Yudo turun dari motor sport berwarna merah dengan merk Ducati milik Alvino, membenarkan letak poninya yang berantakan karena Alvino baru saja mengebut seolah nyawanya ada sembilan. Dia tak tahu saja pemuda malang yang menumpang di motornya nyaris terpental ke belakang jika dia tidak cepat-cepat berpegangan.
Yudo mengusap-usap dadanya dimana jantung yang menggantung di dalam, bertalu-talu dengan hebatnya. Dia berjongkok karena lututnya tiba-tiba lemas tak bertenaga. Jangan lupakan wajah pucatnya seolah baru saja dikejar Mbak Kunti. Perutnya pun terasa melilit mungkin kemasukan angin karena untuk pertama kalinya diajak mengebut layaknya pembalap motogp.
Alvino melepaskan helmnya dengan santai. Dia melirik malas pada Yudo yang sedang mual-mual manja seperti ibu-ibu hamil yang sedang mengalami morning sickness.
“Do, kenapa lo?” Tanyanya, tak merasa bersalah sedikit pun. Padahal selama perjalanan, Yudo tidak hentinya berteriak ketakutan, memohon-mohon agar Alvino sedikit memelankan laju motornya.
Yang terjadi justru sebaliknya, bukan mengabulkan keinginan pemuda itu, Alvino justru menjahilinya dengan sengaja membawanya berputar-putar dulu ke tempat lain sebelum kembali ke kost-annya. Padahal, aslinya kost-an Alvino hanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki dari kampus.
Terbayang kan sedekat apa jaraknya?
Naasnya Yudo harus merasakan yang namanya nyawa sudah terasa di ujung tenggorokan karena hampir satu jam lamanya dia terombang-ambing di atas motor sport milik Alvino.
“Do, lo masih hidup, kan?”
“ Mati gue,” sahut Yudo jengkel. “Gila lo ya bawa motor kayak orang kesurupan. Lo bukan pembalap motogp kali, Vin. Belagu banget sih jadi orang. Kalau anak orang ini mati gimana?” Yudo misuh-misuh sedangkan Alvino hanya menanggapinya dengan santai, bola matanya berputar malas. Raut bersalah tidak sedikit pun tercetak di wajah tampannya.
“Ya, tinggal dikuburin. Bilang aja korban tabrak lari yang kebetulan gue temuin di jalan.”
“Asli ya, lo jahat banget, sumpaah!!” Teriak Yudo sembari menggeleng tak percaya mendengar jawaban tak peduli dari Alvino.
“Jadi lo sengaja kebut-kebutan supaya gue mati?”
“Nah, itu tahu,” jawab Alvino sekenanya.
Yudo menggeram pundung, tak ada bedanya dengan anak bocah yang merajuk karena tidak dibelikan permen. Dia pun melengos pergi begitu.
“Eh, eh, lo mau kemana?”
Namun Alvino refleks menahannya, merangkulkan tangannya di bahu Yudo yang masih manyun.
“Keterlaluan lo, Vin. Gue serius takut tahu barusan. Gue pikir bakalan mati.”
“Ya nggaklah, gue juga belum mau mati kali. Keinginan gue aja belum kesampean, belum siap gue menghadap Tuhan,” jawab Alvino sembari terkekeh.
“Sorry ... sorry ... gue janji deh bakalan ngasih lo berita besar buat majalah lo. Anggap aja sebagai permintaan maaf gue udah bikin lo keblenger barusan.”
Yudo mendengus hingga akhirnya dia memilih mengalah, “Ya udah, gue maafin. Awas lo ulangin lagi. Gue trauma tahu naik motor kebut-kebutan. Pernah ketabrak motor soalnya gue waktu masih anak-anak.”
“Siapa?” Tanya Alvino.
“Gue yang trauma.”
“Yang nanya.” Dan Yudo pun memukul perut Alvino cukup keras sehingga pemuda itu meringis kesakitan.
“Males gue, lo becanda mulu, Vin. Udah deh, gue pulang aja.”
“Jangan gitu dong, katanya mau wawancara gue. Ayo, masuk ke dalam,” ajak Alvino, masih merangkul bahu Yudo sekaligus menyeretnya paksa untuk masuk ke dalam kost-an.
“Eh, Vin, kost-an lo deket kok dari kampus. Jalan kaki juga bisa kali. Kok tadi perasaan lama banget ya kita naik motor. Lo sengaja muter-muter dulu ya?”
“Iya. Tumben pinter,” jawab Alvino. Dia cengengesan ketika melihat wajah Yudo kembali cemberut dan terus menggerutu tak jelas.
“Jelek amat sih lo mukanya cemberut gitu. Pantesan gak laku-laku. Bakal jadi jomblo abadi kayaknya.”
Yudo menyikut rusuk Alvino kali ini, jengkel luar biasa karena Alvino tiada henti mengejeknya.
“Mulut lo rombeng banget sih, Vin. Mentang-mentang ganteng.”
“Cowok ganteng mah bebas mau ngomong apaan juga,” sahut Alvino, lantas tergelak tawa setelah itu.
“Lagian yang gue omongin itu fakta, lo bakalan jadi jomblo seumur hidup kalau wajah lo jutek gitu. Makanya banyak senyum kayak gue supaya dikerubungi cewek terus.”
“Gula kali dikerubungi,” timpal Yudo sembari membuang muka ke arah lain. Dia tatap kost-an yang dihuni Alvino.
“Kost-an lo gede juga ya. Ada berapa lantai?” Tanyanya.
“Tiga kayaknya.”
“Kok jawaban lo gak yakin gitu?”
“Gue belum keliling. Wajar aja jawaban gue jadi ambigu gini soalnya gue gak yakin juga. Lagian gue udah bisa tebak pertanyaan lo selanjutnya. Lo pasti nanya ada berapa kamar kan?” Tebak Alvino, percaya diri seolah bisa membaca isi pikiran Yudo. “Mendingan jawab ambigu gitu supaya mulut lo diem, gak nanya-nanya lagi.”
Yudo berdecak sembari menggeleng, tak habis pikir ada orang sejenis Alvino yang super menyebalkan.
“Kayaknya mahal ya sewanya. Berapa lo bayar kost-an tiap bulan, Vin?” Tanya Yudo saat menyadari kost-an yang disewa Alvino masih berupa bangunan yang baru selesai dibangun. Areanya pun luas dan terdiri dari beberapa lantai. Tempatnya bersih dan cukup nyaman untuk ditempati. Bahkan ada tamannya juga di depan rumah untuk dijadikan tempat bersantai anak-anak kost.
“Tanyain langsung gih sama ibu kost, tuh mumpung ada di sana ibu kost-nya.” Alvino menunjuk dengan dagunya pada ibu kost yang sedang duduk santai di depan rumahnya yang memang bersebelahan dengan kost-an.
“Ya elaah, Vin. Tinggal jawab aja, ribet amat sih. Gue harus nanya ke ibu kost segala, kan gue nanyanya sama lo.”
“Ya, kali aja ibu kost ngasih harga sewanya beda-beda. Gue nyari jalan aman aja, takut salah ngomong. Gue kan selalu jaga omongan, gak kayak mulut lo yang bocor kayak ember.”
Yudo menggeram, habis sudah kesabarannya. Dia tepis tangan Alvino yang masih bertengger nyaman di bahunya. Dia pun hendak membalik badan.
“Becanda gue, becanda. Lo kayak cewek lagi PMS ya, ambekan,” goda Alvino. Dia menarik lengan kanan Yudo, menyeretnya paksa untuk masuk ke dalam bangunan kost-an.
Di sepanjang jalan menuju kamar Alvino, kedua bola mata Yudo bergulir ke sekeliling. Cukup takjub karena kost-an itu memang bersih dan nyaman. Aromanya wangi pertanda si ibu kost pecinta kebersihan.
Setibanya di depan pintu kamarnya, Alvino bergegas mengeluarkan kunci miliknya. Dia masukkan kunci itu ke lubang pintu. Ketika dia memutarnya, Alvino tertegun karena kunci itu tidak pas di lubang pintu.
Dia keluarkan kunci itu, dan mencoba berkali-kali memasukannya lagi ke lubang pintu.
“Lo kenapa sih, Vin? Kunci kamar lo rusak atau gimana?”
Alvino tertegun sembari menatap kunci kamarnya, ketika dia teringat kejadian tadi pagi, seketika dia tersentak.
Dia ingat kejadian saat bertabrakan dengan Nesya dan kunci mereka jatuh ke lantai. Otak cemerlangnya baru bekerja dengan semestinya, dia mengerti sekarang, kunci mereka pasti tertukar. Seringaian pun terbit di bibirnya.
Alvino memutar tubuhnya, kini menghadap pintu kamar Nesya yang memang berseberangan dengan kamarnya. Dia masukkan kunci itu ke lubang pintu.
Cklek
Ketika suara itu tertangkap indera pendengaran Alvino sebagai pertanda pintunya berhasil dibuka, seringaian Alvino semakin melebar.
“Ayo masuk!” Ajaknya pada Yudo yang melongo kebingungan.
“Tadi lo salah kamar atau gimana sih?”
Alvino memilih tersenyum geli melihat ekspresi wajah Yudo yang terbengong-bengong dibandingkan menjawab pertanyaannya.
Yudo mendengus karena respon Alvino tak sejalan dengan harapannya, dia pun memutar leher untuk melihat keadaan kamar, dan saat itulah wajah idiotnya tercipta. Kedua mata yang melebar sempurna seolah siap menggelinding dari kelopaknya, mulut yang menganga hingga lalat bisa masuk ke dalam dengan mudah.
“K-Kok kamar lo kayak kamar cewek sih?!” Tanya Yudo sembari mengernyit bingung.
Bukan karena kondisi kamar yang rapi dan bersih serta wangi yang membuat Yudo terheran-heran, melainkan karena banyak benda berwarna pink di dalam kamar, bahkan adanya tumpukan boneka di ranjang, membuat Yudo menggelengkan kepala tak paham.
“Seprei pink, ada lemari plastik pink segala. Udah gitu tumpukan boneka di kasur itu maksudnya apa?” Tanya Yudo bertubi-tubi.
“T-Tunggu, jangan bilang lo ada kelainan?” Yudo seketika memeluk dirinya sendiri, menyilangkan kedua tangannya di depan d**a seolah melindungi area dadanya dari tatapan seseorang. “L-Lo banci ya, Vin?”
Gelak tawa Alvino terdengar membahana di dalam kamar, dia benar-benar geli mendengar tebakan Yudo yang melenceng jauh dari kenyataan.
“Emang gue ada tampang banci?” Alvino balas bertanya setelah butuh 5 menit lamanya hingga tawanya berhenti.
Yudo menelisik penampilan Alvino turun dari ujung kepala sampai kaki. Lalu menatap naik dari ujung kaki sampai ujung kepala. Terus seperti itu berulang-ulang.
Alvino yang tak tahan dengan tingkah Yudo, tiba-tiba melepaskan jaket yang dia kenakan, sukses membuat Yudo geragapan hingga refleks melangkah mundur, membuat jarak sejauh-jauhnya dari Alvino.
“Vin, Vin, mau apa lo buka baju segala?!!” Teriak Yudo, semakin panik saat Alvino melakukan hal lebih gila karena dia pun membuka kaos hitamnya, bertelanjang d**a dan hanya menyisakan celana jeans navy yang masih membungkus kaki panjangnya.
“Cuma buka baju, gerah gue. Emang lo pikir gue mau ngapain? Otak lo ngeres nih pasti,” jawab Alvino.
Yudo tertegun, dia pandangi tubuh atletis Alvino. Perut kotak-kotak nan rata milik pemuda itu yang pasti sukses membuat semua gadis menjerit histeris jika melihatnya, otot-otot di perut, d**a dan lengan Alvino yang kekar. Tanpa sadar Yudo meneguk salivanya takjub. Jika dibandingkan dengan tubuh kerempengnya bak bocah cacingan, jelas tubuh mereka perbedaannya bagai air zamzam dan air kobokan. Berbeda jauuuh.
Yudo merasa minder sekarang menyaksikan tubuh pria idaman para wanita berdiri tegap di depannya.
Lalu tatapannya beralih pada kalung berwarna silver dengan liontin berbentuk persegi melingkar di leher Alvino. Dia baru tahu pemuda yang mendadak jadi most wanted kampus itu memakai kalung. Ketika tatapan Yudo kini tertuju pada tato wajah seorang gadis di bahunya, seketika pemuda bermulut rombeng itu pun memekik kaget.
“Vino, lo kok tatoan?” Tanyanya histeris. Dia menghampiri Alvino untuk memperhatikan tato itu dari dekat.
“Lo udah gak takut lagi sama gue?”
Yudo menggeleng tanpa melirik wajah Alvino, fokusnya masih tertuju pada tato di bahu Alvino.
“Tadi ngira gue banci.”
“Nggak. Gue berubah pikiran,” sahut Yudo, masih belum memalingkan tatapannya. “Kalau lihat dari badan macho lo sih kayaknya mustahil lo lekong.”
Alvino mendengus sembari menggeleng sebelum dia meletakan telapak tangan besarnya di wajah Yudo agar temannya itu berhenti memandangi tatonya.
“Bentar, Vin. Itu cewek di tato lo, mukanya kayak gak asing ya? Gue pernah lihat dimana gitu.”
“Perasaan lo aja kali,” sahut Alvino malas-malasan sembari mendudukan diri di ranjang Nesya.
Dia mengambil salah satu boneka Nesya, membolak-baliknya sebelum mendengus geli dan melempar boneka itu asal.
“Kok lo lempar bonekanya? Bukan punya lo?”
“Bukanlah, gila aja gue mainin boneka.”
“Oh, kirain punya lo.” Ekspresi Yudo masih tenang, hingga tiba-tiba dia memekik karena otak lemotnya baru menyadari sesuatu. “Heeh, kalau bukan punya lo, terus boneka-boneka itu punya siapa dong?”
“Dan lagi ini kamar beneran punya lo?”
“Oh ya satu lagi, itu cewek di tato lo siapa sih? Cewek lo ya?”
Alvino tidak menjawab, lebih memilih merebahkan diri daripada menanggapi pertanyaan Yudo yang tidak ada habisnya.
Yudo berdecak jengkel, ingin rasanya mencakar wajah tampan Alvino supaya tidak laku lagi. Namun, mengingat Alvino akan menjadi sumber kesuksesan majalahnya minggu ini, dia urung menganiaya Alvino.
Yudo mengangkat bahu, acuh tak acuh melihat Alvino yang kini sedang memainkan ponselnya masih dalam posisi berbaring santai di ranjang Nesya.
Yudo berjalan-jalan mengelilingi kamar. Terkikik geli saat melihat perabotan memasak yang cukup lengkap tergantung di dinding. Juga pada lemari plastik berwarna pink dengan motif barbie, membuat Yudo nyaris tergelak dalam tawa. Namun dia tahan karena takut membuat Alvino tersinggung yang berakibat berubah pikiran untuk memberinya informasi penting.
Dia terus berjalan-jalan disertai kedua matanya yang menelisik seisi kamar, juga tangannya yang terus gerayangan tak bisa diam, menyentuh barang apa pun yang bisa dia sentuh.
Ketika dirinya melangkah memasuki kamar mandi, suara pekikan terkejut kembali mengudara. Pasalnya dia menemukan pembalut bersih di dalam, masih disegel. Namun dia tak sebodoh itu hingga tidak mengetahui kegunaannya.
“Si Vino kenapa naro pembalut di kamar mandinya ya? Waduuh, makin curiga gue sama tuh bocah, jangan-jangan bener melenceng dari jalan Tuhan,” gumamnya pelan hingga hanya dirinya yang mampu mendengar.
Dia menelisik seisi kamar mandi, terenyak menemukan shampoo dan sabun beraroma stroberi yang biasa digunakan para gadis.
“Omaigot, peralatan mandinya aja feminim banget.” Yudo bergidik ngeri.
Dan pada tatapannya yang tertuju pada handuk kimono berwarna merah muda dengan motif bunga-bunga tergantung di belakang pintu kamar mandi, Yudo seketika membekap mulutnya tak percaya.
Dia ambil handuk kimono itu, menjinjingnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Memandanginya dengan ekspresi jijik seolah handuk itu kotoran hewan yang najis jika disentuh.
“Busyeet dah si Vino, handuk aja pake handuk cewek. Ngeri nih gue, gimana kalau dia grepe-grepein gue ya?”
Yudo kembali memeluk dirinya sendiri, menyilangkan kedua tangan di depan d**a, semakin parno dan ngawur pemikirannya.
“Duuh, gue mesti cepet-cepet wawancara dia terus cabut dari sini nih.”
Yudo melangkah keluar dari kamar mandi setelah mengambil keputusan itu. Diliriknya Alvino yang masih rebahan di ranjang.
Tatapan Yudo tanpa sengaja tertuju pada balkon. “Waah, keren ada balkonnya. Vin, boleh kan gue lihat balkon lo?”
“Boleh, buka aja pintunya,” sahut Alvino cuek tanpa memalingkan pandangannya dari game di ponsel yang sedang dia mainkan.
Merasa telah mendapat izin dari si pemilik kamar, Yudo pun tanpa ragu membuka pintu balkon.
Awalnya, semua tampak normal, senyuman lebar terbit di bibir Yudo saat pemuda itu melihat pemandangan di sekitar kost-an yang terlihat jelas dari atas. Namun, ketika dia memutar leher dan menatap pada sebuah gantungan baju yang digantung di dekat dinding, detik itu juga dia berteriak histeris.
“Vin ... Vin ... Vinooo!!!” Teriaknya heboh.
Alvino berdecak jengkel karena teriakan Yudo membuatnya salah menekan tombol hingga dia pun game over.
“Sial, padahal dikit lagi hero gue menang.”
“Vino, siniii!!”
Teriakan Yudo kembali mengudara membuat Alvino mau tak mau akhirnya melangkah untuk menghampiri temannya yang berisik itu.
“Apaan sih, Do, teriak-teriak kayak cewek lihat kecoak terbang aja lo?”
“Itu ... itu ... itu ...” Yudo terbata-bata, tak mampu melanjutkan perkataannya. Jari telunjuknya teracung ke satu titik.
Alvino pun mengikuti arah yang ditatap Yudo. Dilihatnya beberapa bra dan celana dalam yang tentunya milik Nesya, tergantung rapi pada gantungan untuk menjemur baju. Bibirnya berdecak, jengkel karena Nesya tak menuruti nasihatnya tempo hari untuk menjemur pakaian dalam di dalam kamar. Gadis keras kepala itu masih saja menjemurnya di luar.
“Kok bisa di jemuran lo ada daleman cewek? Ada bra sama CD cewek?” Tanya Yudo, masih seheboh tadi.
“Lo teriak cuma karena lihat ini?”
Yudo cengo luar biasa, menyaksikan betapa santainya reaksi Alvino saat ini.
“Wajarlah gue teriak. Kok bisa di kamar lo ada daleman cewek, lo yang make?”
Alvino berdecak. “Otak lo mesti dibawa ke bengkel kayaknya. Masa iya gue pake daleman cewek? Sakit pikiran lo.”
“ T-Terus ... itu punya siapa?”
“Daripada ngebahas masalah nggak penting ini, mendingan kita makan yuk, gue laper.” Dengan sengaja Alvino mengubah topik pembicaraan, membuat Yudo menggeram kesal, padahal dia begitu penasaran ingin mengetahui pemilik pakaian dalam itu, mungkinkah pacarnya Vino? Jika iya, ini sebuah berita besar menurut Yudo. Jika dia membahas di majalahnya bahwa Alvino tinggal berdua bersama kekasihnya, maka majalahnya akan menjadi trending topic seisi kampus.
“Vin, boleh gak gue nanya?”
Alvino mengernyitkan dahi, “Perasaan dari tadi juga lo udah banyak nanya deh.”
Yudo mengibaskan tangannya, “Ini pertanyaannya beda. Gue serius nih mau nanya, tapi lo janji dulu bakalan ngasih jawaban yang jujur.”
Kini Alvino memicingkan mata, menatap curiga pada Yudo yang sedang menyengir lebar di depannya.
“Lo mau nanya apa emangnya?”
“Janji dulu lo bakalan jawab dengan jujur.”
Alvino memutar bola matanya, Yudo dan cengiran anehnya sukses membuatnya luar biasa curiga. “Ya udah, tanya aja.” Akhirnya itulah yang dikatakan Alvino.
“Barang-barang cewek di kamar ini pasti punya cewek lo ya?”
Alvino sedikit terbelalak, dia cukup takjub karena Yudo tumben-tumbenan pintar, karena biasanya daya tangkap temannya yang satu itu terlalu lemot sehingga perlu berpikir lama untuk membuatnya memahami sesuatu. Alvino sudah membuka mulutnya hendak menyahut, tapi tak jadi karena suara Yudo kembali mengudara.
“Kalian tinggal berdua di sini? Lo sama cewek lo udah tinggal bareng, kan? Hayoo, ngaku!”
Alvino menggelengkan kepala, menyesal karena tadi sempat takjub pada Yudo. Ternyata pemikiran Yudo memang tak jauh-jauh dari hal berbau m***m. Padahal dilihat dari sudut mana pun kamar ini jelas kamar seorang gadis, bahkan tak ditemukan satu pun benda-benda milik pria di sini. Jika Yudo cerdas, harusnya dia menyadari itu. Sudah Alvino duga, ibarat komputer, otak Yudo tuh pentium paling bawah.
“Jangan-jangan kalian berdua ... apa tuh istilahnya, kumpul kebo ya?”
Refleks tangan Alvino memukul belakang kepala Yudo, membuat pemuda itu meringis kesakitan karena Alvino memukulnya sekuat tenaga.
“Sakit, Vinoooo!” Teriak Yudo sembari mengusap-usap belakang kepalanya. “Kalau gue gegar otak, gimana? Lo mau tanggungjawab.”
“Kalau gara-gara gegar otak, otak lo jadi pinteran dikit sih gue malah bersyukur. Nyesel kenapa gak dari dulu gue bikin lo gegar otak.”
Yudo melongo mendengar jawaban Alvino yang kejam dan tak merasa berdosa itu. “Lo emang jahat ya, sama temen sendiri juga.”
“Lagian sih otak lo begonya kebangetan.”
“Gue kan nanya kayak gitu wajar, Vin. Gue nemu banyak bukti kok kalau ada cewek yang tinggal di sini.”
OK, itu jawaban Yudo. Tapi bodohnya, pemuda itu tak menyadari tidak ada satu pun bukti yang dia temukan bahwa ada pria yang tinggal juga di kamar itu.
“Terserah lo mau nuduh apa tentang gue. Bodo amat,” ujar Alvino, malas menanggapi Yudo yang sejak mereka memasuki kamar Nesya ini terus berpikiran yang aneh-aneh tentangnya. Parahnya lagi sekarang mulai menuduh sembarangan.
“Lo mau ngelak dari fakta ya? Pengecut lo, Vin.”
“Terserah, terserah. Lo mau ngomong apaan juga gue gak peduli.” Alvino berjalan kembali memasuki kamar, dia melirik ke arah peralatan memasak Nesya yang tampak bersih dan tersusun rapi. Diam-diam dia tersenyum, bangga pada mantan kekasihnya yang dari dulu tidak berubah. Nesya merupakan gadis yang rajin, rapi dan sangat menjaga kebersihan.
“Kalau pemikiran gue emang salah, harusnya lo jelasin. Gue emang nemu bukti-bukti ada cewek yang tinggal sama lo di sini kok. Lo itu ....”
“Lo bisa masak gak, Do,” sela Alvino, membuat mulut Yudo yang sudah menganga lebar karena ucapannya masih menggantung itu, kembali terkatup rapat.
“Bisa dikit-dikit. Kenapa emangnya?”
“Masakin makanan gih buat gue. Serius gue laper banget nih.”
Yudo terbelalak mendengar Alvino yang seenak jidat menyuruhnya memasak.
“Heeh, yang tamu di sini tuh sebenarnya gue apa lo sih? Sebagai tuan rumah kan harusnya lo yang hidangin makanan buat gue.”
“Mau apa nggak nih buatin gue makanan?”
Yudo memutar bola matanya, malas. Jika bukan demi bahan majalahnya, ogah amat dia bertahan lama-lama ada di dekat Alvino yang menyebalkan dan songong itu.
‘Sabar, sabar, inget ini demi majalah, Do,’ gumam Yudo dalam hatinya, menyemangati dirinya sendiri yang mulai lelah menghadapi tingkah laku Alvino yang seenaknya menyuruh seolah Yudo itu kacungnya.
“Gue harus masak apa?” Tanya Yudo, memilih mengalah demi kesuksesan majalahnya.
“Coba lihat di kulkas ada apa?” Alvino menunjuk dengan lirikan mata ke arah kulkas kecil satu pintu milik Nesya yang diletakan dekat dengan kompor.
Sambil misuh-misuh dalam hati, Yudo berjalan mendekati kulkas. Dia pun membuka kulkas itu. Dia menelisik seisi kulkas untuk mencari bahan makanan dan terbelalak saat menemukan sebotol kiranti yang Yudo tahu sebagai jamu penghilang sakit perut bagi wanita yang sedang menstruasi.
Dengan wajah horor, dia mengambil botol Kiranti yang baru diminum sedikit itu. “Vinooooo!!” Teriaknya.
Alvino yang sedang menatap layar ponselnya itu berjengit kaget mendengar teriakan melengking Yudo. “Apaan sih teriak-teriak mulu perasaan lo dari tadi?”
“Lo gak bisa ngelak lagi ya. Jujur aja lo emang tinggal berdua sama cewek lo kan di sini?”
Alvino menautkan dua alisnya. Menatap bingung pada botol minuman yang diangkat Yudo.
“Ini apa? Ini buktinya, Vino. Lo gak bisa ngelak lagi!”
Bersamaan dengan mengatupnya bibir Yudo yang baru saja melempar kalimat tanya pada Alvino, suara pintu dibuka seseorang merasuki gendang telinga kedua pemuda tak tahu sopan santun itu.
Alvino menyeringai melihat siapa yang datang, berbeda dengan Yudo yang semakin terheran-heran.
“Itu dia yang punya kamar ini datang,” sahut Alvino, dia melenggang santai menghampiri Nesya yang terbelalak di dekat pintu.
Yudo tak mengatakan apa pun, dia terus memperhatikan apa yang akan dilakukan Alvino ketika pemuda itu menghampiri Nesya.
Ketika Alvino tiba-tiba merangkul bahu Nesya dari samping lantas mengecup pipi Nesya yang mematung di tempat, mulut Yudo menganga membentuk huruf O.
“Ini rahasia yang mau gue bagi sama lo, Do. Alasan gue nolak Mutia, karena dia ...” kata Alvino sembari mengusap wajah Nesya yang masih tak bergerak di tempat seolah rohnya ditarik keluar dari raganya.
“Kak Nesya ...” gumam Yudo.
“Ya, Nesya ini cewek gue.”
Dan dengan penuh percaya dirinya Alvino mengumbar kebohongan di depan si raja gosip membuat Nesya memutar lehernya ke arah sang mantan dengan gerakan patah-patah, tak tahu bencana apa lagi yang akan dia dapat karena ulah mantan brengseknya ini.