CHAPTER LIMA

2066 Kata
Nesya masih memasang cengiran lebarnya dengan tangan kanan yang sibuk menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sedangkan sang ibu kost tengah melebarkan mata, menatap Nesya terkejut karena tiba-tiba salah satu penghuni kost-nya itu menyiram dirinya dengan segayung air dingin.  “Bu, maaf. Saya tidak sengaja. Saya pikir bukan ibu yang mengetuk pintu. Sebentar ya, Bu.”  Nesya hendak berlari menuju kamarnya untuk mengambil handuk, namun urung karena tangannya tiba-tiba dicekal sang ibu kost.  “Emangnya kamu pikir siapa yang ngetuk pintu, Nes? Ampe kamu siram segayung air dingin?”  Nesya menundukan kepala disertai kesepuluh jemarinya yang saling meremas, gelisah. Ketika dia melirik ke arah pintu kamar Alvino yang terbuka sedikit, betapa kesalnya dia melihat pemuda itu sedang menertawakan dirinya tanpa suara. Tentu saja itu ekspresi mengejek. Nesya mengepalkan tangan, keinginan untuk menonjok mulut pemuda itu hingga gigi-giginya rontok benar-benar besar dalam hatinya.  “Nesya!” hardik si ibu kost dengann suara meninggi. “Eh ... i-iya, Bu.” “Kok nggak dijawab pertanyaan ibu tadi? Kamu pikir siapa yang ngetuk pintu ampe kamu siram air?” “Hmm ...” Nesya menggulirkan bola matanya semakin gelisah. Antara harus jujur atau berbohong, pikirannya sedang dilema saat ini.  “Itu Bu, saya pikir tetangga sebelah.”  Ibu kost menaikan satu alisnya. “ Tetangga sebelah siapa maksudnya?” “Bukan siapa-siapa, Bu. Nggak usah dibahas lagi ya. Pokoknya Nesya minta maaf gak sengaja nyiram ibu,” kata Nesya sembari menundukan pandangan, tak berani menatap wajah sang ibu kost.  Ibu kost menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan remaja di depannya itu. Dia kesal sebenarnya, namun mengingat Nesya biasanya gadis yang sopan, ramah serta ceria yang membuat dirinya menyukai kepribadian Nesya, sang ibu kost pun berpikir untuk tidak memperpanjang masalah ini.  “Jangan diulangi lagi, Nes. Tamu itu harusnya diperlakukan baik bukannya disiram air.” “Iya, Bu. Saya nggak akan ngulangi lagi,” sahut Nesya buru-buru, semakin menundukan kepala menatap genangan air di lantai karena ulahnya.  “Ya udah, ibu nggak akan bahas masalah ini lagi.” Diam-diam Nesya mengembuskan napas lega. “Ibu ke sini mau ngasih tahu kamu. Tadi ibumu menelepon ibu, nanyain kamu. Katanya kenapa ponsel kamu nggak aktif? Ibu kamu cemas sama kamu.”  “Makanya ibu ke sini sekalian ngecek kondisi kamu juga. Eh, tahunya malah dapat kejutan segayung air.”  Nesya terkekeh penuh sesal.  “Ponsel Nesya mati kayaknya, Bu. Mungkin batereinya habis.” “Ya udah cepet kamu aktifin lagi, ibu kamu beneran cemas di kampung.”  Nesya mengangguk-anggukan kepala, patuh.  “Udah itu aja yang mau ibu sampaikan. Ibu pergi dulu.” “Baik, Bu. Sekali lagi maaf ya.”  Ibu kost untuk kesekian kalinya menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kelakuan Nesya. Ketika dirinya membalik badan dan bersiap pergi, nyaris terpelesat saat melangkah karena lantai yang licin.  “Hati-hati, Bu!” pekik Nesya, ikut terkejut karena si ibu kost nyaris terjengkang ke belakang, beruntung Nesya bergerak cepat dan menahan punggung si ibu kost dengan kedua tangannya.  “Duuh ... Nesya, ini gara-gara kamu. Lantainya jadi licin nih,” kata ibu kost kaget, dirinya sibuk mengelus-elus dadanya sendiri.  “Iya, Bu, ini salah Nesya. Maaf ...” “ Kamu pel ampe kering ya. Awas nanti ada yang kepeleset lagi. Bahaya ini.”  Nesya mengangguk-angguk dengan kepala tertunduk dalam. Ibu kost akhirnya melanjutkan langkah. Lebih waspada dan hati-hati dari sebelumnya.  Nesya mendelik tajam saat pintu kamar Alvino yang terbuka sedikit, kini terbuka lebar. Sosok Alvino keluar. Pemuda itu tertawa lantang sembari berpangku tangan.  “Makanya jangan suka jahil. Kena karma kan jadinya,” ledek Alvino, mengabaikan ekspresi wajah Nesya yang memerah sempurna disertai hidungnya yang kembang kempis menahan amarah. Bagaikan banteng betina yang siap menyeruduk.  “Sama calon suami jangan suka ngelawan nanti kualat kayak barusan.” “Siapa yang calon suami?!” teriak Nesya, tak terima. Dan dengan percaya dirinya Alvino menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk.  “Aku kan calon suami kamu.” “Halaah ... jangan mimpi. Kegeeran banget sih lo. Amit-amit dah punya calon suami kayak lo!”  Alvino kembali cekikikan menertawakan Nesya yang mulai misuh-misuh.  Nesya yang gemas sekaligus jengkel, berjongkok untuk mengambil gayungnya yang tergeletak di lantai. Alvino yang sadar rencana Nesya seketika mengambil langkah seribu. Masuk ke kamarnya dan bergegas menutup pintu sehingga gayung yang Nesya lemparkan sukses membentur daun pintu dengan suara nyaring.  Alvino kembali mengintip dari celah pintu yang sedikit dia buka.  “Berisik sayang, kamu kemarin marahin aku karena gangguin tetangga. Sekarang kamu yang gangguin tetangga.”  Nesya mengacungkan jari tengahnya sambil memelotot murka pada Alvino yang luar biasa membuatnya jengkel malam ini.  Alvino berpura-pura bergidik ketakutan, sebelum dirinya terkekeh dan melambai manja pada Nesya yang napasnya tampak terengah. Amarah yang berkumpul di ubun-ubun gadis itu nyaris meledak jika Alvino tak juga lenyap dari pandangannya.  Alvino melempar ciuman jauh sambil mengedipkan sebelah mata sebelum dirinya akhirnya menutup pintu kamarnya rapat-rapat, meninggalkan Nesya yang kepalanya sudah berasap karena amarahnya yang meledak. Seandainya dia tak ingat ada penghuni lain di kost-an itu, pastilah dia sudah mengamuk di kamar sang mantan brengseknya.  Nesya menghela napas panjang guna menenangkan deru jantungnya yang bagai siap salto ke lambung. Lantas dirinya masuk ke dalam kamar guna mengambil alat untuk mengepel.  “Sial. Ini gara-gara si Vino. Awas aja kalau dia nampakin diri lagi pasti gue timpuk pake ujung pel-an ini,” gerutunya sembari mengangkat alat pelnya.  Setelahnya, Nesya pun mulai mengepel lantai dengan telaten. Dia mendelik tajam saat mendengar suara derit pintu yang terbuka. Mengambil ancang-ancang dengan mengangkat alat pelnya. Jika yang muncul Alvino, dia sudah siap memukulkan ujung alat pel ke wajah pemuda itu. Namun, Nesya salah besar saat yang dilihatnya keluar bukan Alvino melainkan seorang wanita berusia 30 tahunan yang merupakan tetangganya, Mbak Siska biasanya Nesya memanggilnya. Kamar Siska berada tepat di sebelah kamar Alvino.  “Nes, kenapa itu pel-annya kok diacungin ke  Mbak Siska sih?” tanya Siska sembari mengangkat kedua tangan di depan d**a seolah meminta ampun karena pel-an di tangan Nesya sudah teracung sempurna di depannya bak sebuah pedang.  Nesya cepat-cepat menurunkan kembali alat pel itu.  “Maaf mbak, maaf ... aku kirain siapa yang buka pintu. Eh, ternyata mbak Siska,” sahut Nesya sembari cengengesan, tak enak hati. Gara-gara Alvino, dirinya jadi parno sekarang.  “Emangnya kamu kirain siapa yang buka pintu?”  Nesya menggigit bibir bawahnya, haruskah dia menjawab dengan jujur? Lagi-lagi dia mengalami dilema yang tidak berkesudahan.  Mbak Siska tiba-tiba terkekeh geli melihat Nesya yang terpaku tanpa mampu berkata-kata. Dia melangkah menghampiri Nesya dan berdiri tepat di samping gadis itu.  “Pasti kamu ngiranya pacar kamu, ya?” bisik Siska tepat di dekat telinga Nesya.  Nesya refleks menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. “P-Pacar? Pacar yang mana maksud Mbak?”  Dengan santai Siska menunjuk dengan telunjuknya ke arah pintu kamar Alvino.  “Tadi siang, penghuni baru itu, Vino kan ya namanya?” Nesya mengangguk. “Dia gak sengaja papasan sama mbak. Terus dia bilang kalian ini pacaran. Dia minta maaf sama mbak.”  Nesya memutar bola matanya malas. Mantannya itu benar-benar keterlaluan, mengaku masih berstatus sebagai pacar Nesya pada penghuni kost-an tanpa sepengetahuan dirinya.  “Minta maaf kenapa dia?” tanya Nesya, penasaran ingin tahu apa saja kebohongan yang dikatakan Alvino pada tetangganya. “Minta maaf kalau pertengkaran kalian ngegangggu kedamaian kost-an ini,” sahut Mbak Siska sambil terkekeh. Nesya melongo tak percaya.  “Dia juga  bilang gitu lho ke tetangga yang lain. Malah minta didoain supaya kamu gak marah lagi sama dia. Vino bilang kamu lagi ngambek ya sama dia?”  OK, Nesya semakin melongo tak percaya. Dia hanya cengo dengan mulut terbuka tanpa mampu berkata-kata. Kedua matanya melebar seolah lupa cara berkedip.  Dan baru mengerjapkan mata saat senggolan Siska terasa menyapa lengannya.  “Udahlah, Nes. Jangan kelamaan ngambeknya. Kasian Vino, kayaknya dia juga nyesel kok kalau dilihat dari dia yang minta didoain sama kita-kita.” “Issshh ... mbak, si Vino itu ...”  Ucapan Nesya terhenti saat Siska tiba-tiba memegang kedua bahunya dengan tatapan serius. Membuat Nesya meneguk ludah tanpa sadar.  “Kasih kesempatan buat Vino, kayaknya dia serius cinta sama kamu. Jangan ampe kamu nyesel nanti.” “Ny-Nyesel kenapa?” tanya Nesya, gagal paham. “Nyesel dia diambil cewek lain. Vino itu ganteng lho, keren lagi. Kalau aja mbak belum nikah, mbak mau tuh jadi pacarnya dia, selingkuhan juga gak apa-apa deh.”  Nesya tahu Siska hanya bercanda karena wanita itu tertawa lantang setelahnya.  “Baru pacaran udah berantem aja, udah kayak suami-istri. Sok akh dilanjut, kita-kita gak akan ganggu.”  Dan Siska pun melenggang pergi begitu saja. Kini Nesya paham kenapa tak ada satu pun tetangganya yang keluar dari kamar begitu mendengar keributan tadi atau terusik mendengar Alvino yang terus mengganggu dirinya. Oh, ternyata Alvino sudah memprovokasi para tetangga lebih dulu.  Nesya meremas-remas gagang alat pel di tangan, membayangkan alat pel itu sosok Alvino yang dia aniaya.   ***    Keesokan paginya, tepat pukul 8, Nesya terburu-buru meninggalkan kamarnya. Dia bangun kesiangan karena telat tidur gara-gara kejadian semalam. Alhasil, jam 7 dia baru membuka mata padahal ada mata kuliah yang harus dia ikuti tepat pukul 8 pagi ini.  Dengan terburu-buru tanpa sempat sarapan, Nesya keluar dari kamarnya. Terlalu panik sampai beberapa kali gagal saat memasukan kunci ke lubang pintu.  “Duuh ... pake susah lagi masuknya,” gerutunya, semakin panik.  Bibir Nesya manyun beberapa senti ke depan ketika rasa kesal melanda. Hingga akhirnya dia berhasil mengunci pintu kamarnya dengan sempurna. Dia pun berbalik badan dan saat itulah dia tanpa sengaja bertabrakan dengan Alvino yang juga baru keluar dari kamarnya, membuat dua kunci serempak terjatuh dari tangan masing-masing, menimbulkan suara nyaring saat membentur lantai.  “Duh ... hati-hati dong.” Cerocos Nesya, sama sekali tak santai.  Alvino menaikkan satu alisnya, “Kamu nyalahin aku? Kan yang nabrak kamu?”  “Lo lihat-lihat dulu dong kalau mau buka pintu, udah tahu lorongnya sempit,” sahut Nesya ketus sembari berjongkok untuk mengambil kunci kamarnya yang terjatuh.  Di saat dirinya hendak bangun, suara benturan dari dua kening yang bertabrakan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di lorong kost-an yang sepi tersebut.  “Aduuh ...” ringis Nesya sembari mengusap-usap keningnya yang berbenturan dengan kening Alvino.  Alvino pun melakukan tindakan yang sama, mengusap keningnya yang berdenyut karena bertabrakan dengan kening super keras sang mantan.  “Ihhh ... Vino, lo ngeselin tahu gak? Sejak ketemu lo lagi, gue sial terus.” “Kok kamu nyalahin aku sih?” “Iyalah, emang salah lo kok. Lo pembawa sial di hidup gue.” “Oh ya?” sahut Alvino genit. “Kalau bagi aku sih ketemu kamu lagi sebuah keberuntungan tak terduga.”  Nesya memutar bola matanya, bosan.  “Pagi-pagi kita tabrakan, pasti ini isyarat dari Tuhan supaya kita balikan lagi.”  Nesya mendengus kali ini, “Baikan apa sih, Vin? Ngaco lo.”  Nesya geragapan ketika Alvino tiba-tiba melangkah mendekatinya. Membuat jarak di antara keduanya terkikis habis. Nesya bahkan merasa lututnya tiba-tiba lemas ketika Alvino menunduk, mendekatkan kepala mereka.  “L-Lo mau apa, Vino?” tanya Nesya, gugup sekaligus panik.  Nesya ingin menghindar namun tak bisa karena tengkuknya di tahan oleh satu tangan Alvino membuat dirinya tak berkutik dan tak bisa menjauh.  Alvino semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Nesya, ketika embusan napas pemuda itu menerpa wajah sang gadis, refleks Nesya memejamkan mata. Mau memberontak pun percuma karena pria itu benar-benar memerangkap dirinya. Nesya kehilangan akal dan cara untuk melarikan diri. Dirinya hanya bisa pasrah. Gadis itu sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan sang mantan berengseknya ini.  Namun, di saat Nesya berpikir untuk pertama kalinya akan merasakan sapuan bibir lembut Alvino. Di tengah-tengah degup jantungnya yang menggila entah karena apa, dia terkesiap saat bukan bibir lembut Alvino yang dia rasa melainkan benturan keras di keningnya.  “Aduuh ...” Nesya mengaduh, dia mendorong d**a Alvino sekuat tenaga dengan dua tangannya.  “Vinoooo!!” teriak Nesya murka. “Kenapa lo malah benturin lagi kepala kita sih?” “Kamu gak pernah denger mitos, katanya kalau kepala kita kebentur itu harus dibenturin lagi. Kalau nggak, nanti kepala kita ketiban kelapa. Mana di kampus banyak pohon kelapa lagi. Kan gak lucu kalau tiba-tiba ada kelapa jatuh terus niban kepala kita. Bisa diketawain seisi kampus, dikiranya kita badut kampus yang lagi ngelucu.”  Nesya memutar bola mata sembari mengusap-usap keningnya yang berdenyut.  “Cuma anak SD yang percaya mitos konyol kayak gitu. Lo anak SD atau anak kuliahan sih?”  Alvino tak menjawab, sebaliknya pemuda itu memiringkan kepala sembari mengulum bibir menahan senyum.  “Kamu sendiri tadi ngiranya aku mau ngapain emang ampe tutup mata segala?” tanya Alvino sembari tersenyum geli dengan tatapan menggoda nan jahil pada Nesya.  “Oh, aku tahu. Pengin dapat ciu ...”  Nesya refleks membekap mulut Alvino dengan kedua tangannya. Lalu dia menendang betis Alvino sekuat tenaganya dengan ujung sepatu lancipnya. Membuat pemuda itu meringis dan melompat-lompat dengan satu kaki. Memegangi betisnya yang sakit luar biasa karena ulah Nesya.  “Rasain pembalasan dari gue!” ucap Nesya bangga sembari menyeringai jahat.  Nesya menarik napas panjang sebelum kembali menatap tajam sang mantan yang terlihat masih meringis kesakitan.  Nesya mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Alvino. “Denger ya, Vin. Kita berdua udah ...” Kali ini gadis itu memeragakan telunjuknya mengiris lehernya sendiri. “End,” lanjutnya.  “Kita udah selesei, jadi jangan gangguin gue lagi.”  Nesya melanjutkan langkah setelah mengatakan itu, namun terhenti saat mengingat sesuatu. Lantas membalik badan kembali menghadap Alvino yang masih mematung di tempat.  “Satu lagi, jangan nyebarin berita bohong ke tetangga. Lo sama gue udah gak ada hubungan apa-apa selain tetangga kost-an.”  Dan akhirnya Nesya kembali melanjutkan langkah, benar-benar meninggalkan Alvino kali ini.  Alvino tersenyum tipis melihat punggung Nesya yang menjauh. “Kita lihat aja nanti siapa yang menang, aku atau kamu, Nes,” gumamnya. “Kamu pasti balik lagi ke pelukan aku.”  Alvino berjongkok guna mengambil kunci kamarnya yang masih tergeletak di lantai. Lalu berjalan pergi menuju kampusnya dengan sesekali bersenandung riang.  Dia maupun Nesya tak tahu bahwa  kunci kamar mereka tertukar. Keduanya salah mengambil kunci. Jadi, takdir seperti apakah yang akan mengelilingi kedua insan ini nantinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN