Tumpukan berkas masih menunggu jemari kurusnya mulai bekerja. Meski sadar kertas -kertas itu tak akan pernah terisi, sebelum tangannya bergerak tetap saja kuku jempol terlalu menarik.
Krekut! Krekut!
Bunyi kuku tangan yang terkikis gigi terus terdengar. Orang-orang yang penasaran beberapa kali memeriksa, tapi dia malah semakin ketagihan menggigitnya lagi, dan lagi.
Hanya kebetulan! Hanya kebetulan!
Sugesti itu terus ia benamkan, ke dalam kepala rumitnya.
Akhirnya, dia tidak bisa menyangkal lagi. Kejadian pengulangan, serta gadis misterius tempo hari.
Benarkah semua itu hanya kebetulan?
Berapa kali pun, berpikir tetap saja semua itu terasa di luar nalar.
Namun bila bukan, apakah itu sesuatu yang klenik?
Dia menggeleng, tidak mau membenarkan itu.
Pasti ada alasan logis di balik peristiwa ini, pikirnya.
Di luar dugaan, waktu berlalu tanpa adanya solusi yang memuaskan. Berkas kasus yang harusnya dia kerjakan pun, akhirnya terbengkalai. Ia baru tersadar setelah telepon berdering, meronta-ronta dari penyangga.
Kriing! Kriing!
Dengan kesal, Rain mengangkat gagang telepon.
"Apa!!!" bentaknya.
Telepon mendengung. Panggilan sudah terhubung, tapi tidak ada suara yang masuk.
Orang gila, pikirnya.
"Se-per-ti... ka-ta-ku... kan?!"
Suara terbata-bata bak gadis sekarat, merayap dari lubang suara.
"Astaga!!!"
Rain tersentak. Saking kagetnya, tangannya terpental. Kabel telepon terseret, sampai membuat pesawat telepon bergeser.
"Siapa kamu sebenarnya?!" Rain.
"Ka-lau ka-mu i-ngin ta-hu.... pergi-lah ke... gu-dang!"
"Berhenti bicara seperti itu!"
"Di... bela-kang, ru-ang inte-rogasi! Temu-kan... file... 73! Rak... ke-ti-ga!"
Tuuut! Tuuut! Tuuut!
Pertanda panggilan diputus, menderu.
Rain mengernyit dahi. Peluh sedikit menetes dari keningnya yang terlipat. Keringat dingin bercucuran, padahal hanya beberapa menit panggilan berlangsung. Hari sudah sore, pekerjaannya pun, jauh dari kata beres. Akan tetapi, pikirannya tidak kunjung tenang.
Perang batin terus bergejolak. Baik tugas mau pun, cemas keduanya sama-sama tak bisa dikesampingkan. Sampai pada akhirnya, rasa gelisah yang memuncak memenangkan itu. Tumpukan tugas yang bukan main banyaknya pun, tak merubah keputusannya. Hal ini membuktikan, prioritas manusia itu hanyalah sebuah rencana yang dapat dikalahkan nafsu dengan sangat mudah.
Rain mulai menapaki lorong yang mengarah ke sebuah ruangan gelap. Terisi dua buah kursi, sebuah meja kayu penuh gores, serta mesin tik tua. Terdapat pula ruangan kecil yang dipisahkan oleh sebuah jendela satu arah. Tidak salah lagi, itulah ruang interogasi.
"Sebelah ruang interogasi?" pikirnya.
Dia mulai berkeliling, mencari ruangan yang dimaksud.
"Apa ruangan itu maksudnya?"
Rain berhenti, teringat sebuah ruangan yang selalu terkunci, di dekat ruang interogasi.
Pintu masuk begitu memperihatinkan, gagangnya pun, sudah karatan. Tak berlebihan jika pemuda itu berpikir, pintu mungkin akan segera jatuh, begitu dia memegangnya.
"Apa aku buka paksa saja?" gumamnya.
Ia menggeleng, kembali ke meja kerja. Walau bagaimana pun, itu tetaplah fasilitas negara. Dia mengambil kunci ruangan yang tergantung, pada salah satu paku tembok. Seperti biasa, benda itu selalu tergantung di ruang kerja.
Setelah penjaga markas kembali ke rumah dinasnya, orang terakhir yang masih lembur-lah yang bertanggungjawab mengembalikannya. Rain yang sore itu bertanggung jawab penuh atas kunci-kunci itu, pun memanfaatkannya.
Kunci demi kunci ia coba, sampai akhirnya pasangan yang cocok masuk ke dalam lubang kunci. Engsel yang sudah berkarat bergesek terlalu frontal. Membuat suara pintu terbuka menjadi begitu tidak enak didengar.
Sesampainya di dalam, dia bergegas mencari saklar lampu. Beruntung walaupun sudah empot-emopotan menunggu ajal menjemput, lampu kuning 5 watt itu masih menyala. Sepanjang mata memandang, hanya ada tumpukan berkas. Baunya sudah apek dan penuh debu. Perlahan, dia pun, mulai memasuki ruangan berpenerangan redup itu.
"Rak ketiga! Rak ketiga!" gumamnya mengusir sepi.
Lampu kadang-kadang mati. Suara langkah pun, menggema ke seluruh ruangan. Seakan dipandu, tangannya segera menyambangi rak kayu yang penuh butiran coklat kecil.
"Rayap kurang ajar!" ocehnya, "mereka harusnya sering beres-beres!" imbuhnya, menghindari kotoran-kotoran rayap itu.
"Astaga!"
Rain terpekik, mendapati seekor tikus seukuran kepalan tangan, berlari kencang seraya menggendong anakan bayinya yang masih merah.
"Setan, tikus!" umpatnya.
Ia menarik napas panjang, sejenak menenangkan diri. Lalu perlahan memanjat, menunjuk-nunjuk beberapa berkas, sembari menyeka keringat di keningnya. Yang tersisa tinggal sebuah berkas tua yang berada di rak paling atas. Sampulnya sudah sobek, tulisannya pun, sedikit pudar. Minatnya sudah nyaris lenyap, tapi huruf alfabet I" dan E" menarik matanya.
"Ini dia!" girangnya, menarik berkas lusuh itu.
Sedikit sukar dibaca memang, tapi judul tulisannya kemungkinan besar adalah, "File 73." Ya, berkas yang dia cari. Rain dengan sumringah memisahkan berkas berdebu itu, dan segera membawanya keluar. Menyungging senyum kepuasan. Tak lupa mematikan saklar, ia pun, mengunci lagi pintu menyedihkan itu.
Sembari berjalan, Rain tak berhenti menepuk-nepuk berkas itu. Debu beterbangan kemana-mana, sampai beberapa kali membuatnya bersin. Bak menemukan mainan baru, Rain membolak-baliknya, sembari berjalan begitu pelan. Dengan adanya berkas itu, ruangan markas yang kosong mulai terasa sedikit menyenangkan.
Begitu tak sabar, ia tarik kursi kayu sederhana yang hanya disempurnakan oleh pelitur luntur, yang senantiasa menemani malam lemburnya. Berkas yang dicari sudah ada di atas taplak putih kombinasi hitam, bermotif bunga. Sederhana tetapi tampak elegan dengan sebuah vas kecil. Sayangnya, pemiliknya tidak pernah perduli dengan yang namanya estetika. Setiap hari, meja itu selalu saja dipenuhi berkas mengganggu.
Segelas kopi sepertinya bagus, pikirnya.
Rain pun berbalik menuju dapur, meracik kopi favoritnya, sebelum mulai membaca dokumen tebal yang sudah siap menantang.
"Mari kita mulai!" gumamnya, mendramatisir.
Sambil meletakkan kopi ke atas meja, ia mulai mempelajari dokumen itu. Secarik foto kakek bule terpampang di halaman pertama. Tertulis dalam huruf aneh yang mulai pudar di sana-sini. Bukan alfabet apalagi hijaiyah. Baru saja sebentar membaca, wajahnya mulai kusut.
"Sial! Bahasa Rusia!" gerutunya.
Dengan perasaan kecewa, ia pun, membantingnya. Tidak disangka, halaman yang terbuka berisikan sebuah catatan.
Tertulis menggunakan bolpin hitam yang tidak terlalu rapi, tapi masih terbaca, walaupun sudah sedikit kabur. Setelah diteliti, itu merupakan terjemahan dalam bahasa Inggris. Mungkin seseorang yang melakukan itu? Ada pula terjemahan dalam bahasa Nusantara, di beberapa halaman yang terlihat kurang rapi, serta terkesan terburu-buru.
Aku jadi agak kasihan, pada petugas yang lembur membuat ini, pikirnya.
Letnan Muda kritis bersifat skeptis itu pun, mulai asyik membolak-balik halaman demi halaman.
...
Distrik 17 12 Oktober 1939.
Aku mencoba menuliskan jurnal tentang penelitian fantastis yang kami lakukan. Prof. Ivan sangat jenius, seperti dugaanku. Sepertinya, aku akan betah, berada di bangunan menyedihkan ini.
Frederick Milan.
"Prof. Ivan? Seperti pernah dengar," gumam Rain.
23 Oktober.
Hari ini, Prof. Ivan kedatangan lagi anak baru. Ini akan menarik.
"Frederick Milan?"
Rain membolak-balik lagi file yang tanggalnya tidak urut itu. Bau tak sedap kertas tua itu samakin menusuk saja tiap kali lembaran baru terbuka. Butiran debu yang mengganggu telunjuknya memisahkan kertas pun, mulai membuatnya merasa kesal.
"Sungguh, kenapa dengan kertas ini?"
Meskipun kesal, ia terus membuka halaman selanjutnya.
25 Februari.
Proposal kami akhirnya disetujui. Pemerintah akhirnya mau bekerja sama. Perkembangan penelitian kami pasti akan memenangkan nobel tahun ini. Mungkin, tahun depan, atau tahun depannya lagi? Aku tak yakin berapa lama penelitian kami berlangsung.
Frederick Milan.
7 April.
Sudah kuduga, rekayasa pembesaran volume otak manusia itu berisiko. Beberapa mengalami kerusakan syaraf, bahkan satu anak telah meninggal. Kalau tak salah mereka memanggilnya Bayu. Terserahlah nama dia siapa. Siapa pun dia, dia harusnya bahagia karena pengorbanannya akan menjadi jembatan dunia baru. Hm, mungkin aku berbakat menjadi pujangga.
Frederick Milan.
"Rekayasa pembesaran volume otak?!"
Rain tercengang. Foto-foto tua yang ia lihat selanjutnya juga amat menyeramkan.
Agak buram, penerangan remang, terlihat pula beberapa orang berpakaian medis lengkap. Baju kehijauan, penutup kepala, serta menggenggam alat bedah lengkap. Beberapa anak yang terbaring di sebuah kasur minimalis berwarna hitam terpajang disana. Dan yang mengerikan, mereka memiliki kondisi yang sama, yakni kulit kepala atas mereka telah terkelupas. Salah satunya bahkan sudah tidak memiliki tulang tengkorak. Otak bocah itu membengkak parah, hingga terlihat menyerupai balon festival.
Sejenak Rain tersentak. Tangannya menutup mulutnya rapat-rapat. Tubuhnya terulur mundur. Matanya memerah, tahan melihat semua itu. Pelipisnya masih berkontraksi, senada dengan kelopak matanya yang terbuka lebar. Semua itu terlalu menyakitkan untuk dilihat. Jari-jemari di ujung sepatu dinas pun, sudah menekuk semuanya.
"Ya tuhan, percobaan apa ini?"
Rain tertegun, diam menahan mual. Ia begitu iba, melihat anak-anak tak berdosa itu mengalami nasib begitu naas. Setengah enggan, dia kembali mendekati buku tua itu, dan membuka lembar selanjutnya. Walaupun selanjutnya mungkin lebih menjijikkan, tetap saja dia tidak ingin berhenti di tengah jalan.
9 April.
Sudah kuduga ini tidak akan berhasil. Hari ini, Wahyu dan Inem menghembuskan nafas yang terakhir. Mungkin sudah saatnya tutup buku, percobaan ini sudah pasti gagal.
"Jadi ketiganya meninggal?"
Rain memegang dagu. Dahinya semakin melipat. Otaknya malam itu bekerja lembur, memproses informasi demi informasi baru.
Tapi, halaman ini masih sangat banyak, pikirnya.
Sejenak, dia menurunkan berkas setebal bantal itu. Otaknya semakin lelah. Terlalu banyak yang tidak dia mengerti. Padahal judulnya file 73, tapi halaman yang ada mungkin ratusan, tapi semakin sukar dicerna, ia justru semakin penasaran. Kelopak matanya membesar, telunjuknya kembali meraba pojok atas, siap membuka halaman selanjutnya. Perlahan, ia buka lagi dokumen itu, seraya meneguk kopi hitam dengan gula setengah sendok kebiasaannya.
"Untung aku menyiapkan kopi," gumamnya.
3 Maret 1940.
Kami menemukan metode baru. Apakah keputusanku ikut dengannya benar? Kita lihat saja penelitiannya selanjutnya.
5 April.
Metode ini sepertinya akan berhasil. Mengubah genetik mereka saat usia mereka sudah tua itu adalah kesalahan fatal. Tengkorang mereka juga tak seharusnya diangkat. Mengubah susunan tulang kepala mereka. Cara ini, aku suka. Aku harap mereka akan segera mengijinkanku ambil bagian dalam proyek ini.
6 Mei.
Sudah ku duga, orang luar sepertiku tak akan mendapat tempat. Yang ku dengar, beberapa dari mereka mengalami penolakan. Saraf motorik mereka mulai terganggu. Aku takut terjadi kelumpuhan. Harusnya, mereka lebih mendengar ahli syaraf sepertiku.
18 Juni.
Sudah kuduga. Dua diantara mereka akan mengalami kelumpuhan. Tiga sisanya juga bahkan lebih parah. Mereka mengalami kerusakan otak terlalu besar. Aku yakin mereka akan mengalami cacat mental.
18 September.
Mereka akhirnya mau mendegerkanku. Meskipun mereka tak mengizinkanku membedah langsung, aku bersyukur ikut andil dalam percobaan ini. Dua kali percobaan sebelumnya membuatku yakin, Prof. Ivan pasti bisa menyelesaikannya. Dia jenius. Aku tahu itu.
6 Januari 1942.
Luar biasa. Salah satu diantara mereka menunjukkan hasil. Matanya mengalami mutasi. Tengkoraknya juga mulai mengeras setelah kami membuat tulangnya mampu menyesuaikan pembesaran otak. Volume otaknya tidak berlebihan, kecerdasan luarbiasanya, semuanya benar-benar fantastis. Sayang, jantungnya mengalami masalah. Ku harap dia baik-baik saja.
Frederick Milan.
Catatan panjang Frederick Milan terhenti disini. Sisanya merupakan laporan kasus lama. Foto beberapa anak diatas kursi roda, beberapa perawat, tentara, serta pria-pria bule, menutup dokumen tersebut.
"Siapa itu Frederick Milan? Dan Prof. Ivan, aku seperti pernah mendengarnya," gumam Rain.
Sedang asyik membaca, tiba-tiba saja suara pintu dibuka terdengar.