”
Jadi disinilah Dava Garda Erlangga dan Giselle Afreea Wicaksana sekarang.
Pukul dua siang, di ruang tengah rumah Dava, televisi menyala, dan mata yang tak kuat menahan kantuk.
“Tidur aja kalau ngantuk.” ujar Dava ketika Gisel meletakkan kepala di pundak sebelah kirinya. “Kamu kan emang biasa tidur siang. Tuh, matanya udah merah.”
“Sejam lagi aku pasti udah disuruh pulang. Nanggung mau tidur sekarang.”
“Hm?” Dava jadi bingung. “Kok tumben disuruh pulang? Belum juga sore.”
“Kan aku udah bilang di rumah mau ada tamu.”
Dava mengingat-ingat kapan Gisel memberitahunya perihal tamu. Lam aia berdiam, Dav akhirnya mendapat jawaban. “Hmm, maksud kamu ada keluarga cowok yang katanya mau dijodohin sama kamu itu?”
Gisel mengangguk malas.
“Kapan coba orang tua kamu berhenti jodoh-jodohin kamu gak jelas begini. Gak kasihan apa sama aku.”
Gisel terkekeh kemudian mencium singkat bahu Dava. “Aku udah pernah tanya ke mereka, loh, soal ini. Persis kayak kamu barusan bilang.”
“Terus mereka jawab gimana?”
“Katanya, ya kalau kamu udah nikah, kami pasti bakalan berhenti jodohinlah.”
“Ye, kalau itu mah jelas.”
Iseng, Dava menciumi puncak kepala Gisel. Menghirup wangi segar disana. “Wangi bangeeeeeet.” pujinya tulus. It kalimat jujur. Rambut Gisel selalu halus dan lembut. Mungkin karena gadis itu memang sangat menyayangi rambutnya dan sering merawatnya ke salon. Apa lagi biayanya juga tak murah. Pasti alat dan bahannya dari merk terkenal, bukan main-main.
“Kan abis dari salon.”
Dava mengecupi kepalanya berulang kali. “Gemes pengen aku bekep di kamar seharian.”
“Hih, maunya.”
“Hih, miinyi,” ejek Dava balik. “Eh, aku mau nanya, deh.”
“Mantan yang waktu itu kamu ceritain ke aku. Mantan kamu yang kamu putusin gara-gara selingkuh, sekarang dia dimana?”
“Ih, tiba-tiba banget nanyanya?” Gisel mendongak sedikit.
“Gak papa. Tiba-tiba keinget aja.”
“Dia masih di Jakarta, lah. SMK tapi, bukan SMA. Gak tahu juga detailnya jurusan apa dan dimana. Lagian aku pacaran sama dia, kan, pas masih bocah. Bodo amat, deh, sekarang anak itu gimana kabarnya.”
“Terus dia udah da—“
“Sstt!" Gisel langsung membekap mulut Dava agar berhenti bicara. “Bahasa lain aja. Males ngomongin mantan. Kayak gak ada topik yang lebih asik aja.”
Dava tertawa.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Shout out to my ex, you are really quite the man
You made my heart break and that made me who I am
Here is to my ex, hey, look at me now
Well, I am, I am all the way up
Kalau membicarakan mantan, rasanya Gisel ingin mengubur hidup-hidup mantan kekasihnya yang bernama Raga Anggara itu. Karena Raga yang merupakan satu-satunya mantan yang ia miliki, membuat Gisel kapok menjalani suatu hubungan terikat dengan laki-laki. Ia pernah menjadi perempuan yang punya hati dingin namun bisa memainkan perasaan laki-laki yang mendekatinya sebagai cara balas dendam pada Raga. Raga juga yang membuat Gisel mudah tak percaya diri. Insecure kalau kata orang sekarang mah.
Dulu, mereka hanya berpacaran empat bulan lamanya. Namun rasa sayang yang dimiliki Gisel bukan sekedar rasa sayang. Ia rela melakukan apa saja, merubah dirinya seperti apa yang Raga inginkan. Ini fakta. Gisel secinta itu memang dengan Raga.
Namun semuanya berubah ketika suatu hari Raga meminta Gisel untuk mengiriminya foto. Bertelanjang. Bayangkan saja. Kekasih yang ia cintai tiba-tiba sekali memintanya mengirimi foto bertelanjang. Siang bolong begini.Gisel baru pulang dari les ketika jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Lelah dan remuk badan adalah dua hal yang ia rasakan kala itu. Padahal ini tanggal merah di hari Jumat. Entah peringatan hari besar apa kala itu, Gisel tak tahu.
Sembari melepas sepatu dan kaos kaki berwarna biru tuanya, Gisel mengeluarkan ponsel dari tas. Mendapati notifikasi dari sang kekasih, Raga Anggara, yang menanyakan ia sedang dimana membuat Gisel tersenyum kecil.
Ah, kekasihnya itu memang selalu memenuhi Gisel dengan perhatian dan kasih sayang.
Gisel merebahkan tubuhnya ke ranjang, berguling untuk menghadap kanan. Kedua tangannya mengetikkan balasan untuk sang kekasih.
To : Raga A
From : Giselle Afreea W
di kamar, baru pulang les.
Tak perlu menunggu lama hingga balasan kembali datang.
To : Giselle Afreea W
From : Raga A
mau vidcall enggak?eh, gak usah deh. jangan vidcall.pap dong, kangen nih.
Gisel sudah hendak menekan fitur kamera, menuruti permintaan kekaishnya tanpa berpikir panang. Apa gisel bilang, apa yang dimau Raga padanya, Gisel selalu ebrusaha mengiyakan selahi ia bisa. Namun ketika satu pesan lagi masuk, masih dari pengirim yang sama, membuat Gisel langsung diam dan jemarinya kaku.
To : Giselle Afreea W
From : Raga A
foto telanjang tapi ya sayang
hehe
mau kan?
aku tungguin
i'll love the way you naked
Ck, sampai sekarang Gisel masih tak habis pikir dengan otak Raga.
Kala itu mereka masih menggunakan seragam putih biru, demi Tuhan. Kenapa bisa-bisanya Raga meminta hal tersebut pada Gisel? Dava belum tahu soal ini. Bukan niat Gisel untuk menutup-nutupi. Aibnya di masa lalu tak akan membuat Dava menjauh, ia tahu itu. Tapi Gisel sudah benar-benar muak hanya dengan menyebut nama laki-laki b******k tersebut. Ingin rasanya ia cabik wajah Raga dan mengulitinya setiap kali ia ingat. Untung saja Gisel tidak mau. Ia menolak mentah-mentah permintaan Raga sekalipun kala itu cowok berkacamata tersebut berjanji tak akan menyebarkan foto Gisel. Hah, apa yang bisa menjamin cowok otak s**********n seperti Raga untuk tak menyebarkannya? Siapa tahu kemudian hari ketika Gisel meminta putus, Raga menolak dan mengancamnya lewat itu? Benar, kan?
Ketika ia akhirnya meminta putus saja, Raga marah besar. Hampir mendaratkan tangan di pipi Gisel jika saja teman-temannya tak datang untuk langsung melindunginya.
"Aku mau kita putus."
Gisel mengatakannya usai ia menarik Raga yang sedang bermain bola basket ditengah lapangan bersama teman-teman ekstra kulikulernya. Perempuan yang hari ini memakai pita hitam di ujung rambutnya itu tak punya waktu lagi menunda-nunda mengatakan ini.
Raga tertawa sinis sebelus sorot mata tajamnya menghunus tepat pada retina Gisel. Kini ada emosi di sana. "Ngomong apa kamu?"
"Aku. Mau. Putus."
"Aku enggak mau."
"Terserah," Gisel mendekatkan langkahnya pada Raga. Tak peduli ketika ia tahu bahwa beberapa siswa melirik ke arah mereka yang terang-terangan bertengkar di dekat pos satpam sekolah. "Aku gak peduli kamu mau atau enggak. Tapi mulai detik ini, kamu bukan pacar aku. Kita gak ada hubungan apa-apa lagi dan kamu udah gak punya hak buat ngatur aku. Ngerti kamu, Ga?"
Raga mendecih. "Giselle Afreea Wicaksana, lo kira lo siapa bisa mutusin gue, hah? Lo cuma cabe-cabean gak berkelas yang harusnya bersyukur, dari sekian ribu cewek yang mau sama gue, gue milih elo. Dan apa-apaain ini? Lo mutusin gue? Hah!"
Tak pernah sekalipun Raga menggunakan kalimat sekasar ini sejak har pertama Raga mendekatinya. Tak pernah sekalipun ia tahu sosok yang selama ini mengisi hati dan pikirannya adalah laki-laki b******n tak berperasaan seperti Raga Anggara. Yang ia tahu, Raganya adalah Raga yang lembut, penuh pengertian, dan menyayanginya. Bukan sosok iblis yang menjelma menjadi siswa SMP berkacamata dengan alis tebal.
Melihat Gisel yang diam saja. Dengan sorot mata penuh amarah namun jika siap menetes kapan saja, Raga meludah di samping sepatu kekasihnya. "Apa? Lo mau ngelak? Lo enggak akan bisa ngambil kontrol dalam hubungan kita. Karena gue yang punya kuasa."
"WE ARE OVER. NOW!"
Gisel memilih mengakhiri percakapan busuk antara dirinya dan Raga dengan empat kata itu. Berharap mereka sudah selesai sata itu juga dan Gisel tak perlu naik darah lagi. Namun tepat ketika Gisel sudah menghentakkan kakinya ke tanah, bermaksud untuk meninggalkan Raga dan kembali kepada teman-temannya yang sedang menunggu ia di depan gerbang sekolah.
Tapi cekalan kasar dan kencang di lengan tangannya membuat langkah Gisel terhenti. Raga membalikkan badan Gisel agar menghadapnya. Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk. Tepat saat tangan besar Raga hendak terangkat melayang ke pipi Gisel, tiga teman dekat Gisel langsung berlari dan mengambil posisi menyembunyikan Gisel.
"Apa-apaan lo, woi?!"
"Cowok macem apa lo main tangan sama cewek?! Di sekolah pula!"
"Psikopat lo, anjing!"
Mimpi apa Gisel sampai-sampai pacar pertamanya berkelakuan seperti hewan begitu. Sudah m***m, tak tahu diri, main tangan pula. Hal tersebutlah yang jadi faktor utama Gisel menutup hati. Beuruntung kemudian ia mengenal Dava lewat kencan buta yang ia lakoni.Layaknya pecundang seperti bagaimana seorang Zayn Malik yang mengakhiri hubungannya dengan Perrie Edward lewat pesan singkat sja apadahal mereka sudah bertunangan dan hampir menikah, begitu pula rasa kesal yang dialami Gisel pada mantan kekasihnya, Raga Anggara.
Banyak umpatan dan doa buruk yang tercecar untuk Raga dari Gisel. Berharap laki-laki sinting itu akan segera ditelan bumi dan terbang ke neraka. Lagu Shout Out to My Ex yang dinyanyikan oleh Perrie dan usut punya usut lagu itu spesial untuk Zayn Malik, Gisel pikir lagu itu cocok juga untuk Raga b******n Anggara.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
I swear you will never, you will never bring me downI deleted all your pics
Then blocked your number from my phone
You took all you could get
But you ain't getting this love no more
'Cause now I am living so legit
Even though you broke my heart in two, baby
But I snapped right back, I am so brand new, baby
Boy, read my lips, I am over you, over you* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *