"Laustrowana?" ulang Yared.
Raut wajah pemuda itu membuatku bersimpati padanya. Kemungkinan besar, dia belum pernah keluar dari pulau Adon. Dan sekarang, dia menghadapi sebuah dugaan, bahwa kakinya sedang menginjak pulau lain.
Namun, aku juga masih belum percaya dengan dugaan Normen bahwa kami sedang berada di pulau lain. Tequr tidak akan memiliki kekuatan sebesar itu.
Dia memang seorang penyihir agung, tetapi gelar itu hanya menggambarkan kekuatan sihirnya yang hebat, sekaligus menyebalkan. Seingatku, Tequr tidak memiliki kekuatan untuk memindahkan objek, apalagi makhluk hidup, hingga sejauh ini.
"Hutan Utara Laustrowana ditinggali oleh Elf klan Zabash," ujarku memecah keheningan. "Jika dugaan Anda benar, maka seharusnya ada desa mereka di sekitar sini."
"Aku sedang tidak menduga," cetus sang prajurit Donater dingin. "Aku sangat mengenal hutan ini, dan aku tidak akan salah. Kita sekarang sedang berada di Laustrowana."
Entah kenapa, aku merasa kalimat yang baru saja dia lontarkan, bukan berasal dari mulut dan pikiran seorang Normen Harv. Ucapannya yang dingin, seolah berasal dari orang lain yang ada dalam dirinya.
Selama perjalanan dari Tekoa hingga ke Adijaya, Normen dan Yared adalah dua orang yang paling jarang berbincang denganku.
Aku tidak mau mendekati dua orang ini, karena mereka adalah kombinasi dari seorang pemuda aneh, dan prajurit tua yang terlampau tenang, tapi berbahaya.
Sejak awal aku melihat Normen, aku selalu merasa bahwa dia menyembunyikan sesuatu yang besar, dibalik setiap tindakannya.
Sesekali, aku merasa bahwa ada sesuatu yang menakutkan dari diri si prajurit tua itu. Kepala pengawal Raja Donater, yang tampak lebih berkuasa ketimbang sang Raja sendiri.
Sedangkan tentang anak kecil bernama Yared ini, aku merasa bahwa dia memegang peranan penting, di keseluruhan perjalanan ini.
Caranya melihat dan bersikap, tidak tampak seperti seorang pemuda yang baru berusia awal dua puluh tahun. Anak ini lebih dewasa daripada bocah seusianya.
Terutama karena anugerahnya yang aneh, selalu membuatku teringat dengan seseorang di masa lalu. Seseorang yang menjadi awal dari banyak tragedi yang terjadi di Ueter.
Aku tidak akan membahas orang itu. Namun, melihat Yared di kala anugerahnya aktif, membuat pikiranku selalu memunculkan wajah orang itu.
"Eleandil, jika kita bertemu dengan klan elf yang kau sebutkan, apakah mereka akan membunuh kita?" tanya Normen kepadaku.
Sebenarnya, pertanyaan Normen juga adalah pertanyaan yang sedang berputar di kepalaku. Hubunganku dengan klan Zabash agak rumit, sehingga aku juga cukup sulit untuk menjawabnya.
Ditambah fakta bahwa klan Zabash sudah memilih berada di pihak Tequr, membuatku semakin tidak ingin masuk ke hutan yang berada di wilayah mereka.
Klan Zabash adalah klan yang tidak dianggap oleh Raja Elf cahaya, namun bukan berarti mereka adalah ras yang jahat.
Raja elf cahaya, Silinde, hanya tidak ingin Ueter mengenal klan Zabash sebagai bagian dari elf. Alasan utamanya karena sumber energi para elf klan itu, adalah darah makhluk hidup.
Mengakui klan Zabash sebagai bagian dari kerajaan agung Elf Cahaya, sama dengan memproklamirkan bahwa semua elf menyetujui pola hidup klan Zabash yang terus mencari darah.
Namun, aku tidak seperti Tuan Daeron dan Briaron, yang membenci klan Zabash. Hubunganku dengan klan itu agak sedikit rumit, tapi aku masih meyakini satu hal. Klan Zabash masih memiliki elf yang baik di dalamnya.
Selain itu, aku masih belum percaya bahwa hutan ini sungguh berada di Laustrowana. Jika benar itu yang terjadi, maka kami harus secepatnya kembali ke Adon.
Kami bertiga harus memastikan bahwa pertarungan antara gabungan Ogrotso, elf klan Zabash, dan orc, pasukan Halingga, harus dimenangkan oleh pihak kami.
Jika kami di sini, kekuatan pasukan Halingga yang sudah kalah jumlah, akan semakin berkurang drastis. Terutama soal keberadaan Yared di medan perang, yang memberikan dampak signifikan.
Anak itu bisa membuat semua ras dari pihak musuh, membeku tepat di depannya. Sehingga kami tinggal melancarkan serangan terakhir, untuk setiap tubuh yang berhasil terkena anugerah Yared.
"Eleandil!" seru Normen sambil melambaikan tangannya di depan wajahku. "Kau mendengar pertanyaanku?"
"Aku dengar," cetusku. "Tidak semua klan elf bersahabat. Beberapa klan saling bermusuhan, hingga hampir berperang."
"Soal klan Zabash, aku juga baru tahu kalau sebagian dari mereka berada di pihak Tequr. Hubunganku dengan mereka, juga sedikit rumit," imbuhku.
Prajurit Donater itu memutar matanya. "Aku tahu soal itu. Pertanyaanku adalah, apakah kita akan dibunuh, jika mereka menemukan kita di sini?"
Aku mengibaskan tanganku, sambil mendengus kesal padanya. "Kemungkinan besar iya. Kau puas dengan jawaban itu?"
"Aku puas!" seru Yared dari jauh. Pemuda aneh itu tidak menoleh padaku, karena dia sedang sibuk mencabuti semak belukar yang tumbuh merambat di tanah.
Tidak seperti Yared yang mudah dipuaskan, Normen masih menatapku dengan penuh keraguan. Sejauh ini, kami berdua memang tidak pernah akur.
Aku mulai bekerja sama dengan Normen, sejak kami bertemu secara tak sengaja di hutan dekat Mazrog. Saat itu, prioritas kami adalah mencari Lass dan Amicia yang menghilang.
Hubunganku dan Normen yang tidak terlalu dekat, akhirnya sampai di hari saat sebuah desa kecil bernama Votlior diserang oleh ribuan Ogrotso. Di desa itu, bersyukur bisa bertemu dengan Lass dan Amicia.
Sejak seluruh klanku terpecah belah di depan Mazrog, aku menghabiskan hampir tiga hari penuh bersama Normen Harv. Dan itu adalah tiga hari paling menyesakkan dalam hidupku.
Padahal, selama tiga abad ini, aku hidup di dalam sebuah hutan yang memiliki udara sangat menyesakkan. Namun, tinggal bersama Normen ternyata jauh lebih buruk.
Hal yang pertama tidak aku sukai darinya adalah kebiasaannya yang suka menghilang. Normen Harv bagaikan hantu yang muncul di saat situasi genting, dan dia datang lagi untuk menambah kadar kengerian.
Selama tiga hari itu, kami menjelajah di pegunungan barat pulau Adon, sambil berusaha kabur dari kejaran para Ogrotso.
Untungnya, para elf yang berada di bawah komandoku, adalah kumpulan pribadi yang setia. Jika mereka meninggalkanku bersama Normen, maka saat ini aku pasti sudah menjadi gila.
Sekarang, aku sekali lagi terjebak bersama Normen. Tanpa para elf klan Daeron, dan malah ditambah dengan Yared. Para Xenia sepertinya sedang berusaha untuk menguji kesabaranku.
"Jika hutan ini memang sungguh berada di Laustrowana, maka hujan seharusnya datang lebih sering dari pada di pulau Adon," batinku. "Aku bisa melakukan pesan Luorr, jika hujan turun."
"Atau mungkin hujan tidak akan turun sama sekali," timpal Yared yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. "Awan tidak menunjukkan pertanda akan turun hujan."
Kepalaku langsung mendongak, untuk melihat langit di atasku. Yared memang tidak sedang berbohong. Awan di atas kami, berwarna putih, tanpa bercak abu-abu sedikit pun.
Selama beberapa jam ke depan, hujan mungkin tidak akan turun. Melegakan sekaligus menyebalkan. Melegakan karena aku bisa memikirkan siapa yang harus menerima pesanku. Dan menyebalkan, karena aku harus menunggu sesuatu yang tak pasti.
"Kita akan keluar dari hutan ini, atau kita akan menemui klan Zabash?" tanya Normen sambil berkacak pinggang di depanku.
Sikapnya yang suka mengomel dan tidak sabaran, tidak pernah dia tunjukkan saat ada di tengah banyak orang. Dia selalu memperlihatkan karakter menyebalkannya ini di depanku.
Aku sempat mendengar Normen saat baru tiba di Adijaya, dan menemui Lass. Sebuah pemandangan yang sangat aneh bagiku, karena Normen berbicara sangat ramah dan penuh wibawa.
Dia tampak sesuai dengan penampilannya sebagai prajurit tua, saat di depan banyak orang, terutama Lass.
"Menurutmu, kita harus melakukan apa?" balasku sengit. "Bukankah kau yang seharusnya memimpin, sebagai seorang kepala pengawal Raja Donater Selatan?"
"Tapi kau adalah seorang elf," balasnya dengan suara yang semakin meninggi. "Kau seharusnya lebih tahu soal hutan, daripada aku yang hanya seorang pengawal!"
Ini bukan pertama kalinya aku berdebat panas dengan Normen. Namun saat ini adalah pertama kalinya aku sangat kesal, karena pendapatnya yang membawa rasku.
Karena aku tidak mau terjadi pertarungan, maka aku memilih untuk meninggalkan Normen. Tapi tangannya mencengkeramku dengan kuat.
Saat aku menoleh kepadanya, dia tetap menatapku dengan tajam. "Aku butuh jawaban, Eleandil," desisnya. "Jika kita tidak berada di hutan, maka aku yang akan menentukan tujuan."
Kalimat yang dia katakan dengan pelan, membuatku merasa bahwa pendapatnya benar. Hutan memang adalah wilayahku. Dari ketiga orang ini, hanya aku yang paling pantas untuk memimpin.
Selama hampir tiga ratus tahun, aku tidak pernah tinggal di lingkungan lain, selain hutan. Sedangkan Normen dan Yared adalah warga Donuemont. Sebuah kota benteng di bagian selatan pulau Adon.
Aku cukup mengeluarkan mereka dari hutan ini, dan memberikan tonggak kepemimpinan kepada Normen. Menurutku, itu adalah pilihan terbaik, ketimbang datang ke rumah klan Zabash.
Selain itu, keluar dari hutan ini akan membuktikan dugaan soal Laustrowana bisa terkonfirmasi, atau malah sebaliknya, kita masih di Adon.
"Aku akan memimpin kalian, untuk keluar dari hutan ini," tegasku sambil menepis cengkeraman tangan Normen dari lenganku.
"Masuk ke wilayah klan Zabash dengan situasi yang pelik seperti ini, malah akan membuat kita terbunuh. Meskipun aku tidak yakin kalau seluruh klan Zabash memihak Tequr."
"Intinya, pilihan terbaik adalah keluar dari hutan ini," ujarku dengan balas menatap tajam kepada prajurit tua itu.
"Setelah kita keluar, lalu kita akan ke mana?" sela Yared sambil memandangku penuh harap.
"Jika kita keluar di pulau Adon, maka aku akan pulang ke Tekoa," jawabku. "Kalian juga bisa pulang ke Donuemont, atau ke kota mana pun yang kalian mau."
"Tapi jika kita keluar di Laustrowana, maka Normen yang lebih menguasai daratan, akan memimpin perjalanan ini," imbuhku dengan mengeja setiap kata dengan pelan.
Normen masih memandangiku, hingga dia memincingkan matanya. Aku sudah siap jika dia tiba-tiba menyentuhku lagi, namun dia malah mengangguk pelan kepadaku.
"Aku masih tidak terima, karena kau tidak memercayaiku," ujar Normen sembari berjalan melewatiku. "Tapi aku akan melupakannya, karena jasamu cukup besar di perang Adijaya."
Prajurit tua itu melangkah ke kedalaman hutan, sambil memberi isyarat untuk segera mengikutinya. "Aku akan mencari tempat istirahat, sebelum kau memimpin kami keluar dari sini."
"Sikapnya hampir seperti bocah berumur sepukuh tahun, yang sering datang ke Alestora," gumam Yared di sebelahku. "Kau harus membiasakan diri, untuk mengatasi kelabilannya."
Aku lebih menyukai saat pemuda aneh ini jauh dariku, daripada selalu berada di sebelahku. Aura anehnya sedikit membuatku tidak nyaman, apalagi caranya memanggilku.
Selain itu, Yared juga bisa berubah menjadi seekor kadal biru. Briaron bahkan meminjamkan kantongnya untuk dijadikan tempat tinggal sementara bagi Yared, yang menurutku malah semakin membuat pemuda ini tampak aneh.
Memikirkan bahwa aku akan bersama dengan dua orang ini selama beberapa hari ke depan, membuat makanan di perutku seperti kembali naik.
Aku harus cepat mengantar mereka ke luar hutan ini, dan membiarkan Normen yang memimpin, jika kami sungguh ada di Laustrawana. Namun jauh dalam hatiku, aku berharap masih ada di Adon.
"Kita ikuti Normen!" ajakku.
Yared mengangguk lemah, sembari tetap berjalan di sebelahku. Normen sudah hilang dari pandangan kami, namun langkah kakinya masih menggema di tengah hutan yang sepi ini.
Kami hanya perlu membuka telinga lebar-lebar, agar tidak tertinggal dari prajurit tua itu. Aku tidak ingin menjalani hari dengan hanya berdua bersama Yared.
"Kalian membicarakanku?" tanya Normen setelah kami berhasil menemukannya.
Pria tua itu sudah berbaring di atas rumput hutan, dan dedaunan kering, sambil menyilangkan kakinya.
Meskipun aku tidak mau beristirahat dengan mereka, tubuhku mengatakan hal yang berbeda. Perang di Adijaya sudah menghabiskan energiku, dan aku memang butuh beristirahat.
Aku tetap mengunci mulutku, dan mengambil tempat berbaring yang agak sedikit jauh dari Normen dan Yared.
Hanya dalam hitungan beberapa detik, Yared sudah mendengkur keras, setelah kepalanya menyentuh tanah. Anak itu memang selalu yang tercepat dalam hal makan dan tidur.
"Maafkan aku," ujar Normen pelan, yang hampir seperti sebuah gumaman. "Dan terima kasih."
Aku tidam menjawabnya, karena aku tidak yakin kalau dia sedang berbicara padaku, atau dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
"Jangan berlagak tak mendengarku!" katanya lagi. "Aku tidak ingin berhutang budi padamu. Terima kasih karena tetap menjaga asa kemenangan, di medan perang."
"Kemenangan?" ulangku "Mereka pasti kalah karena kalah jumlah dengan para Ogrotso."
"Mereka pasti menang," balas Normen pelan, sebelum dia akhirnya tertidur, karena tak ada jawaban dariku.
Kepercayaan diri Normen membuat pikiranku melayang ke Adijaya. Apakah mereka sungguh memenangkan perang di Adijaya? Apakah Tequr akhirnya bisa dikalahkan?
Setiap pertanyaan itu malah membuatku semakin lelah. Akhirnya, aku juga terlelap di bawah langit malam yang menjadi atap dari sebuah hutan yang tak kukenal.