Rain membalik mayat. Seperti dugaan, kaos belakangnya robek. Terdapat noda berwarna hijau, dan juga rambut aneh. Tubuhnya menggigil, geli melihatnya. Kondisi mayat itu benar-benar sama dengan yang sebelumnya.
"Apa yang kamu lakukan?!" omel Kapten Wawan.
"Maaf, komandan!" ucap Rain.
Dia menggeleng, mencubit tangannya sendiri. Rasa sakit membuatnya yakin, kali ini bukanlah mimpi.
Dia memperhatikan kerumunan orang-orang, mencari gerak-gerik yang sekiranya ganjil. Di antara kerumunan, ia bergegas mendekati pria misterius yang menurutnya mencurigakan.
Memakai kaos lusuh kuning hadiah kampanye. Badannya kurus kering, dengan kulit sawo matang. Tangannya tampak usil, tidak memperhatikan mayat seperti kerumunan lain.
"Jangan bergerak!"
Rain menarik kerah pria paruh baya itu, dan mengeluarkan pistol.
"Kenapa Rain?" tegur Kapten Wawan.
"Dia pelakunya!" Rain.
"Ah, jangan sembarangan kamu!"
"Pria ini sangat mencurigakan, Komandan!"
"Aku tahu ini tugas lapangan pertama kamu di sini, tapi jangan gegabah! Kalau salah tangkap, aku yang disalahkan!"
"Dia dari tadi menggaruk-garuk tangan!"
Rain menggeleng, kekeh mengacungkan senapan.
"Memangnya kenapa, mungkin saja digigit nyamuk?" ujar Kapten Wawan.
"Itu benar, hanya karena merasa gatal, kenapa saya dianggap pelaku?" sangkal Si Pria Misterius.
"Apa nyamuk menggigit telapak tanganmu?"
Rain menarik paksa tangan pria itu, memperlihatkannya pada semua orang. Terlihat bintik-bintik merah di seluruh telapak tangannya, sekaligus mematahkan dugaan gigitan nyamuk.
"Kalau pun, gatal apa anehnya?" kelitnya.
"Makanya kita periksa, kalau tidak salah kenapa melawan?"
Rain semakin ngotot. Tapi pria itu menggeleng, menolak diperiksa
"Bantu saya!" seru Rain, memanggil salah seorang anggota.
"Siap!" sahut anggota itu.
Akan tetapi, Kapten Wawan mencegah niat itu.
"Jangan gegabah Rain, kita harus menunggu tim forensik!" ujarnya.
"Kalau bisa sekarang kenapa harus menunggu?" Rain.
"Kita punya prosedur yang harus dijalankan."
"Dia sudah jelas-jelas berbohong, bilang tangannya digigit nyamuk!" protes Rain, "ayolah, Kapten!" lanjutnya, membujuk.
Kapten Wawan mulai bimbang. Rain kelihatan sangat yakin. Ia masih terus mengacungkan senapan. Pada akhirnya, ia mengizinkannya melakukan pemeriksaan, takut hal tidak diinginkan justru terjadi.
Prajurit baru kadang ceroboh, pikirnya.
"Lakukan!"
"Siap!"
Prajurit yang sejak awal ingin membantu pun, melanjutkan niatnya.
"Pernah melihat forensik bekerja?" tanya Rain.
"Izin, sering Komandan!" jawabnya.
"Bagus, kerjakan seperti mereka!"
"Siap!"
Si anggota mendekat, dibantu beberapa anggota lain yang sigap bertindak preventif. Ia pun, mulai memeriksa. Dengan teliti, ia mengamati bulu-bulu di tangan pria itu.
"Bukan pak! Sepertinya ini bukan nyamuk, melainkan sejenis ulat, ada bulu-bulu di tangannya!" lapornya.
Mendengar itu, Rain tersenyum.
Sudah kuduga, pikirnya.
"S-Saya memang tidak sengaja memegang ulat, di sini, kan ladang apa anehnya?" kelit pria tadi.
"Benar yang kamu pegang itu ulat?" tuding Rain.
"Benar! Sekarang, lepaskan saya!" Pria tadi.
"Kamu yakin, bukan bambu?"
"B-Bambu, bambu apa, ya, pak?"
Pria itu mulai terlihat panik.
"Rambut semacam itu juga ada pada bambu, di bagian pelindung batang lebih tepatnya!" ujar Rain.
Pria kurus itu menyembunyikan tangannya, semakin terlihat mencurigakan.
"Cepat tunjukkan!"
Kapten Wawan menodongkan pistol, ikut mencurigainya. Akhirnya, ia pun, tak bisa mengelak lagi. Dengan pasrah, dia menengadahkan tangan.
Anggota kembali memeriksa, dan mengambil beberapa sampel bulu di tangan tersangka.
"Sekarang, kita tunggu forensik, guna memastikan barang bukti!" perintah Kapten Wawan, "omong-omong, kenapa kamu berpikir dia pelakunya?" lanjutnya.
Rain membisik, "di kaos belakang korban ada rambut-rambut, seperi di tangan pelaku."
"Rambut?"
Seketika, Kapten Wawan membalik mayat, seperti yang sebelumnya dilakukan Rain. Benar saja. Di situ, dia menemukan rambut-rambut kecil yang terlihat begitu identik dengan yang ditemukan petugas.
Kapten Wawan menatap Rain, mengangguk tanda bersedia ikut bertanggung jawab.
"Borgol dia!" seru Rain.
"Siap, Komandan!"
Sembari menunggu, mereka berdua berdiskusi cukup alot perihal perintah penangkapan. Walaupun sama-sama curiga, Kapten Wawan tetap tak ingin bertindak terlalu jauh. Ia takut, hal itu justru menjadi bumerang.
Sampai akhirnya tim forensik datang. Dengan cepat, mereka berhasil mengidentifikasi sampel tadi.
"Benar pak ini bulu bambu!" angguk ahli forensik, "sepertinya, itu juga cocok dengan yang ada di punggung korban," imbuhnya.
Perintah penangkapan yang sebelumnya diperdebatkan pun, turun.
....
"Apa salahnya? Aku ini petani! Kenapa kalian menuduhku hanya karena hal sepele?"
Tersangka memberontak.
"Kamu, sudah lebih dari dari cukup untuk dicuragai, atas dua kali kebohonganmu! " seru Rain.
"Mulai dari sekarang, anda berhak diam! Semua perkataan yang anda katakan, akan kami gunakan untuk memberatkan anda, di persidangan!" sahut Kapten Wawan.
"Kalian menangkap orang yang salah!" teriaknya.
"Tenang saja, pak kami akan geladah bukit itu, nanti!" ucap Rain.
Mendengar itu, seketika pelaku diam membisu. Tubuhnya terkulai lemah, pasrah digelandang petugas.
"Geledah bukit itu! Dan masukkan pria ini kedalam mobil jenazah!" perintah Kapten Wawan, "kita bawa dia sekalian!" imbuhnya.
"Tidaaak!!! Aku tidak mau satu mobil dengan k*****t itu!"
Merasa sudah tertangkap basah, pelaku pun, mulai menunjukkan belangnya. Dia mulai tertawa-tawa, melompat-lompat, dan meludah ke arah mayat.
Pemandangan ini membuat semua orang tertegun, senyap untuk sesaat. Begitu mudahnya kemanusiaan itu hilang, dari diri seseorang.
"Pancingan yang bagus sekali, Komandan?"
Rain menepuk pundak Kapten Wawan, memecah hening dan semua pikiran yang tidak perlu terlalu lama mereka pikirkan itu.
"Benarkah? Tunggu dulu! Bagaimana kamu tahu pelakunya?" Kapten Wawan.
"Tadi ngebet tanya pelaku, pelaku!"
"Apa?"
"T-Tidak, itu, lho saya cuman curiga dengan rumput di kening korban."
"Rumput?"
"Eh, maksudnya, daun bambu muda di punggung korban."
"Daun?"
Kapten Wawan semakin bingung.
"Kebetulan, saya melihat noda hijau, dan bekas luka di punggung korban."
"Apa yang membuat kamu berpikir itu aneh?"
"Saya sempat berpikir, noda itu berasal dari pembatas jalan yang berlumut, tapi itu tidak masuk akal, karena lumut tidak memiliki daun dan rambut kecil." jelasnya.
"Rambut kecil?"
"Ya, anda juga lihat sendiri, kan?"
"Bulu bambu maksud kamu?"
"Nah, itu maksudnya, saya pikir TKP sesungguhnya bukanlah disini, melainkan di atas bukit."
"Kenapa?"
"Menurut saya, pelaku pasti melempar tubuh korban dari atas bukit."
“Dari atas bukit?!"
Kapten Wawan, menatap puluhan meter ke arah bukit, gagal paham. Berkali-kali mencermati, ia tak juga menemukan adanya rute masuk akal, yang mengarah ke TKP.
"Kau yakin?" tanyanya.
"Ya, saya yakin sekali!" tegas Rain.
"Sekilas, kupikir kamu jenius, ternyata cuman beruntung!" ujarnya, "maksudku, bagaimana bisa dia bisa melemparnya sejauh itu. Kamu pikir dia superman?" lanjutnya.
"Ah, saya salah sebut, maksud saya meluncurkan," ralat Rain.
"Meluncurkan? Dari atas bukit? Jalan kesana memang curam, tapi tidak securam itu untuk membuatnya menggelinding sejauh ini. Lagipula, tidak ada jejak tubuh menggelinding, seperti yang kamu maksud!" imbuhnya.
"Apa saya bilang lewat jalan?"
"Maksudmu?"
"Pelaku meluncurkannya dari atas bukit. Menggunakan bambu tepatnya."
"Bambu?"
"Ya, bambu! Kemungkinan, pelaku membentangkan bambu panjang, memanfaatkan tinggi tebing, prinsipnya seperti perosotan."
"Perosotan?"
Kapten Wawan membayangkan anak-anak TK yang sedang bermain perosotan di sekolah, menggunakan sebilah bambu
"Itu lebih mustahil!" ujarnya, "bagaimana kalau jatuh? Tidak ada jaminan mayat korban akan meluncur sejauh itu, kecuali menggunakan puluhan bambu. Sangat mustahil pelaku bisa menahan bambu sebanyak itu, lagipula kalau macet bagaimana? Permukaan bambu itu tidak rata," imbuhnya.
"Puluhan?"
Rain kelihatan heran.
"Kalau satu, ya sudah jelas terpelanting!" eyel Kapten Wawan, "kecuali tersangka anggota sirkus," imbuhnya.
"Jadi anda berpikir tubuh korban meluncur di atas bambu?"
Sejenak berpikir, Rain pun, paham.
Kapten Wawan yang mengangguk, membuatnya senyum geli.
"Bukan dari atas, Komandan, tapi dari bawah," jelasnya, "pelaku memasukkan baju korban ke dalam bambu!" lanjutnya.
Baju? Jangan-jangan..,
Kapten Wawan diam, menatap pemuda yang sudah masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Dugaan di kepalanya begitu kuat, dan keadaan mayat memperjelas itu. Tanpa bertanya lagi, dia ikut masuk ke dalam mobil.
Sesampainya di markas, dia menunjuk sebuah wahana flying fox, di area latihan. Rain pun mengangguk.
Bulu kuduk mereka seketika berdiri tegak, melihat beberapa anggota baru. Berlatih menggunakan wahana itu.
...
Rangkuman hasil penyelidikan.
Dengan alasan mencari rumput bersama, pelaku memancing korban ke atas bukit, dan mengeksekusinya di sana. Ia membacok kepala korban menggunakan arit, hingga tewas seketika. Setelah menyadari korban sudah tewas, pelaku pun, berinisiatif; membuang jasad korban.
Pelaku merasa, perbuatannya akan segera diketahui, kalau jasad korban ditemukan di atas bukit, karena ada beberapa saksi mata yang melihat mereka pergi ke atas sana.
Ia pun, menebang, dan membentangkan sebatang pohon bambu dari atas bukit, lalu memasukkan kaos korban ke dalam bambu. Dari atas bukit, dia mengangkat bambu itu, sehingga tubuh korban meluncur ke bawah. Bukti berupa bambu berdarah, serta arit yang disembunyikan pelaku, pun berhasil ditemukan di sekitar bukit.