Seorang pemuda tampak menguap lebar dengan tatapan malasnya tertuju ke depan, mendengarkan dengan enggan seorang dosen pria paruh baya yang sedang menjelaskan mata kuliah yang dia ajarkan pada para mahasiswanya.
Pemuda itu bertopang dagu, raut bosan tercetak jelas di wajah tampannya. Lantas dia memalingkan wajah ke samping, pada jendela yang berada tepat di sebelah kirinya. Tak ada yang menarik yang bisa dia lihat di luar pada awalnya, selain pemandangan beberapa mahasiswa yang berlalu lalang di luar sana karena mata kuliah yang mereka ikuti telah selesai.
Hingga sesuatu muncul dan menarik perhatiannya. Tidak lain sosok sang mantan kekasih yang sedang berjalan sendirian. Pemuda itu ... Alvino menyeringai lebar, mendapati sosok Nesya berjalan santai menuju perpustakaan. Keinginan untuk menyusul gadis itu ke perpustakaan begitu besar terasa dalam hatinya, sayangnya sang dosen masih belum juga selesai berkoar-koar di depan kelas.
“Jadi, bagaimana? Sudah mengerti dengan tugas yang saya berikan? Silakan ajukan pertanyaan jika masih ada yang tidak kalian pahami.” Sang dosen berbaik hati memberikan kesempatan pada para mahasiswanya untuk bertanya.
“Tidak ada, Pak. Kami semua sudah mengerti!”
Yang menyahut dengan suara keras itu adalah Alvino, membuat dirinya menjadi pusat perhatian seisi kelas. Dia yang sudah tak sabar untuk meninggalkan kelas jadilah dia menyahut sekenanya agar tak ada yang melontarkan pertanyaan dan agar sang dosen cepat keluar dari kelas. Betapa durhakanya mahasiswa yang satu ini, mengusir dosennya dengan kata-kata tersirat. Tolong jangan diikuti
“Bagus jika kalian sudah mengerti.”
Alvino sadar mendapatkan delikan tajam dari beberapa temannya yang mungkin berniat bertanya, gara-gara teriakan lantang Alvino yang sok tahu, mau tak mau mereka mengurungkan niat pasalnya sang dosen sudah mengemasi barang-barangnya yang berserakan di atas meja.
“Untuk tugas penelitiannya, saya minta kalian kirimkan laporannya ke alamat email saya minggu depan.”
“Baik, Pak,” sahut mahasiswa di dalam ruangan, secara serempak.
“Kita akhiri pertemuan hari ini. Sampai jumpa minggu depan.”
Alvino menyeringai lebar ketika sang dosen akhirnya mengucapkan salam perpisahan. Terutama ketika sang dosen melangkah keluar kelas dan membiarkan asistennya yang merapikan semua peralatan yang baru saja digunakan untuk presentasi, Alvino beranjak bangun dari kursinya, berniat melancarkan niatnya untuk menyusul Nesya.
“Vin ...”
Alvino menggeram tertahan karena gerakannya harus terhenti tatkala salah satu temannya berdiri menghalangi jalan sembari menepuk bahunya. Dia adalah Yudo, teman sekelasnya yang berisik dan berdedikasi tinggi untuk menjadi seorang wartawan. Tak berlebihan jika dirinya diibaratkan sebagai raja gosip karena semua rumor tentang orang-orang populer di kampus itu nyaris dia ketahui semuanya. Tidak ada yang luput dari pengamatan Yudo yang mendapat julukan emcor alias ember bocor karena mulutnya yang meledak kemana-mana dengan kata lain tak bisa menyimpan rahasia orang lain.
“Minggir lo,” usir Alvino sinis, dia dorong bahu Yudo yang masih berdiri di depannya layaknya sipir penjara yang tak membiarkan tahanan melarikan diri dari pengawasannya.
“Mau kemana sih lo buru-buru amat, Vin?” Tanyanya, masih berdiri di tempat, tak bergeser sedikit pun.
“Emang harus ya gue lapor ke lo tiap gue mau pergi ke suatu tempat? Gak ada bahan gosip yang bisa lo peras dari gue. Hidup gue tuh bersih tanpa skandal. Jadi, percuma lo beberapa hari ini ngintilin gue kemana-mana kayak anak ayam ngintilin induknya.”
Yudo terkekeh, dia tak marah mendengar suara sinis Alvino yang menyindirnya habis-habisan, toh tak ada yang salah dengan ucapan pemuda itu. Belakangan ini Yudo memang berambisi menyelidiki kehidupan pribadi seorang most wanted baru kampus mereka yaitu Alvino Marcello Anindito, mahasiswa tingkat satu jurusan teknik yang populer gara-gara adu jotos dengan senior tingkat empat tempo hari.
“Judes amat sih, Vin. Gue kan cuma pengen ngobrol bentar. Gak boleh?”
“Nggak. Gue sibuk.”
Alvino kembali mendorong bahu Yudo lebih kencang dibanding sebelumnya membuat pemuda itu melangkah mundur kali ini.
“Gue cuma mau nanya tipe cewek lo kayak gimana. Ini request anak-anak cewek. Ayolah, jangan pelit, Bro. Lo harusnya seneng, sekarang kan lo jadi rebutan cewek-cewek sekampus.”
Alvino berdecak sembari memutar bola mata malas.
“Emang stock cowok ganteng di kampus ini udah sold out atau gimana sih ampe gue jadi bahan rebutan?”
“Cowok ganteng sih banyak di kampus ini, cuma yang bisa tinju kayak sang legenda tinju Muhammad Ali ampe bikin keblenger senior tingkat empat, ya lo doang.”
“Lebay lo,” sahut Alvino seraya menoyor kening Yudo dengan telunjuknya.
“Eh, eh, gue serius kali, Bro. Keberanian lo bikin cewek klepek-klepek. Lo gak nyadar apa jadi trending topic di kampus ini gara-gara kejadian kemarin itu?”
“Gue gak peduli, sekarang lo minggir, jangan halangin jalan gue.”
Setelah mengatakan itu Alvino benar-benar melenggang pergi.
“Bro ... ayo dong, ngobrol bentar doang. 15 menit cukup kok.”
Alvino masih menuruni tangga karena kursi yang dia tempati berada di jajaran atas. Dia melangkah cepat menuju pintu keluar.
“10 menit deh kalau 15 menit kebanyakan.”
“Gue sibuk, Do.”
“Ya udah 5 menit.”
Alvino berdecak jengkel namun sama sekali tak berkeinginan menghentikan langkahnya. Satu-satunya hal yang membuat sepasang kaki Alvino berhenti melangkah yaitu ketika dia melihat seorang gadis tengah berdiri malu-malu di samping pintu kelasnya. Alvino menaikkan satu alisnya, gadis itu datang lagi. Pemuda itu pun menghela napas panjang.
“Mutia.”
Si gadis yang sedang berdiri sambil menundukan kepala itu pun seketika mendongak, semburat merah di wajahnya muncul hingga menjalar ke telinganya.
“Lo nungguin gue lagi?”
Gadis itu mengangguk malu-malu lantas dengan terburu-buru memberikan paperbag yang dia tenteng pada Alvino.
Alvino mendengus pelan, meski enggan akhirnya dia terima juga paperbag yang sudah bisa dia tebak apa isinya itu.
“Besok lo nggak usah ngasih gue makanan lagi.”
Mutia melebarkan mata. “Kenapa? L-Lo nggak suka rasa masakan gue ya?”
“Bukan nggak suka, cuma gue gak mau aja ngerepotin lo kayak gini.”
“Tapi ...”
“Gue tahu lo ngelakuin ini sebagai ucapan terima kasih karena gue udah nolongin lo dari senior m***m itu tempo hari. Tapi gak perlu juga lo ngasih gue makanan tiap hari. Gue ikhlas kok bantuin lo.”
“Gue cuma ...”
“Denger ya,” sela Alvino, membuat mulut Mutia yang sudah terbuka kembali terkatup rapat. “Asal lo tahu, gue emang gak suka aja lihat cewek ditindas apalagi dilecehin. Sekalipun bukan lo cewek yang kemarin digangguin senior, gue pasti tetep tolong kok. Jadi lo gak usah sungkan kayak gini. Gue malah gak nyaman jadinya gara-gara lo terlalu lebay kayak gini.”
Tubuh Mutia yang tiba-tiba menegang karena terkejut mendengar ucapan Alvino itu begitu kentara. Namun Alvino tak terlihat peduli, pemuda itu justru kembali melanjutkan ucapan pedasnya.
“Makasih makanannya. Gue harap ini yang terakhir kali.”
Alvino pun melenggang pergi setelahnya, meninggalkan Mutia yang menundukan kepala masih berdiri mematung di tempat.
“Vin, gila lo ya, kejam amat sama cewek. Lo gak kasihan sama si Mutia, muka dia kecewa banget barusan gara-gara lo tolak.”
Yang mengatakan itu tentu saja si emcor alias Yudo yang masih menempel pada Alvino bak perangko. Bahkan kejadian tak berprikemanusiaan barusan, pemuda berisik itu menyaksikan semuanya.
“Justru gue kasihan sama dia makanya gue bilang gitu. Ngapain juga coba dia repot-repot bawain gue makanan tiap hari. Gue bukan sahabat dia, pacar apalagi suami. Cuma kebetulan aja gue nolongin dia. Lebay aja cara dia ngucapin makasihnya menurut gue.”
Yudo berdecak tak habis pikir dengan Alvino yang bisa setega itu pada seorang gadis cantik.
“Lo gak bisa lihat ya perasaan dia? Dia gak cuma sekedar ngucapin makasih doang, gue yakin makanan itu juga ungkapan perasaan dia yang suka sama lo. Dia pasti jatuh cintrong sama lo, Vin.”
Alvino yang jengkel dengan ocehan Yudo yang tak kunjung berhenti akhirnya menghentikan langkah, dia mendelik tajam pada teman sekelasnya tersebut.
“Gue bukan cowok lugu yang gak ngerti perasaan cewek. Alasan lain gue ngomong kayak tadi sama dia karena gue gak mau ngasih dia harapan palsu.”
“Oh, lo tahu ya dia suka sama lo, kirain lo tipe cowok lempeng yang gak peka sama sekitar.”
Alvino memutar bola matanya malas, percuma menjelaskan pada Yudo yang sok tahu. Dia pun kembali melanjutkan langkah ke tempat tujuannya.
“Vinooooo!!!”
Suara teriakan para gadis tertangkap indera pendengar pemuda itu, Alvino menoleh ke samping, tersenyum lebar mendapati empat gadis yang selalu mengikutinya belakangan ini sedang melambai heboh padanya.
Alvino melempar senyum lebar untuk mereka, tak ragu memberikan balasan lambaian tangan yang sukses membuat Yudo melebarkan mata, terkejut.
“Heeh ... Vino. Jangan bilang cewek tipe lo tuh cewek-cewek centil kayak mereka?” Tanya Yudo heboh, merasa menemukan topik gosip menarik yang bisa dia sebar ke seantero kampus mengenai Alvino, si most wanted dadakan.
“Gue heran sama lo.”
“Heran kenapa?” Tanya Alvino, kedua kakinya masih melangkah tegap menuju perpustakaan.
“Cewek cantik kayak Mutia yang dapet julukan primadonanya anak tingkat satu, lo tolak. Sedangkan cewek-cewek centil modal baju kekurangan bahan aja lo demenin.”
Alvino terkekeh geli, menghentikan langkah untuk kesekian kalinya sebelum kedua tangannya mendarat di bahu Yudo.
“Nih ya, gue kasih tahu.”
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Yudo mengangguk-angguk tak sabar, berpikir Alvino akhirnya mau terbuka padanya karena biasanya pemuda itu pelit berbagi kisah hidup apalagi yang berbau privasi.
“Mutia itu dilihat dari sudut mana pun jelas cewek baik-baik nan lugu. Gue males berhubungan sama cewek kayak gitu soalnya mereka biasanya baperan. Apa-apa dianggap serius. Gampang nangis kalau disakitin. Sebrengsek-brengseknya gue, gue gak mau bikin cewek baik-baik nangis. Nggak akan lagi.”
Yudo tertegun, tak paham maksud kalimat terakhir Alvino.
“Beda sama cewek-cewek centil tadi. Kelihatan banget kan mereka cewek nakal?” Yudo kembali mengangguk cengo.
“Cewek-cewek gitu gue gak merasa bersalah walau ninggalin mereka gitu aja. Soalnya mereka tipe cewek yang selalu berburu cowok-cowok keren berduit tebel. Lihat aja mereka gak segan gonta-ganti cowok. Pasti cowok mereka lebih dari satu.”
Alvino melirik dengan ekor matanya ke arah keempat gadis tadi berkumpul, mendapati ada beberapa pemuda yang baru saja bergabung bersama mereka dan tak keberatan bagian tubuh mereka dipegang-pegang oleh pemuda-pemuda itu, Alvino mendengus kasar. Dia sudah berpengalaman soal wanita, jadi penilaiannya tidak mungkin salah.
“Oh gitu. Jadi lo nolak Mutia karena gak mau nyakitin dia?”
“Nah, tumben lo pinter.”
“Sialan lo,” sahut Yudo sembari memukul cukup kencang d**a Alvino.
“Terus tipe cewek lo sebenarnya kayak gimana? Sumpah ya gue penasaran banget. Cewek yang bisa luluhin hati beku lo kayak gimana.”
“Lo mau gue kasih tahu?”
“Mauuuuu ...” sahut Yudo heboh hingga bibirnya maju beberapa senti ke depan.
Alvino menyeringai, “Ntar gue kasih tahu.”
Dan Alvino pun kembali melanjutkan langkah, sedikit lagi dia tiba di perpustakaan dimana gadis yang dia incar berada di dalam.
“Kasih tahu sekarang aja sih, Vin. Ngapain ntar kalau bisa sekarang?”
Yudo mengaduh kesakitan ketika wajahnya menubruk punggung tegap Alvino yang tiba-tiba menghentikan langkah di depannya. Ingin mengumpat awalnya namun urung tatkala menemukan Alvino yang menatap ke satu titik. Entah apa yang menarik atensi Alvino hingga pemuda itu tiba-tiba menghentikan langkah.
Yudo yang penasaran, mengikuti arah yang dipandang Alvino. Di depan sana, dia melihat sosok seorang gadis baru saja keluar dari perpustakaan. Dia berjalan dengan kepala tertunduk karena terlalu fokus pada buku di tangan.
Gadis itu mendongak hingga tatapannya terpaku pada Alvino. Dan ekspresi terkejut gadis itu dilihat jelas oleh Yudo sekalipun.
Yudo semakin tak mengerti ketika Alvino tiba-tiba meneriakkan nama gadis itu sembari mengangkat tangan seolah memberi isyarat pada sang gadis agar mendekat. Namun, bukannya mendekat, gadis itu malah mengambil langkah seribu. Mirisnya lagi gadis itu berbalik pergi mengambil arah lain, terlihat jelas menghindari Alvino sebisa mungkin.
“Kok kak Nesya kabur sih lihat lo, Vin?” Tanya Yudo terheran-heran karena Nesya pergi begitu saja begitu melihat Alvino.
Alvino terkekeh entah karena apa.
“Woi ... playboy cap kaki lima, ngapain malah cengar-cengir?”
Alvino berdecak, dengan jengkel menoleh pada Yudo yang seenak jidat memberinya julukan aneh.
“Lo kenal sama Nesya?” Tanya Alvino, sukses membuat Yudo melongo pasalnya pemuda itu bukannya menjawab pertanyaannya malah balas bertanya.
“Oh, ya jelas lo kenal Nesya ya, lo kan emcor rajanya gosip.”
Yudo mengembuskan napas pelan sebelum tiba-tiba membusungkan dadanya bangga karena menurutnya Alvino baru saja memujinya.
“Emangnya siapa yang gak kenal Kak Nesya? Cowok-cowok di kampus ini yang matanya gak buta pasti kenal dia.”
“Kok lo ngomong gitu?” Tanya Alvino, meminta penjelasan.
“Dia itu kan terkenal paling cantik di jajaran cewek-cewek tingkat dua. Emang cantik sih gue akuin soalnya dia ada keturunan Arab kayaknya ya. Lihat hidungnya mancung banget, kulitnya putih mulus, tinggi semampai lagi badannya kayak model. Wajar dia jadi incaran cowok-cowok.”
Alvino mengangguk-angguk setuju.
“Cuma gue saranin lo gak usah deketin dia.”
“Kenapa emangnya?”
OK, Alvino dibuat penasaran setengah mati sekarang.
“Dia itu kan anti cowok.”
“Anti cowok?” Satu alis Alvino terangkat naik.
“Udah banyak cowok yang nyatain cinta sama dia, tapi gak ada satu pun yang dia terima. Padahal nih ya, cowok-cowok yang pernah nembak dia itu mukanya cakep-cakep kok. Gak ada yang muka standar apalagi di bawah rata-rata termasuk kategori cowok ganteng.”
“Masa?”
Yudo menggeram karena merasa Alvino meragukan informasi darinya.
“Lo nggak percaya sama hasil penyelidikan gue?”
Alvino menyeringai lebar, jika informasi itu hasil penyelidikan si raja gosip Yudo, tentu saja dia percaya. Pasti pemuda itu mendapatkan informasi dari orang terpercaya.
“Gue percaya kok,” sahut Alvino. “ Oh ya, lo masih pengin tahu tipe cewek gue?”
“Jelas pengin dooong. Udah siap wawancara nih?”
Dengan gesit dan cekatan, Yudo mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Yang ternyata sebuah alat perekam untuk merekam ucapan Alvino nantinya.
“Semua informasi tentang gue mau lo sebar?”
“Ya iyalah masa ya iya dong. Lo kan tahu gue ini panitia majalah kampus. Semua cewek haus berita tentang lo. Jadi pembahasan lo nanti mau gue tampilin di halaman terdepan. Kalau perlu cover majalahnya pake foto lo sekalian.”
Dan Alvino merasa Dewi Fortuna benar-benar berpihak padanya. Pemuda itu memiringkan kepala dengan wajah ceria yang mengerikan.
“Kalau gitu ikut gue. Gue jamin informasi yang bakalan lo dapet tentang gue nanti bakalan viral. Majalah lo pasti jadi rebutan.”
“Haah? Serius?”
Alvino mengangguk mantap.
“Gue mau berbagi rahasia pribadi gue sama lo,” bisik Alvino di dekat telinga Yudo.
Seketika wajah Yudo berbinar senang. Bagaikan anak anjing yang meminta daging pada majikannya, Yudo mengangguk-anggukan kepala heboh. Andai saja dia seekor anjing pasti lidahnya sudah dijulur-julurkan keluar dengan ekor yang bergerak-gerak lucu. Karena dia manusia jadilah ekspresi wajahnya berbinar terang layaknya mentari di pagi hari. Dengan kepala yang terus mengangguk bagaikan patung selamat datang di depan restoran Hoka-Hoka Bento.
“Ayo, ayo mulai wawancaranya,” ujar Yudo girang sembari bersiap menyalakan alat perekam di tangan.
“Gak di sini,” sahut Alvino, yang membuat wajah Yudo yang bersinar seperti mentari itu seketika berubah menjadi mendung.
“Haah? Dimana kita mulai wawancaranya?” Tanyanya, tak sabar.
Untuk sejenak Alvino menatap gedung perpustakaan dimana Nesya tadi datangi.
“Di kost-an gue. Kita udah gak ada kelas lagi kan hari ini?”
Yudo mengangguk patuh.
Alvino merangkul bahu Yudo, membawa pemuda bermulut bocor itu untuk ikut dengannya. Jadi, rencana busuk apa yang sedang direncanakan Alvino? Nantikan jawabannya nanti.