01 | Flashback 5 Bulan Lalu

4993 Kata
4 DESEMBER. PUKUL 14:00 Gasta meniti anak tangga dengan tenang, menuju lantai dua kafe hits Jakarta Selatan, sambil menenteng dua kantong putih berisi penghias ruangan. Tempat yang akan dia gunakan untuk membuat surprise party Denta yang ke 17. Gotta Go kafe, merupakan kafe yang cukup sering dia datangi untuk sekedar nongkrong, membuat pemuda itu tidak kesulitan untuk menyewa tempat ini. Tentu saja dirinya sudah mengenal pemilik kafe ini, yang tak lain Ardian, temannya di klub racing yang sudah menginjak bangku kuliah. Setibanya, Sandy, Leo, Alex, Dira dan juga Ivon, yang sampai terlebih dahulu kini sibuk bergelut dengan kesibukan masing-masing. Sandy dan Leo yang memasang lampu, Alex menata meja, sementara Dira dan Ivon membuat hiasan lainnya. Nugraha? Cowok itu belum datang juga, padahal sudah diberi tahu bahwa jam setengah dua siang sudah harus berkumpul. “Lex, kasihin ke Dira dong!” kata Gasta, menyodorkan beberapa kertas lipat warna-warni. Alex menerimanya, lalu kemudian menjalankan perintah, sementara Gasta sibuk membantu Leo memasang lampu karena Sandy kini beralih tugas ke yang lain. “Sandy, ambilin gunting sama lem dong!” pekik Ivon, diangguk tenang oleh Sandy. “Sekalian, tanyain ke Gasta ya, bunga kertasnya pengen ditempel sebelah mana?” seru Dira tanpa mengalihkan perhatian dari kesibukannya. Sandy melengos, jadi si penurut memang begitu, kerjaannya hanya disuruh meskipun pada akhirnya tetap menurut. “Lemnya mana woi? Masih lama nggak?” “Gunting woi gunting! Kabelnya kepanjangan ini!” Suara cempreng Alex dan Leo membuat Gasta terloncat kaget. Pemuda tampan itu mengumpat kesal, menabok p****t Leo yang masih berdiri di anak tangga. Sampai sebuah suara berasal dari bawah, membuat kegiatan mereka semua jadi terhenti. “Naik ke genteng, makan kedondong. Nugraha ganteng, sudah datang dong! Ayo sini sungkem dulu sama Papa!” pekik Nugraha tidak tau malu. Pemuda itu menenteng kresek besar berisi aneka cemilan dan minuman. Tentu saja, atas perintah ketua suku. Tak mungkin, Nugraha berbaik hati membelikan makanan untuk teman-temannya sementara dirinya saja lagi bokek. “Si*lan, jam segini baru sampai. Temen apaan lo?” pekik Dira langsung sewot, menatap cowok bergigi kelinci itu. “Mending, nggak usah datang sekalian aja, Nu,” sindir Ivon ikutan. “Tenang guys, namanya juga pemeran utama, pasti datangnya belakangan,” kata Nugraha enteng. “Cuih!” Nugraha mengumpat, kemudian meletakkan segala jenis makanan ke meja dengan rapi. “Muka lo cerah amat deh, Nu? Kayak kepalanya Pak Dino,” tanya Leo, melihat Nugraha senyam-senyum sejak tadi. Nugraha menoleh, merapatkan bibir lalu menyengir. Semua orang kompak jadi mendelik, termasuk Gasta. “Tadi di minimarket, gue ketemu cewek yang waktu itu, Le,” katanya dengan semangat empat lima. Alex menaikkan sebelah alis. “Cewek yang mana, Nu?” Nugraha berdecak. “Itu loh, cewek cantik yang pernah gue tolongin, waktu dia kecopetan di Gang Haji Abdul Salim, dekat sekolah.” Leo mengerutkan kening, begitu juga Gasta, Alex dan Sandy, berpikir keras. “Yang bocah SMP itu?” pekik Sandy baru ingat, membuat ketiga yang lain ikutan ingat. Nugraha mengangguk semangat saat Sandy mengatakannya. “Iya, namanya Kinara. Tadi beberapa kali dia senyum ke gue. Senyum woi!” Semua orang mendelik sepenuhnya termasuk Dira dan Ivon. Nugraha bercerita dengan berapi-api. “Abis itu, dia mepet-mepet ke gue. Lo pada tau nggak, kenapa dia mepetin gue?” tanya Nugraha tersenyum sombong. Gasta menyipitkan mata. “Mau utang kali.” “Minta dibayarin pas di minimarket kali, iya kan?” tebak Leo. “Ah, gue tau. Palingan, Kinara lagi negur lo, gara-gara ritsleting lo belum dinaikin,” ejek Alex. Nugraha mengumpat, karena tidak ada satupun jawaban dari mereka yang benar bahkan tidak masuk akal semua. Menyebalkan. “Dia minta nomor gue.” “Alhamdulillah!” kata mereka semua kompak, membuat Nugraha melongo. “Kok alhamdulillah?” “Akhirnya setelah penantian panjang ya, Nu.Ada cewek yang mau minta nomor lo,” kekeh Dira. Alex mengangguk setuju. “Udah, Nu.Nggak perlu pakai susuk-susuk segala sekarang. Buktinya masih ada cewek yang mau sama lo,” timpal cowok itu. “Nyebelin lo semua!” umpat Nugraha. “Dah, mending lo bantuin cat, mumpung masih panas. Takutnya entar malam belum kering.” Sandy menyodorkan kertas manila putih, berukuran besar ke pemuda itu. Setengah hati Nugraha menerimanya, meski dengan bibir yang masih maju. *** PUKUL 15:35 Gasta menatap puas pada hasil kerja. Dekorasinya memang tidak terlalu mewah, tapi cowok itu berharap, saat malam nanti Denta melihatnya maka gadis itu juga menyukainya. Sebagai finishing, cowok itu meletakkan kotak kado warna pink berukuran super besar di meja bersamaan dengan bunga kertas hias buatan Ivon dan Dira. “Gila, keren banget hasil karya gue.” “Gue yang nata lampunya dong!” Leo berseru sombong. “Gue dong, yang bikin pernak-perniknya, makanya jadi bagus,” kata Dira tak mau kalah. “Tanpa lampu, keindahan ini nggak bisa dinikmati,” kata Leo ngotot. Dira mendecih. “Tanpa pernak-pernik hiasan, percuma ada lampu, tapi nggak indah.” “Eh, kuenya udah kan, Von?” tanya Gasta hampir saja kelupaan. Ivon mengangguk. “Tenang aja, udah gue pesenin, nanti tinggal ambil.” “Eh, bunga buat Denta gimana?” seru Alex ikutan heboh. Dira angkat tangan. “Udah gue beliin, tinggal diambil juga.” “Cih, kita yang capek-capek bikin, tapi nggak diundang,” cibir Nugraha pedas. “Besok gue traktir,” sahut Gasta cepat. “Halah, traktiran cuma batagor doang buat apa, Gas?” ejek Nugraha lagi. Memang, Gasta tidak berniat untuk mengundang teman-temannya ketika acara nanti. Dia hanya ingin berdua dengan Denta saat pergantian hari saat jam dua belas agar semuanya lebih terasa spesi*l, tanpa ada gangguan. Apa lagi yang bersumber dari Nugraha atau Alex. Katakan Gasta egois, tidak masalah. Karena nyatanya, dia hanya ingin menjadi orang yang pertama menjadi pengucap pertama, ulang tahun Denta yang ke tujuh belas. Gasta tidak sabar melihat senyum di bibir gadis itu. “Kalian pilih tempatnya, gue ngikut aja,” kata Gasta tenang, sukses membuat semuanya jadi bersorak senang. *** 4 DESEMBER. PUKUL 16:11 Kamar yang didominasi warna pink pastel itu terlihat berantakan. Nyaris berpuluh-puluh dress, pakaian dan juga sepatu berserakan di tempat tidur. Sedangkan pemiliknya justru mondar-mandir di depan kaca, mencoba beberapa pakaian. Denta, gadis itu mengacungkan selembar kertas warna hijau, yang sukses membuat jantungnya berdebar kencang. Tidak menyangka, sweet seveenten kali ini akan bersama Gasta. Padahal setahun yang lalu, dia masih berpacaran dengan Azka. Gadis cantik itu kembali membaca bait tulisan yang membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum. 4 Desember, datang ke Gotta Go Kafe jam 22:00 ya! Kita tiup lilin bareng-bareng jam 00:00 tanggal 5 Desember. “Gis, menurut lo gimana kalau gue pakai dress yang ini?” tanya Denta pada Gista yang sibuk men-charge ponsel di sudut kamar. Gista melirik, memutar bola mata jengah. Sudah satu jam yang lalu, temannya itu tidak berhenti untuk mencoba segala jenis baju. Padahal Gista sudah mengatakan bagus, tapi Denta mengatakan sebaliknya. “Bagus.” “Ish, lo mah semua juga dikatai bagus,” tutur cewek itu sebal. Gista mendecak. “Ya, emang bagus kok. Heh, cewek tinggi dan putih itu pakai apa-apa juga kelihatan bagus. Beda lagi sama gue yang punya badan mungil begini,” sambungnya. “Lo mah insecure banget,” ledek Denta membuat Gista mendelik. “Cih, apa bedanya sama lo?” cibir Gista tak mau kalah. “Ih, gue kan diajak Gasta ngerayain ulang tahun. Jadinya, gue harus tampil spesial dong,” Denta mendecak sebal. “Udahlah, pakai dress yang itu aja, udah bagus kali, Nta,” kata cewek itu. Denta meneliti kembali penampilan di depan cermin, “Terlalu gelap warnanya. Masa iya malam-malam pakai dress hitam?” katanya dengan helaan napas frustasi. “Kalau nggak mau gelap, pakai dress yang maroon tadi aja. Kan cerah tuh warnanya, bagus.” Denta mendecak lagi. “Nggak ah. Itu dress terlalu kebuka. Aurat tau. Gini-gini, gue pernah belajar agama.” “Halah.” Gista memutar bola mata, jengah. “Gimana dong, Gis? Baju gue nggak ada yang bagus. Mendadak jadi jelek semua nih.” Denta mengeluh, kini mengambil dress warna pink. Warna kesukaan cewek itu. “Pakai dress gue aja, ribet banget,” usul Gista. Denta menabok kesal. “Mana muat elah!” Sekarang, gadis itu justru melempar tubuhnya ke kasur. Kemudian berguling-guling, frustasi. “Entar malam, lo dijemput Gasta apa gimana?” tanya Gista penasaran. Denta menggeleng. “Dia maksa mau jemput. Tapi gue nggak mau.” “Kenapa? Bukannya malah enak kalau dijemput? Lebih aman.” “Gue berangkat sendiri aja, Gis.Naik mobil. Lagian, gue pengen bikin Gasta penasaran dengan penampilan gue.” Gista melongo, belum menjawab. “Gue mau bikin dia terpesona. Ah, gue jadi nggak sabar buat acara nanti malam sama Gasta. Pasti romantis!” *** 4 DESEMBER. PUKUL 16:30 Sekarang masih jam setengah lima, tapi semua semua persiapannya sudah selesai. Mulai dari tempat, kado, bunga dan juga pakaian untuk nanti malam.Gasta memijit pelipis yang tiba-tiba berdenyut pusing. Kemudian melemparkan tubuhnya ke sofa, bergabung bersama sang mama, membuat wanita paruh baya itu terkejut. Rita berdecak. “Ngagetin aja kamu.” “Maaf, Ma,” balas Gasta singkat. “Habis dari mana kamu? Kok dari tadi Mama nggak merhatiin kamu ada di rumah?” tanya Rita, membuat Gasta tersenyum. “Loh, kenapa malah senyum?” “Habis dari Gotta Go Kafe,” balas pemuda itu singkat. Kening Rita mengerut. “Ngapain kamu ke sana? Nongkrong?” “Siapin kejutan buat Denta nanti malam,” kata cowok itu. Rita mengangguk paham. Sekarang, wanita itu merubah posisi menghadap ke Gasta sepenuhnya. “Denta ulang tahun?” “Iya.” “Kenapa nggak bilang Mama? Kan juga pengen ngasih kado buat calon mantu,” oceh wanita itu. Tanpa menjawab, Gasta terkekeh. Mengambil komik di meja lalu membaca. Sampai ketenangannya terpecah, saat seseorang berhentidi depannya. Gasta mengangkat sebelah alis, gadis berkulit cerah itu menatap ke arahnya. “Apa?” tanya Gasta dingin. “Loh, Melody kok bawa koper? Mau ke mana?” tanya Rita bangkit dari kursi. Melody merapatkan bibir, mencoba memberanikan diri menatap Gasta lagi. “Aku harus ke Bandung. Nenek Maya lagi sakit. Kamu bisa antar aku nggak?” tanya Melody. Gasta menatap datar. “Sorry, nggak bisa.” Sedetik kemudian, cowok itu kembali mengalihkan pandangan. Mencoba untuk tidak peduli, meski gadis itu akan merengek nantinya. Tenggorokan Melody tercekat. Dia pikir, Gasta sudah melupakan kejadian malam itu. Ternyata tidak, cowok itu masih marah dengannya. “K-kenapa?” tanya Melody ragu. “Gue ada urusan nanti malam.” “Apa nggak bisa ditunda?” seru Melody seperti tak mau tau. “Nggak!” Melody memejamkan mata selama beberapa saat, dengan tangan terkepal. Sebelum akhirnya, mencoba menguasai diri. “Gas, please! Cuma kamu yang bisa antar aku. Nggak ada lagi yang bisa aku mintai tolong,” ujar Melody memelas. Gasta mendengkus, menatap tajam.“Naik taksi! Nggak usah manja.” Melody membulatkan mata, tak menyangka Gasta akan setega ini padanya. Selama 17 tahun hidup, tak pernah Gasta bersikap seperti ini padanya. Baru kali ini. “Kamu tega sama aku, Gas?” tanya Melody membuat Rita yang melihat jadi bingung sendiri.“Apaan sih, Mel?” Tubuh Melody gemetar, gadis itu mencoba memberanikan diri melihat ke arah Gasta lagi. “A-aku sakit, terus kamu tega nyuruh aku buat naik taksisendirian sampai Bandung?” “Kenapa nggak?” sinis cowok itu. “Gas, please antarin aku! Lagian cuma Bandung aja, dan perjalanan Jakarta ke Bandung nggak lama.” Cewek itu ngotot. Rita yang mengetahui ide tentang Gasta yang akan merayakan ulang tahun Denta malam ini, tentu saja ikutan menolak permintaan itu. “Melody, Gasta udah ada janji buat rayain ulang tahun Denta. Kamu naik taksi aja ya,” ujar Rita mencoba memberi pengertian. “Bude, ini masih jam setengah lima. Masih ada waktu buat Gasta nemuin Denta nanti malam. Lagian, kenapa sih sejak ada Denta, waktu Gasta buat aku jadi berkurang?” pekik Melody bersikeras. Gadis itu melanjutkan. “Toh, mereka juga masih bisa rayain ulang tahun Denta besok.” Rita menatap Gasta. Putranya itu kini terlihat mengeraskan rahang dengan tangan terkepal, membuat Rita langsung menyambar lengannya seolah menenangkan. “Lo egois!” tukas Gasta tajam. Melody membuang muka dengan mata yang berkaca. “Apa susahnya sih, Gas?Tinggal antar aku doang?” seru cewek itu tetap tak menyerah. “Biar bude aja yang anter kamu, Mel.” Sampai akhirnya Rita memberi solusi yang sukses membuat kedua remaja itu tersentak lantaran terkejut. “Kok malah jadi Bude?” tanya Melody tentu saja menolak. “Mau gimana lagi, Mel? Gasta udah ada janji, buat rayain ulang tahun Denta nanti malam,” ujar Rita sabar. “Jangan, Ma. Mama aja udah jarang banget nyetir,” kata Gasta khawatir. Sampai akhirnya suara derap langkah mendekat, membuat mereka yang menoleh bersamaan. “Pakde aja yang antar kamu,” ujar Daffa yang baru kembali dari kantor. Pria dewasa itu terlihat melepaskan kacamata. Garis wajahnya terlihat kelelahan, membuat Gasta yang melihat tentu saja tidak tega. “Ya udah, Papa aja,” kata Rita langsung setuju. “Biar aku aja yang antar. Papa baru aja pulang kerja, kasihan.” “Loh, terus gimana sama Denta? Dia bakal kecewa kalau kamu batalin janji gitu aja. Kasihan dia.” “Nggak akan batal kok, Ma.” “Bener?” tanya Rita diangguki oleh Gasta, dan Melody jadi tersenyum untuk itu. “Masih ada waktu, Ma,” ujar Gasta sambil melirik jam tangan di tangan kirinya. Ini masih jam setengah 5 sore dan dia masih ada waktu enam jam setengah sampai pertemuannya dengan Denta nanti malam. Perjalanan pulang pergi Jakarta ke Bandung hanya butuh waktu dua atau tiga jam. Tidak apa, Gasta tidak akan membatalkan janjinya .*** 4 DESEMBER. PUKUL 19:48 Gasta mengumpat kasar, memukul stir kemudi dengan wajah memerah. Kesalahan terbesarnya adalah dia lupa bahwa ini adalah weekend. Jika biasanya membutuhkan waktu dua atau tiga jam untuk ke Bandung, maka kali ini memakan waktu sampai empat jam lebih Seingat Gasta, setelah tiba di Bandung hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke rumah Nenek Maya. Tapi kali ini, sepertinya semesta tidak sedang berpihak pada Gasta. Pemuda itu menarik napas kasar. Dengan berat hati meraih ponselnya untuk menghubungi Denta, meski dia agak ragu. Dan bodoh, bagaimanamungkin dia bisa lupa men-charge ponselnya? “Maaf, Gas.Gara-gara aku, pasti acara kamu dan Denta berantakan,” kata Melody menatap bersalah. “Nggak usah sok ngerasa bersalah. Gue tau apa rencana lo,” desis Gasta tajam, tanpa mengalihkan pandangan. “Gas--” “Gue bersumpah, nggak akan pernah maafin lo kalau sampai Denta benci gue karena masalah ini.” Melody menggigit bibir, tenggorokannya tercekat. Gadis itu menatap Gasta dengan mata berkaca. Melody memilih untuk merunduk, tidak berani menatap pemuda itu lagi. *** 4 DESEMBER. PUKUL 22:12 Denta menghentikan city car kuning lemonnya, saat tiba di kafe yang dimaksud Gasta. Kafe yang sering dia jadikan tempat tongkrongan bersama Dira dan juga lainnya. Ngomong-ngomong soal Dira, gadis itu masih ada di rumahnya bersama Gista bahkan tertidur dan berencana menginap. Denta turun dari dalam mobil. Gadis itu mengenakan dress hitam yang menjuntai hingga mata kaki dengan lengan pendek. Heels lima senti warna putih tulang turut menyempurnakan penampilannya Denta merapatkan bibir, merasa bingung dan gugup di waktu yang bersamaan. “Kamu pacarnya Gasta bukan?” tanya pemuda tampan yang tiba-tiba menghampiri. Denta menaikkan sebelah alis lalu mengangguk pelan pada pemuda dengan kemeja polos warna biru muda lengan panjang. “Iya, Gasta udah datang?” “Belum. Kayaknya habis ini. Ayo, aku antar ke atas. Kamu tunggu aja di sana.” Sesampainya, Denta membulatkan mata, mulutnya menganga lebar tidak percaya dengan penglihatannya. Sebuah ruangan yang disulap menjadi secantik ini. Dekorasi didominasi warna pink, warna favoritnya. Ada banyak balon berbentuk love, lampu warna warni, serta sebuket bunga mawar, kue tart berbentuk doraemon, dan sebuah kotak besar di dekat meja, membuat senyum Denta tak juga luntur. “Gasta nyiapin ini buat gue? Gila sih, sweet banget dia. Belajar darimana coba?” gumam Denta tak habis pikirlalu meraih kotak besar merah muda dan menarik pita merahnya. Happy birthday, Sayang! I love you. Denta Kalla Nayyira. “Eh, ini gue buka nggak apa?” tanya Denta bingung, entah pada siapa. Sesaat setelahnya, gadis cantik itu melengos tak peduli. “Bodo amatlah, toh ini buat gue,” katanya cekikikan. Saat kotak berhasil dibuka, gadis itu tersentak kaget, sebelum akhirnya senyum lebar kembali terpatri. Sebuah boneka teddy bear berukuran jumbo berwarna krem dengan pita cokelat melingkar di bagian leher. Denta membekap mulut, nyaris ingin menangis. Saat mengangkat boneka besar itu, sebuah post it tertempel di sana. Denta memeluk bonekanya dengan erat sembari mengharapkan kedatangan Gasta. *** MOBIL Gasta baru saja keluar dari tol Padalarang. Pemuda tampan itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, dan ugal-ugalan. Cowok itu mengumpat, saat dia gagal menyalip sebuah mobil di depannya. Gasta tau, terlalu mustahil untuk dia bisa sampai di Jakarta pukul dua belas malam. Tapi, pemuda itu masih berharap banyak, dengan terus memacu mobilnya, lebih cepat dari sebelumnya, tanpa memikirkan apapun. Sekalipun sekarang nyawa yang menjadi taruhannya. Pemuda itu hanya takut, membuat Denta kecewa untuk yang kesekian kalinya. “Demi Tuhan, Mel.Gue nggak akan maafin lo setelah ini,” kata Gasta dengan sorot matanya menajam. 4 DESEMBER. PUKUL 23:42 Denta masih terus bertahan. Berbekal kepercayaan, gadis itu masih menunggu di Gotta Go Kafe. Denta berusaha menghubungi Gasta, tapi sayangnya, nomor pemuda itu tidak bisa dihubungi. Denta berjongkok mengistirahatkan tubuh. Menenggelamkan kepalanya di lipatan kaki, saat matanya mulai tidak bisa diajak kompromi. “Gas, lo ke mana?” gumam Denta. Sampai denting ponsel, membuat raut wajah Denta berseri. Gadis itu meronggoh ponsel dari tas dengan cepat lalu membuka pesan yang ada. Kening cewek itu mengernyit sesaat. UNKNOWN NUMBER : Gue Melody [Send a picture] Selamat malam dari kami, Nta. Dari awal, dia punya gue. Dan akhirnya, dia bakal kembali juga ke gue. Jangan beg* dengan nunggu dia! Mending lo balik aja, karena dia lagi sama gue. Denta meremas ponsel ketika melihat foto yang dikirimkan seseorang padanya. Foto mereka yang duduk di mobil yang sama. Denta menepuk d**a berulang kali, kemudian tertawa dengan air mata yang mengalir deras. “Nggak, gue nggak perlu khawatir.” Denta mengangguk, berusaha untuk mengendalikan emosi dan sesekali mengusap mata dengan cepat. “Gasta nggak akan bikin gue kecewa lagi. Gue percaya itu.” *** 4 DESEMBER. PUKUL 23:42 Gasta masih tidak mengenal lelah. Mobilnya terus melaju sekencang mungkin dengan kecepatan melebihi ambang batas normal. Sama sekali tidak berniat untuk menyerah dengan keadaan. Hanya satu yang ada dipikirannya, dia akan sampai secepat mungkin. Menghampiri Denta yang kemungkinan besar sudah kelelahan menunggunya di sana. Wajah cantik itu kini melintas dibenaknya. Sorot mata kecewa dan air mata yang mungkin saja akan tumpah seperti hari-hari sebelumnya. “Aku datang, Nta. aku pasti datang buat kamu,” gumamnya dengan mata memerah dan raut wajahnya terlihat khawatir. Hingga waktu menyisakan beberapa detik sebelum pergantian hari. Gasta berharap tidak akan ada lagi tangis yang disebabkan olehnya. Tapi sepertinya, hari ini, menit ini, detik ini, pemuda itu kembali membuat gadisnya menangis. “Melody si*lan!” teriak Gasta, hingga akhirnya tersentak saat sebuah kendaraan menghantam mobilnya dengan kuat. *** 5 DESEMBER. PUKUL 00:01 Denta terisak dengan dadanya yang menyesak. Dia benar-benar menangis. Menangis sejadi-jadinya sampai membekap mulut, untuk menyamarkan isakan. “Kenapa nggak datang, Gas? Kamu ada di mana sebenarnya?” lirihnya. Dengan tangan gemetar, dia meraih pematik api di dekat kue. Kemudian jemarinya bergerak menyalakan lilin berbentuk angka tujuh belas. “Aku harap kamu selalu baik-baik aja.” Setelah mengucap make a wish, gadis itu meniup lilin dengan air mata yang terus mengalir di pipi. Sampai dia memilih bangkit dengan dadanya yang masih saja sesak. “Aku pulang,” pamitnya entah pada siapa dan berlari ke arah luar kafe menghampiri mobilnya yang terparkir sendiri. Sampai satu sosok terlihat tidak jauh darinya. Pemuda itu Karrel, masih dengan ponsel yang ditempelkan ke telinga. Pemuda itu baru saja menghentikan laju ninja hitamnya, saat tiba-tiba panggilan masuk dari mamanya, membuat Karrel mau tidak mau jadi berhenti. “Denta!” teriak Karrel, saat pemuda itu sadar akan sosok Denta yang keluar dari kafe. Tapi gadis itu tidak sama sekali menoleh. Pemuda itu masih berada di atas jok motornya, memperhatikan Denta yang berlari menghampiri city car kuning lemon. Karrel semakin terkejut, saat dirinya sadar gadis itu menangis terisak dan melajukan mobilnya secepat mungkin. “Denta!” teriak Karrel, ketika Denta sudah menjalankan mobilnya. Tidak ingin berlama-lama, Karrel segera menarik gas, menyusul gadis itu. Denta sedang tidak baik-baik saja. “Lo ngapain dia lagi, Gas?” gumam Karrel dengan mata memerah. Raut wajah Karrel semakin terlihat kalut.Denta semakin melajukan mobilnya dan berhasil membuat raut wajah Karrel semakin khawatir. *** 5 DESEMBER. 13:58 “Bagaimana keadaannya, Dok?” Tanya seorang pria paruh baya berusia empat puluh tiga tahun dengan prawakan tinggi. Di sisi pria itu, seorang wanita paruh baya berusia empat puluh satu tahun yang mempunyai garis wajah asia yang sangat kental. Wajah wanita itu terlihat sembap seusai menangis semalaman, saat dia mendengar sang putra mengalami kecelakaan dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta. “Dia tidak apa-apa. Hanya mengalami syok dan beberapa luka di bagian kepala dan kakinya. Kita tunggu saja, sebentar lagi dia pasti sadar,” jawab sang dokter. Matanya menatap ke brangkar dengan seorang pemuda tampan yang tertidur pulas dengan perban di kepala dan lututnya. “Saya permisi dulu.” Rita kembali terisak. “Aku kecewa sama Melody, Pa. Kalau bukan karena dia, mungkin semua kekacauan ini nggak mungkin terjadi,” katanya. Daffa yang berdiri di sebelahnya terus menenangkan sang istri. “Anak itu benar-benar--” gumam Rita menahan geram, mengingat egoisnya gadis itu, membuat Gasta harus seperti ini. Butuh waktu yang lumayan lama, membuat kedua bola mata Gasta terbuka sepenuhnya. Meski terlihat sayu, tapi pemuda itu menatap jelas sekelilingnya. Dinding warna putih dengan sebuah lemari besar yang berada di sisi kiri ruangan dan juga sofa. Tubuhnya masih terasa kaku begitu juga tenggorokannya terasa kering. “Ma, m-minum,” panggilnya pelan. “Pa, dia bangun!” Rita segera berjalan mendekati putranya. Sementara Daffa langsung menekan tombol untuk memanggil tim medis. Taklama, seorang dokter muda datang dengan dua orang suster langsung memeriksa pemuda yang kini tengah meneguk air putih, pemberian dari sang mama. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jika keadaannya mulai membaik, kemungkinan secepatnya sudah dapat dipulangkan,” ujar dokter Andre sambil mengulum senyum tipis. “Terima kasih, Dok,” ujar Rita sambil tersenyum bahagia. Dia pikir, Gasta akan mengalami luka yang serius, ternyata tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Putranya baik-baik saja. “Kamu beneran udah nggak apa, Gas?” tanya Rita masih khawatir. Gasta tersenyum. “Nggak, Ma.Aku udah nggak apa,” sahutnya, pita suaranya terdengar lebih jelas. Gasta bersyukur, Tuhan masih baik padanya. Dia tidak mengalami luka yang serius. Hanya luka lebam dan goresan pecahan kaca. Mungkin, dia pingsan semalaman, karena terlalu syok. Sejak semalam, rasa sakit akibat benturan keras itu, membuat Gasta tak punya harapan lagi untuk bisa melihat matahari esok hari, orang tua, dan juga Denta--kekasihnya. Dia hanya bisa pasrah dengan Sang Pencipta, ke mana arah takdirnya. Jujur, Gasta belum mau mati dengan keadaan yang seperti ini. Meskipun Gasta sadar, ia bukan orang baik dan jarang beribadah, tapi tujuan dia mati tetaplah surga. Biarkan saja ia dikata tidak tau diri. Memangnya siapa yang mau masuk neraka yang panas begitu? “Gas!” panggil Papa, membuat Gasta mengalihkan pandangan. Daffa melirik Rita, seolah bertanya lewat isyarat mata. Membuat Gasta menyernyit heran. Apalagi ketika melihat sang mama mengangguk sendu, membuat ritme jantung Gasta berjalan tidak normal sekarang. “K-kenapa, Pa?” Daffa menarik napas dalam-dalam, menguatkan hati untuk melihat sang putra lagi, “Kamu, benar-benar sudah baikan?” Sadar ada yang tidak beres, Gasta menatap kedua orang tuanya jadi curiga. “Pa, ada apa?” “Denta, Gas,” lirih Rita, membuat raut wajah Gasta jadi berubah. “Kenapa sama Denta, Ma?” “Dia juga mengalami kecelakaan yang sama kayak kamu. Mama baru dengar kabarnya tadi pagi, dari temen kamu,” sambung wanita cantik itu. Gasta membulatkan mata.”Kecelakaan? Keadaannya sekarang gimana, Ma?” “Kritis, Gas” Rita menggeleng dengan air mata yang terus meluruh di pipi. Kalimat mamanya spontan membuat tubuh Gasta menegang. Pemuda itu langsung mencengkram pinggiran brangkar kuat-kuat. Kepalanya berdenyut sakit saat menerima informasi yang baru diterima. Tanpa kedua orang tuanya duga, Gasta langsung bangkit dari brangkar, mencabut selang infus secara paksa dan merampas kunci mobil yang dipegang Papanya. Berlari ke arah pintu seperti orang kesetanan. *** 5 DESEMBER. PUKUL 13:59 Nyaris menyentuh angka dua siang, Denta terbangun. Merasakan sekujur tubuhnya terasa menggigil dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia bahkan masih cukup sadar, untuk merasakan hantaman pada setiap inci tulangnya. Dia ingat jelas, setiap kepingan kejadian semalam di Gotta Go Kafe. Air matanya kembali menetes, ketika ia mengingat pemuda itu tidak datang menemuinya. Pemuda yang dikaguminya begitu sangat. Gasta. Sekali lagi, nama yang tidak akan pernah habis dicintainya. Bodoh memang, apalagi saat cinta itu menutupi segala kebenciannya. Denta sudah terlalu lelah karena menangis, dia bahkan hanya mampu untuk merintih dan terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Kini, matanya sibuk memutari ruangan serba putih. Mendadak netranya jatuh pada sosok pemuda tampan yang kini meringkuk nyaman di sisi ranjangnya, tertidur nyenyak. Pemuda itu Karrel. Isakan Denta semakin terdengar keras. Bodohnya, mengapa sulit sekali untuk bisa jatuh cinta pada sosok di hadapannya ini? Pemuda yang melindunginya begitu banyak selama ini. “Karrel!” panggil Denta pelan, dengan tangan terangkat menyentuh kepala pemuda itu. Pemuda itu bergeming, seakan menyadari usapan kepala itu kini dikuceknya mata sejenak lantas mengerjap- ngerjap pelan. Matanya memicing sesaat, memastikan tidak salah lihat. “D-Denta? Lo bangun?” tanya Karrel, garis wajahnya langsung berbinar. “Ada yang sakit? Lo butuh sesuatu? Apa, Nta? Cepet ngomong ke gue! Biar gue aja yang ngambilin. Mau gue panggilin dokter? Atau gue panggilin nyokap lo?” Karrel memberondong Denta dengan segala pertanyaannya. “Nyokap lo lagi keluar, nyari makan bareng sama Vero. Kalau temen-temen lo, mereka udah pada balik tadi pagi, karena harus sekolah sekarang,” sambungnya. “Oh ya, bokap lo lagi on the way ke sini. Dia habis ada jadwal terbang semalam dan baru sampai siang ini,” jelas Karrel tau, sebab ibu Denta yang mengatakannya tadi. “Lo mau makan?” tawar Karrel sambil tersenyum begitu lebar. Karrel terlalu bahagia sekarang. Dia pikir, Denta tidak akan sadar secepat ini. Mengingat beberapa saat yang lalu, gadis ini sempat kritis. Denta menggeleng lemah, mengulum senyum terpaksa. Karrel membasahi bibir bawahnya sebentar. “Kenapa? Lo nyari Gasta, ya? Di-dia belum datang,” ujar Karrel ragu. “Karrel,” panggil Denta lirih. “Apa lo percaya, tentang kehidupan berikutnya?” Karrel diam sebentar. Dengan lembut, tangannya membelai kepala Denta, menenangkan. “Lo ngomong apa, sih?” “Gue pengen percaya, Rel.” Tetesan bulir bening dari netra Denta meleleh. Sedangkan matanya kembali terpejam, tidak kuasa menahan sakit pada kepala juga tubuhnya. “Kalau bisa gue pengen kita ketemu lagi. Gue pengen jatuh cinta sama lo. Karena di dunia yang sekarang, gue nggak bisa melakukannya.” Denta terisak pelan. Sedangkan Karrel, memilih mengalihkan pandangan. Dadanya berdentam sakit yang luar biasa, mendengar suara Denta yang begitu serak dan pelan. Napasnya terputus-putus. Karrel tahu betul jika gadis yang dia cinta, dihujam kesakitan. Lo emang si*lan, Gas! “Lo nggak cinta sama gue nggak apa, Nta. Demi Tuhan, gue nggak apa. Asal lo mau sehat. Udah itu aja,” ujar Karrel memohon. “Rel, makasih karena udah mau cinta sama gue. Jadi pelindung gue saat dia sia-siakan gue. Makasih.” “Iya, sama-sama,” ujar Karrel tulus. “Gue pengen kuat Rel--” Tangan Karrel kembali tergerak mengacak rambut Denta dengan sangat gemas, “Lo kuat, lo juga hebat, Nta. Di mata gue, lo itu luar biasa. Lo bahkan satu-satunya cewek yang berani nampar gue pas tawuran.” Karrel terkekeh geli, mengingat pada hari di mana Denta menamparnya dan mengatakan benci padanya. “Lo nggak lembek, tapi ganas kayak macan. Kadang gue sampai heran, lo apain gue sih sampai bikin gue secinta ini?” Karrel terkikik geli dengan bulir kristal keluar dari netranya tiba-tiba. Denta menggigit bibir tidak bersuara berusaha sebisa mungkin tersenyum. Karrel semakin menggenggam tangan Denta dengan erat. Dia tau, sekalipun Denta tengah tersenyum, tapi gadis itu sangat kesakitan. “Maaf belum bisa cinta sama lo, Rel.” “Iya, Nta. Gue nggak apa, selama lo bahagia. Right?” Karrel menangis sekarang. Rasanya tidak kuat lagi melihat gadis yang dicintainya berada dalam keadaan seperti ini. Ingin sekali rasanya dia mengutuk Gasta yang bodoh sekali membuang gadis ini. “Rel, gue pengen tidur.” Dan benar, Denta benar-benar tertidur setelah itu atau sebenarnya masih terjaga dengan menutup mata? Karrel sendiri tidak tau. “Denta? Nta! Denta!” Karrel panik bukan main. Terus menerus menyerukan nama gadis yang matanya kini sudah terpejam selama beberapa detik. “Bangun, Nta! Jangan bikin takut gue kayak gini!” “Karrel ....” Denta menggumam. “Iya, Nta, ini gue Karrel!” Karrel begitu frustasi dengan wajah yang memerah. “Jangan tidur dulu, Nta! Gue masih mau ngobrol sama lo! Gue masih kangen!” isak Karrel, menggenggam tangan Denta, menyentuh seluruh tubuh Denta yang mulai dingin, wajah itu pucat pasi seperti tidak teraliri darah. “Apa pun yang terjadi ....” Suara Denta terbata, serak, susah payah dia ingin melanjutkan kalimatnya. “Jangan pernah sedih, Rel. Gue pengen lihat lo bahagia, meski bukan gue alasan dari kebahagiaan lo.” “Iya, gue janji. Gue janji bakal selalu bahagia,” sahut Karrel cepat, menyeka kasar air mata. “Denta! Bangun, Nta! Lo cuma tidur, kan? Lo nggak apa, kan?” pekik Karrel nyaring, saat melihat Denta benar-benar memejamkan mata. “Dokter! Suster!” teriak Karrel menekan tombol di dekat ranjang. Karrel hendak melepaskan genggaman, namun ia urungkan ketika Denta mencengkram jemarinya. Cowok itu berbalik, sempat tersenyum samar. “Tolong, Rel, bilang sama Gasta ....” Bulir bening itu terus mengalir, entah sedang sadar atau tidak, Karrel masih tidak mengerti, mata itu terus terpejam. “Maaf, karena nggak bisa ....” “Nggak bisa apa, Nta?” Karrel masih menunggu, namun Denta sama sekali tidak menyahut. “Denta, nggak bisa apa? Lo mau ngomong apa, Nta?” Karrel terus mengguncang tubuh Denta, berusaha menyadarkan. Tubuh gadis itu kaku. “Detak jantung pasien semakin melemah!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN