“Oh, masih ada orang ternyata.“
Seorang pria gempal berpakaian rapi membuka pintu. Matanya tertuju ke arah sosok pemuda yang tengah sibuk mengerjakan tugas seorang diri. Sementara, Rain yang kaget buru-buru menyembunyikan berkas. Ia buru-buru mencomot kertas laporan. Sambil pura-pura tidak menyadari.
“Oh, anggota baru, ya?"
Pria yang merasa kurang familiar dengan wajah pemuda itu pun, teringat pada sosok anggota yang belum lama dimutasi.
Lembur lagi, pak?” sapanya.
“Pak Tri?” lega Rain.
Rupanya, bukan atasannya yang datang. Meskipun demikian, bukan berarti dia tak perlu waspada. Tidak ada jaminan, pria yang dia panggil Pak Tri itu tidak akan mengadu. Pasalnya, meskipun seorang penjaga asrama, sosok Pak Tri merupakan purnawirawan yang pernah mengabdi untuk negara.
“Sampai kaget saya!” aku Rain.
Pria tadi senyum, berpikir betapa serius pemuda itu bekerja.
“Kopi?”
Pak Tri berinisiatif, menunjuk ke arah dapur. Kapan pun, diperintahkan dia sudah siap membuatnya.
“Tidak usah, pak!”
Rain menunjukkan kopi yang terlanjur dia buat sendiri.
“Oh, ya sudah, kalau begitu saya bantu beres-beres saja,” angguknya, mulai berkeliling.
“Tidak perlu, pak,” sungkan Rain.
Pak Tri menggeleng.
“Bisa membantu petugas aktif merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya,” akunya.
Rain senyum, menatap kepalanya yang hampir memutih seutuhnya. Rambutnya terlihat rontok di sana-sini. Kumisnya tampak lebat, tapi tidak berlebihan. Perut bulatnya begitu menonjol, seperti sengaja membuat kancing bajunya menjerit.
“Belum tidur, pak?“ tanya Rain.
Dia menahan laci dengan lututnya, menyembunyikan ujung berkas yang mencuat.
“Iya, khawatir karena lampu markas masih terang, makanya saya kesini!” jelas pria yang mengenakan hem putih itu, “boleh saya bereskan yang sebelah sini, pak?” lanjutnya, bertanya.
“Apa, sih, pak panggil saja Rain!” seru Rain.
“Rain?”
“Betul, itu nama saya.”
Pak Tri mengangguk, paham maksud prajurit muda itu.
“Sudah kode etiknya begitu, nanti mereka mengira saya tidak hormat, kalau memanggil perwira seenaknya,” ujarnya.
“Apalah arti jabatan, pak? Kalau sudah mati semuanya cuman sekedar mayat!” sahut Rain.
Pak Tri senyum, terkejut mendengar jawabannya. Dia jelas belum berada di usia yang lazim untuk mengkhawatirkan ketetapan Ilahi itu, tapi pikirannya sudah begitu jauh memandang, tapi entah mengapa wajahnya justru berubah murung.
“Kenapa, pak? Apa saya membuat anda merasa tidak nyaman?” tanya Rain.
“Tidak, saya hanya sedikit iri,” aku Pak Tri, “di zaman saya, butuh puluhan tahun untuk mencapai posisi anda. Bahkan, saya sendiri tidak pernah mencapai posisi anda, tapi anda kelihatan seperti tidak menginginkan jabatan itu!” lanjutnya, menuding.
Bukannya memberikan penjelasan, Rain cuman mendehem.
“Jadi, saya kelihatan seperti orang yang tidak berambisi, ya?” gumamnya.
Pak Tri mengamati sejenak, lalu mengangguk.
“Ah, bapak terlalu jujur!“ Rain.
“Bolehkah saya tahu, kenapa anda begitu?”
Pak Tri yang tidak tertarik basa-basi menimpali.
Lagi-lagi, bukannya memberi penjelasan Rain malah menunjuk pintu keluar. Sementara perhatian pria itu teralihkan, dia membetulkan posisi berkas dan mengunci rak meja. Jelas, Pak Tri yang tidak melihat apa-apa kembali menoleh. Memandangnya penuh tanya.
“Anda lihat sendiri, kan Ini sudah malam!" seru Rain, “maaf, saya tidak bisa cerita soal proses saya menjadi perwira, tapi satu hal yang pasti; sekarang pun, prosesnya masih sama,” imbuhnya.
“Lantas...”
“Kalau saya cerita, itu pasti akan panjang, pak!” putus Rain, “saya sudah hampir selesai, lain kali saja kita bicarakan lagi,” imbuhnya.
“Baiklah,” angguk Pak Tri.
Ia mengambil kunci yang tergantung di tempatnya, menunggu Rain selesai bekerja.
"Maaf agak lama!" ucap Rain, keluar.
“Mari!”
Purnawirawan yang memang bertugas menjaga markas itu memandu jalan, mengajaknya kembali ke asrama bersama-sama.
...
Paginya, Rain sudah menunggu di depan markas.
Pak Tri menatap jam tangan. Betapa herannya dia mendapati jam kerja masih agak lama. Sebenarnya, anggota yang berangkat lebih awal bukanlah perkara yang jarang terjadi, tapi seingatnya dia bukanlah golongan prajurit rajin seperti itu.
“Tumben, biasanya mepet jam delapan, mas?” celetuk Pak Tri.
“Mas?” bingung Rain.
“Apa saya harus panggil pak lagi?” Pak Tri.
“Jangan, pak! Begini saja lebih baik!"
Rain mengangguk, kini dia paham.
“Tumben berangkat pagi?”
Pak Tri mengulang pertanyaan.
“Kemarin malam lihat sendiri, kan saya lembur sampai malam?” jawab Rain, “kalau bukan gara-gara tugas, mana mungkin saya mau berangkat sepagi ini,” lanjutnya, mengeluh.
Tiba-tiba, Pak Tri melamun sendiri.
“Pak?!” tegur Rain.
“Y-Ya?”
“Tunggu apa lagi, kenapa belum juga dibuka pintunya?” tanya Rain.
“Oh, maaf, pak! Pasti dingin sekali berada di luar.”
Pak Tri bergegas membuka pintu.
Rain menuju meja kerjanya, sementara Pak Tri mengambil sapu lidi. Seperti biasa, dia mulai membersihkan halaman, tapi di tengah-tengah pekerjaan, ia sadar; lupa membawa serok. Terpaksa, dia pun, masuk lagi ke dalam.
Di perjalanan, ia kembali berpapasan dengan Rain. Sudah lima belas menit lamanya pemuda itu duduk di atas kursi, tapi meja kerjanya masih saja kosong.
“Katanya menyelesaikan tugas?” pikirnya.
Sadar sedang diperhatikan, Rain langsung pura-pura mengerjakan sesuatu, tapi Pak Tri masih diam memperhatikan.
Kurasa dia tidak mudah dibodohi, pikirnya.
Untungnya, terdengar suara telepon berbunyi. Tanpa pikir panjang, ia pun, mengangkatnya.
“Unit reserse Distrik 17, selamat pagi!”
Sambil menerima panggilan, Rain menyapa. Pak Tri pun, membalasnya dengan anggukan kepala.
“Omong-omong, siapa nih, yang telepon pagi buta begini?” pikir Rain.
Jangan-jangan...
“Se-per-tinya... ka-mu… su-dah… pa-ham … sedi-“
Brak!!!
Rain menutup telepon penuh amarah.
“Setan!!” teriaknya.
“Ada masalah apa, mas?”
Pak Tri buru-buru mendekat.
“Itu, dari kemarin, orang gila ini terus saja melakukan panggilan seperti ini!“ gerutu Rain.
“Panggilan?” heran Pak Tri.
Kriing! Kriing! Kriiing!
Rain mendecak, bertingkah seakan tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi, suara itu lambat laun membuatnya jengkel.
“Unit re-“
“Seo-rang…”
Brak!!!
Lagi-lagi, Rain menutupnya, tapi telepon kembali berdering.
“Apa la-“
“Wa-ni-ta… a-kan…“
Saat Rain fokus mendengarkan, Si Penelepon tiba-tiba berhenti bicara.
“Akan apa? Apa mau kamu!” maki Rain.
“Ma-ti...”
Tut! Tut! Tut!
Telepon seketika terputus.
Rain mulai gusar. Ia mencoba mengembalikan gagang telepon, tapi tangannya gemetaran. Suara gagang telepon yang membentur pesawat telepon, pun kedengaran jelas.
“Ada apa, mas?” tegur Pak Tri.
Pemuda itu menatapnya. Dia akhirnya berhasil menempatkan gagang telepon, tapi wajahnya begitu pucat, layaknya orang tidak enak badan.
“Apakah anda percaya ramalan?” tanya Rain.
“Tidak! Memangnya kenapa?” jawab Pak Tri, spontan.
“Saya juga tidak, tapi kalau kali ini terjadi lagi, apa yang harus saya lakukan?” tanya Rain.
Pak Tri yang tidak mengerti dari mana dan ke mana arah pembicaraan itu hanya diam, tapi jelas dia tidak ingin berpangku tangan.
“Mungkin, mas lelah? Duduklah saya buatkan kopi!” tenang Pak tri.
“Ya, pasti saya kelelahan,” sahut Rain.
“Sekarang, lebih baik tenangkan dulu pikiran anda!”
“Baiklah, pak!”
Rain mengangguk, duduk dan berusaha menghilangkan semua beban pikiran.
“Ini, mas!”
Pak Tri menyuguhkan segelas kopi, tapi Rain hanya melamun.
Sudahlah, nanti juga diminum, pikirnya.
Sambil menggeleng, ia pun, pergi.
Benar saja, aroma biji kopi yang tercium membuat Rain tersadar. Ia segera mencari-cari Pak Tri, tapi dia sudah kembali membersihkan halaman.
“Terima kasih banyak, pak,” gumamnya, mencicipi kopi itu.
Kafein yang terkandung dalam kopi, seketika merangsang sel-sel otaknya untuk kembali bekerja. Segala bentuk informasi satu-persatu mulai terangkai. Suara gadis di dalam panggilan yang terdengar familiar, kejadian tempo hari, hingga ramalan Sang Gadis yang menjadi kenyataan begitu cepat.
“Hanya kebetulan, hanya kebetulan!” gumamnya.
Satu lagi tegukan kopi ia minum. Dengan cemas, dia pun, mulai menunggu. Semenit, sepuluh menit, setengah jam, satu jam, hingga akhirnya lalu lalang prajurit mulai bermunculan.
Rain memandang berkas kasus, tapi semuanya sudah beres sejak tempo hari. Sebenarnya, dia sudah mengerjakan sebagian besar tugasnya sekaligus, tapi dia sengaja menyerahkannya satu-persatu, supaya bisa bersantai-santai. Jatah piketnya pun, kebetulan masih lama.
Ternyata, itu memang cuman kebetulan.
Merasa panggilan itu hanyalah iseng belaka, dia pun, mulai bermalas-malasan. Bahkan, sampai ketiduran. Seperti biasa, dia terbangun tepat di jam istirahat siang.
Sambil mengucek mata, Rain berdiri. Tanpa rasa bersalah, dia hendak pergi beristirahat. Namun, tiba-tiba saja Kolonel Wahyu datang.
“Kamu mau ke mana?” tegurnya.
“Siap, makan siang, komandan!”
Sambil memberi hormat, Rain menjawab.
“Ada apa ini?” pikirnya.
Tidak seperti biasa, Kolonel Wahyu memasang wajah serius. Matanya melotot. Kumisnya yang lebat pun, turun naik sedari tadi.
“A-Apa saya melakukan sesuatu, komandan?” tanya Rain.
Pemuda itu mencoba berpaling, tapi pandangan pria yang mendekati habis masa baktinya itu jelas-jelas membidiknya.
“Cuci muka dulu sana!” perintah Kolonel Wahyu.
“Cuci muka?” Rain.
“Aku tahu kamu habis lembur, kali ini aku maklumi!”
Rain mengusap-usap wajah.
Menyadari sesuatu yang kasar di ujung mulutnya, ia pun, tertunduk.
“Maaf, komandan!” ucapnya.
“Pergilah, tapi nanti kalau sudah selesai makan, langsung ke kantorku!”
“Memangnya ada apa, komandan?”
“Kamu mau makan, kan?“
“Izin, benar, komandan!”
“Ya sudah, bahasnya nanti saja!“
Rain masih diam.
“Kenapa masih di sini?!” tegur Kolonel Wahyu.
“Izin, tidak mau titip?” tanya Rain.
“Sedang tidak nafsu!“ jawab Kolonel Wahyu, singkat.
“Izin, kalau begitu, saya pamit, komandan!” ucap Rain.
“Tunggu apa lagi?” sahut Kolonel Wahyu.
“Kenapa, dia?” heran Rain.
Rain yang tidak suka menu kantin pergi ke warung bakso langganan. Di dekat jendela sebelah kanan, pemuda itu duduk. Itu adalah tempat yang memang biasanya dia gunakan.
“Biasa, kan, pak?”
Pelayan yang sudah melihatnya sejak awal menghampiri, membawa semangkuk bakso, serta es buah.
“Eh, tahu saja mbak,” girang Rain.
“Silahkan, pak!”
Sambil senyum, pelayan pun, menurunkan pesanan.
Rain menggosok kedua tangan, menatap kuah bakso yang terhidang. Pemilik toko dan para pegawai menatap wajah cerahnya di depan meja makan, yang selalu terlihat menonjol.
“Hari ini, siapa yang melayani?” tanya Si Pemilik.
“Saya, bu!” jawab Si Pelayan.
“Kamu kasih yang biasa, kan?”
“Es buahnya gelas gede, sama baksonya dikasih lebih.”
“Bagus.”
Ia mengangguk, membalas Rain yang terlebih dahulu memberinya salam.
“Kenapa tidak memanggilku?”
Rekan Si Pelayan mendatangi dengan wajah sebal.
“Kenapa, apa aku tidak boleh?” sewot pelayan tadi.
“Sudah-sudah! Sekali-kali gantian, biar sama-sama tahu pesanan pelanggan tetap, kalau-kalau salah satu libur, kan tidak repot!” lerai Si Pemilik.
Seperti biasa, mereka menatap pemuda itu makan dengan lahap. Hingga akhirnya, seorang pelanggan menegur.
“Ehm!”
“Maaf, pesan apa pak?” sambut Si Pemilik, “hey, kerja! Kerja!” lanjutnya, menegur.
“Baik, bu!” jawab mereka.
Rain senyum, kelopak matanya mengembang. Gurih kuah yang tidak berlebihan, aroma urat sapi yang khas, serta samar bau bawang goreng yang bertaburan. Semua sensasi nikmat itu masih menyisakan kesan yang kuat di benaknya. Rasa minyak dalam seruputan awal yang tidak menghianati ekspektasi, warna indah kuah bertabur seledri, hingga lemak putih mempesona yang mengambang dalam kuah itu. Semuanya dibalut dengan mie lembut, dan disajikan dengan mangkuk bergambar ayam jago yang semakin menggugah selera.
“Ah!“
Ingus yang melintas sekejap di hidungnya, ia bersihkan menggunakan tisu. Tanpa perduli pikiran orang lain, dia memulai lagi babak berikutnya. Aneka buah yang disajikan dengan sirup dan s**u kental manis, berlandaskan es batu yang menjadi penyangga harmoni lembut itu. Walaupun rasa buah semangka begitu mendominasi, manis s**u sirup dan dingin es batu menutupi segala kekurangan rasa. Sambil menyodorkan lembaran uang lima ribuan kepada pemilik warung, Rain senyum puas.
“Tidak ada uang pas, pak?” tanyanya.
“Tidak ada, bu!” jawab Rain, “omong-omong, panggil saya, 'pak' terus memangnya saya kelihatan tua, ya?” lanjutnya.
“Justru itu saya bingung."
“Bingung kenapa, bu?”
“Keponakan saya itu anggota. Yang biasanya duduk di dekat kasir itu lho, pak!”
“Terus?”
“Dia bilang, seragam bapak itu milik perwira,” jelasnya, “jadi, usia bapak harusnya empat puluhan, atau paling tidak tiga puluh lebih. Padahal rencananya mau saya jo...”
Si Pemilik tiba-tiba tidak jadi meneruskan ucapan.
"Bukan apa-apa, pak!" kata Si Pemilik Warung.
“Saya memang perwira, tapi saya masih dua puluhan, kok bu!” sanggah Rain.
“Bagaimana mungkin?”
Si Pemilik terlihat ketakutan. Tangannya gemetaran, menyerahkan uang kembalian.
Rain senyum.
Sambil menerimanya ia berkata, “sepertinya anda sudah tahu beberapa kemungkinan.”
Si Pemilik Warung semakin ketakutan. Ia segera menceritakan apa yang dia dengar pada keponakannya, yang kebetulan juga datang tak lama setelah Rain.
“Kamu benar, dia itu anggota gadungan!” serunya.
“Ah mana mungkin, tante!”
Keponakannya yakin sekali kalau seragam Rain asli, menyangkal.
“Kamu bilang, kalau umurnya dua puluhan berarti dia gadungan, kan?” ingatnya, “tadi, dia sendiri yang bilang umurnya dua puluhan!” lanjutnya.
“Tante bilang, kalau punya keponakan anggota tidak?”
“Bilang!”
“Paling-paling dia bercanda!”
“Kamu lihat wajahnya sendiri sana!”
“Begini, bagaimana mungkin dia masih berani mengaku sebagai anggota, padahal tante sudah bilang, keponakan tante itu anggota?”
Mereka berdua kelihatan bingung. Sementara itu, Rain yang sudah kembali ke markas terlihat tercengang. Di ruangan Kolonel Wahyu, pemuda itu diam seribu bahasa.
...