02 | Come Or Back

1683 Kata
PINTU lobi terbuka, menghadirkan sosok tinggi tampan masih mengenakan baju rumah sakit berwarna biru muda. Namun tersentak saat mendengar suara cukup familiar. Begitu ramai, mengerubungi meja registrasi. “Denta di mana?” Kali ini Gasta yang berseru menanyakan itu pada Panji. “Gue nggak tau. Katanya sih udah dipindahin ke kamar Bougenvile, Gas,” balas Panji. Setelah menerima informasi tentang ruangan gadis itu, Gasta mencoba untuk mengubah langkah lebarnya menjadi berlari walau terasa sakit. Raut wajahnya begitu kalut dan panik. Tidak berselang lama, langkah Gasta kian memelan, seiring kerutan pada keningnya. Ada Karrel dan Azka serta teman lainnya yang berkumpul di depan kamar rawat Denta seraya menangis terisak. Melihat Ivon yang masih berekpresi tenang, Gasta langsung berjalan cepat menghampiri. “Von, gimana keadaan Denta? Kenapa pada nangis gini? Dia baik-baik aja, kan?” tanya Gasta meski dia ragu mengatakannya. Tidak hanya Ivon, semua temannya kini menoleh pada Gasta. Ekspresi wajah mereka berbeda-beda. Nugraha dan Alex yang langsung membuang muka. Leo kembali menunduk, Sandy dan Azka mencoba untuk tenang, sementara Karrel mengepalkan tangan. “Von, ini pada kenapa?” tanya Gasta mulai panik, saat melirik Dira dan Gista yang sesegukan. Kakinya bergerak cepat mengecek kamar Denta namun kosong. Mata Gasta sontak saja dibuatmembulat penuh. “Di manaDenta?” tanya Gasta sekali lagi. “Kenapa dia nggak ad--” Ivon bangkit dari duduknya, tamparan keras melayang ke pipi Gasta sebelum sempat menyelesaikan ucapan. “Cewek gue di mana?” pekik Gasta dengan suara meninggi, tidak peduli akan tamparan Ivon barusan. Bukan jawaban, tapi tamparan keras kembali Ivon layangkan pada pipi Gasta. Sontak saja, semua orang dibuat terkejut karena itu. Nugraha dan yang lain sampai ikutan berdiri melihatnya. Suasana jadi menegang. “Von, udah!” kata Sandy tegas. “Ngapain lo masih nyari dia? Ke mana aja lo semalam?” “Von, lo tau alasannya. Dia ce--” Kepala Gasta tertoleh ke sisi samping, saking kerasnya tamparan Ivon. “Buat apa lo peduli?” tanya Ivon dingin. “Gue peduli, Von. Gue sayang sama dia. Kenapa lo nanya ini?” tanya Gasta kebingungan. “Bullshit!” teriak Ivon, tepat di depan wajah Gasta. Dira dan Gista langsung bergerak mendekati Ivon yang sepertinya sangat kalut sekarang. Menahan tangan cewek itu yang berniat memukuli Gasta kembali. “Lo si*lan, Gas! Harusnya dari awal gue larang lo dekatin temen gue!” sentak Ivon semakin murka. “Ini sebenarnya ada apa?” Tenggorokan Gasta terasa tercekat. “Mending lo pergi, karena gue muak lihat muka lo!” Ivon berniat menampar Gasta lagi, namun ditahan oleh Dira dengan cepat. “Dir, i-ini ada apa?” tanya Gasta pada Dira. “Setelah kesakitan yang dialami Denta karena ulah lo dan Melody, sekarang lo datang bersikap seolah nggak tau apa-apa? Hebat banget!” sindir Dira. “Ke mana aja lo semalam? Apa lo gila biarin dia nunggu lo selama itu?” Cewek itu mulai angkat suara, sedang Gista terus saja bungkam, tidak tau harus berkata apa. Melihat kening Gasta yang diperban, membuat gadis itu seperti memikirkan sesuatu. Ada yang tidak beres. Mata Gasta memerah. “Tolong, kasih tau gue, di mana Denta? Gue harus tau keadaannya.” “Pergi, Gas! pergi!” teriak Ivon. “Gue pengen ketemu Denta, Von,” ujar Gasta lirih. “Terlambat, Gas. Peralatan di tubuh Denta udah nggak ngerespon sama sekali. Dan--” Gista yang sejak tadi diam, kini mulai angkat suara. “Dan apa, Gis?” tanya Gasta cepat. “Dia udah nggak di sini,” balas Gista sambil mendesah pelan. “Maksud lo apa?” “Setengah jam yang lalu, Denta dibawa orang tuanya pergi dari rumah sakit ini,” Dira berseru mencoba untuk tidak emosi. “Kenapadibawa?” tanya Gasta langsung panik seketika. “Ayah Denta berniat bawa Denta ke Belanda. Karena beliau yakin, di sana Denta bisa sembuh,” ujar Gista masih tetap tenang. “Walau kecil kemungkinan, karena sekarang Denta koma,” Dira kembali menimpali. “Koma?” ulang Gasta seperti dirinya tidak yakin, mendengar fakta ini. “Iya, dia koma, setelah sempat siuman tadi,” tutur Gista kembali, sedangkan Ivon masih membuang muka enggan menatap Gasta. “Nggak! Lo semua pasti lagi bohong, gue yakin. Karena lo semua lagi marah sama gue, iya kan?” sentak Gasta marah, menatap nanar satu-persatu teman yang memilih bungkam. “Dir, please! Jangan kayak gini, gue takut, Dir!” Cowok itu menangis. “Cukup bilang ke gue, kalau dia baik-baik aja. Dia cuma lagi dipindahin ke kamar yang lain-” “Denta koma dan lo penyebab utamanya, Beg*!” Karrel tidak membiarkan Gasta menyelesaikan kalimat. Cowok itu mendaratkan pukulan dengan keras, membuat Gasta terdampardi lantai dengan napas tersenggal. Tenaganya tak cukup mampu mengalahkan Karrel yang sehat. “Lo cuma nakutin gue aja kan, Rel? Lo nggak serius sama yang lo ucapin barusan?” Gasta menyeka air matanya dengan cepat. Dengan sekuat tenaga, Karrel menendang perut Gasta agar menjauh. Melempar tinjuan pada wajah Gasta berulang kali dengan brutal. “Harusnya dari awal gue rebut dia dari tangan lo!” Kali ini tangan Karrel tergerak mencengkram kaus Gasta, menarik tubuh cowok itu secara kasar. Tidak ada perlawanan, Gasta begitu pasrah menerima perlakuan Karrel hari ini. “Demi Tuhan, Gas. Gue nyesel.Kenapa gue cuma lindungi dia tanpa berniatambil dia dari tangan lo!” teriak Karrel nyalang lalu membuang muka, berusaha menetralkan gebuan emosinya. Semua teman Gasta hanya bungkam melihat perlakuan sang rival pada teman mereka. Karena jelas tau di sini siapa yang bersalah meski tak berani ikut menghakimi. “Lo egois, Gas! Lo bebas jalan dengan Melody semau lo, tanpa pernah mikir di posisi Denta rasanya kayak apa. Lo selalu ada, saat cewek-yang katanya cinta pertama-itu butuh lo, sampai lo lupakan cewek lo sendiri.” “Sorry, Rel.Gue emang tol*l.” Gasta menangis, menyesali segala yang dia perbuat selama ini. Di hadapan musuhnya, dia menunduk sedalam-dalamnya. Selepas mengatakannya, Karrel pergi disusul oleh Azka, Ivon, Gista dan Dira juga pergi beberapa detik setelah itu. Sementara Nugraha dan yang lain belum berniat untuk bergerak. Meski sempat kecewa, tetapi mereka juga ingin bertanya ke mana Gasta semalam. Dengan jari tangan yang gemetar, perlahan dia membuka lembar demi lembar buku diary milik Denta. Di lembar pertama, ada foto keduanya saat di lapangan basket. Terlihat Denta tengah tersenyum ceria pada kamera dengan pose digit dua jari, sementara Gasta masih dengan kaus basketnya tersenyum samar, merangkul kekasihnya. Semakin ke halaman belakang, dia mulai membaca satu catatan lengkap dengan tanggalnya. Halaman terakhir yang ditulis Denta sebelum kecelakaan. 3 Desember 20XX Hai penyembuh luka. Aku mencintai kamu. Entah hari ini, besok, dan seterusnya sampai Tuhan sendiri yang meminta aku untuk berhenti. Apa kamu tau Gas, rasanya sulit banget buat aku berhenti suka kamu. Meski beberapa kali kamu sempat memberi luka karena nyatanya hanya kamu sendiri yang bisa jadi obatnya. Katakan aku bodoh, karena jatuh cinta berkali-kali meski selalu tersakiti. Cintamu begitu baik. Aku tidak bisa berhenti, meski aku menginginkannya. Dulu, aku pernah takut jatuh cinta, kupikir semua cowok itu sama. Tapi sejak kenal kamu, aku mulai percaya, masih banyak cowok yang baik di dunia ini. Gasta! Ya, kamu. Cowok yang sering aku ibaratkan sebagai puncak gunung es paling tinggi. Dingin dan susah digapai. Tidak ada hal yang membahagiakan selain bertemu denganmu hari itu. Dan tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain bisa bersama kamu, menjadi pacar kamu. Rasanya masih sulit banget buat aku percaya, kalau bos geng idaman di sekolah adalah pacarku. Rasanya baru kemarin aku kenal kamu. Dicium kamu di kantin utama sekolah sampai bikin aku kesal setengah mati. Lalu ditembak kamu di kelas. Awalnya aku sempat berpikir, bahwa kamu itu gila, Gas. Mana mungkin ada cowok yang maksa seorang cewek buat jadi pacarnya selain kamu. Gasta, aku kangen :( Padahal tadi di sekolah kita juga udah ketemu. Aku nggak sabar buat weekend besok. Karena malamnya, kita akan ketemu buat ngerayain ulang tahunku. Sumpah, rasanya masih sulit untuk aku percaya. Bos geng yang dikenal dingin, akan kasih surprise party buat aku. Aku hanya berharap, setelah besok, tidak ada lagi sakit hati yang kamu dan cinta pertama kamu sebabkan. Aku cuma takut harus kalah lagi seperti dulu. Karena dulu, aku bodoh sampai Azka harus pergi dan kali ini aku tidak mau bodoh lagi. Aku mencintai kamu, Gasta Nismara Alvredo. Sangat. Terima kasih sudah menjadi alasanku bertahan sampai sejauh ini. Denta Kalla Nayyira. Seperti raga yang sudah tak memiliki jiwa, tubuh Gasta merosot, ambruk ke lantai. Dunia pemuda itu seakan lebur bersama kepergian Denta ke Belanda. Air matanya tidak bisa berhenti keluar dari kedua netra hitam legam miliknya, dipeluknya buku diary milik Denta yang tadi dilemparkan Karrel ke arahnya. Semuanya benar-benar habis. Hanya tinggal menunggu waktu dan keajaiban membawa Denta kembali. *** GELAP, benar-benar sangat gelap. Gadis dengan baju putih panjang dengan rambut yang menjuntai itu memerhatikan sekeliling. Tepat di ujung jalan, seberkas cahaya putih membentang terang. Langkah kakinya perlahan menyusuri, tidak ada seorangpun yang berhasil ia temui. Hanya ada beberapa ekor burung yang terbang sesuka hati. Mereka seolah menyapa dengan cara mereka, membuat gadis itu bingung, bagaimana untuk membalasnya. Ketika langkahnya hampir sampai di muara cahaya, gadis itu berhenti pada sebuah titik. Ruangan yang mulanya hening, samar-samar terdengar suara tangis beberapa orang dan meminta untuk bangun. Gadis itu menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Tapi suara samar itu berubah menjadi kencang dan jelas sekali intonasinya tak menemui jeda. Dengan ragu, ia mengambil satu langkah untuk mundur. Seekor burung pipit dengan warna bulu yang indah, mendarat tepat di depannya. Entah bagaimana bisaa, tiba-tiba burung pipit itu bersuara. “Kau tidak dengar?” tanya burung pipit itu. “Mereka memintamu untuk kembali.” Gadis itu terkejut mendengar burung itu mengucapkan bahasa manusia membuatnya terhenyak untuk waktu yang lama. “Di mana aku?” tanyanya, mencoba memberanikan diri. “Kita ada di antara hidup dan mati,” jawab burung pipit itu. “Apa aku akan mati?” tanyanya was-was. “Belum waktunya. Kamu harus segera kembali,” balasnya. Gadis itu ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi kalimatnya kembali tertelan saat burung itu terbang menuju ke arah datangnya cahaya yang sebelumnya ingin dia tempuh. Dia mematung. Setelah sempat diam, memandangi sekeliling ruangan gelap itu dan menemukan sebuah pintu di ujung sana. Dengan setengah berlari gadis itu menjangkau pintu itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN